Sepakat Tak Sepakat Merah Putih Tetap Berkibar

Jumat, 06 Desember 2013 – 02:18 WIB
Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan saat memimpin konferensi di Bali Nusa Dua Convention Center. Foto: Don Kardono/Indopos

Apa yang terjadi jika Paket Bali di Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 World Trade Organization (WTO) betul-betul deadlock? Gagal disepakati? Tidak menemukan kata akur? Dan India tetap menolak meratifikasi poin-poin penting di bidang pertanian itu?
 
Kiamatkah? Apakah itu menciderai Indonesia, sebagai tuan rumah Ministerial Conference ini? Atau Indonesia semakin kehilangan muka di WTO 2013? Mungkinkah re-negosiasi atau mengulur waktu untuk lobi ke tingkat yang lebih tinggi? Di level kepala negara, misalnya? Chairman KTM ke-9 WTO Bali, Gita Wirjawan masih belum menyerah untuk menemukan koordinat titik temu agar komitmen Bali menjadi langkah penting mengawal Agenda Doha.

“Sekali lagi, Paket Bali ini bukan lagi ditentukan oleh keahlian atas isu-isu teknis, tetapi bergantung pada political will, atau kemauan politik dari negara yang bersangkutan agar menyentuh garis finish. Semua urusan teknis sudah terselesaikan,” ungkap Gita yang juga Menteri Perdagangan RI itu.

BACA JUGA: Tiga Menteri Dukung UKM Di Pasar Global

Perdagangan dan politik, itu dua hal yang tak bisa dipisahkan, sejak zaman Romawi dan Yunani Kuno. Ibarat air dengan ikan. Misi perdagangan, system perdagangan, arah dan tujuan berdagang, semua dipengaruhi oleh politik. Di era penjajahan Belanda dan Jepang, sejarahnya juga sama. Diawali dari berdagang, soal supplay dan demand atas komoditas barang dan jasa, akhirnya ada keinginan untuk menguasai. Karena itu pula, VOC, hadir dan begitu kental dalam sejarah penjajahan Belanda di Indonesia.

Perang Teluk, yang berlangsung puluhan tahun, jika dirunut dari latar belakangnya juga sama. Soal perdagangan energi yang berbasis pada minyak bumi, dan berimbas kuat pada konflik politik regional dan internasional. WTO, dengan anggota 159 negara –bulan depan bertambah satu negara, Yaman, yang sudah disetujui untuk bergabung di 9th Ministerial Conference WTO Nusa Dua ini--, memang dimaksudkan untuk mengatur perdagangan multilateral, perdagangan global yang lebih adil, fair, dan memberi benefit ke semua kelompok negara secara sehat.

BACA JUGA: Berharap Tuah Dewa-Dewa di Pulau Dewata

WTO, yang bermarkas di Geneva, Swiss itu, organisasi internasional yang berdiri 1 Januari 1995, memerankan diri sebagai pengawas banyak kesepakatan dan mendefinisikan aturan perdagangan antar anggotanya. Bagi Indonesia, sebagai tuan rumah KTM ke-9 WTO 2013 ini, tetap bermakna strategis. Apapun keputusan yang besok (hari ini, red) akan disepakati. “Kami sudah well organize,” kata Gita, yang bahkan mungkin penyelenggaraan konferensi internasional ini terbilang yang terbaik selama ini.

Sejak hari kedua, dan kemarin (hari ketiga, red), hampir semua menteri dan delegasi perwakilan negara, memuji pelaksanaan konferensi ini. Selain memuji eksotisme Pulau Bali yang menjadi tempat KTM. Kemarin, dari Zimbabwe, Myanmar, Belanda, Polandia, Kongo, Srilanka, Portugal, Dominika, Karibia, Angola, Albania, Finlandia, Bangladesh, Guatemala, Senegal, Panama, Fiji, Cyprus, Venezuela, semua mengawali pidatonya dengan apresiasi positif terhadap Gita Wirjawan, Chairman KTM ke-9 WTO, Negara Republik Indonesia sebagai tuan rumah, dan Roberto Azevedo, Dirjen WTO.

BACA JUGA: Koperasi Didorong Perkuat Modal Sendiri

Di hari kedua, pujian atas pelayanan tuan rumah Indonesia juga muncul dari Singapore, Swiss, USA, Qatar, Meksiko, Hongkong, Chile, Nigeria, Nepal, Uni Eropa, China, Maroko, termasuk India. Juga Brazil, Australia, Costarica, Mesir, Rwanda, Brunei Darussalam, Canada, Jamaica, Rusia, Madagaskar, Argentina, Turki, Jerman dan lainnya. Ini juga karena Indonesia dan Bali Nusa Dua Convention Center sudah puluhan kali menjadi tuan rumah konferensi Internasional. Terakhir Konferensi Tingkat Tinggi APEC 2013, yang menghadirkan 20-an Kepala Negara.

Masyarakat Bali bukan hanya welcome atas KTM itu. Mereka bahkan turut terlibat secara emosional, agar KTM ini sukses dan menghasilkan komitmen yang bermanfaat bagi dunia. Sampai-sampai, sekitar 750 orang yang tergabung dalam Elemen Semeton Bali melakukan doa bersama di Wantilan DPRD Bali, untuk kedamaian dan kelancaran KTM ke-9 itu. Ini setelah hari kedua, ada unjuk rasa yang masuk ke lobi BNDCC. Koordinator doa bersama, Made Derik Jaya menyebut acara itu juga untuk menjaga agar Bali sebagai tujuan wisata terbaik di Indonesia tetap kondusif untuk acara-acara konferensi.

Kedua, kata dia, di KTM ke-9 WTO ini LDC’s atau Negara-negara terbelakang dan sedang berkembang semakin punya power. Semakin dihargai, semakin dihormati, semakin didengar oleh negara-negara maju. Selama ini, WTO dikenal hanya menguntungkan negara berkapital besar, sampai-sampai ada istilah empat kubu besar, Amerika Serikat, Jepang, Kanada, dan Uni Eropa. “Kini negara-negara miskin pun punya nilai tawar yang kuat agar mereka tetap dilindungi sustainibilitas-nya dalam perdagangan global,” ungkap Gita. Karena itu KTM WTO ini tetap bermakna strategi bagi Republik Indonesia.

Ketiga, Bali semakin dikenal dalam peta pariwisata dunia. Lebih dari 1.500 tamu dari lebih dari 159 negara hadir di konferensi ini. Lebih dari 1000 jurnalis melaporkan jalannya persidangan dari Nusa Dua. Bukan hanya melaporkan peristiwa KTM itu sendiri, tapi juga menceritakan bagaimana Bali? Tentu, akan lebih banyak orang yang tahu Bali, dan Pulau Dewata ini semakin banyak dipromosikan. Karena itu, hasil apapun, sepakat tak sepakat, Indonesia tetap mendapatkan poin positif.

Keempat, KTM ke-9 WTO Bali ini adalah langkah penting, untuk mencairkan kebekuan selama 12 tahun Agenda Doha yang terkatung-katung. Dua tahun menyiapkan Paket Bali dan tiga poin (pertanian, fasilitasi perdagangan, dan pembangunan negara berkembang dan miskin ini, red) menunjukkan komitmen Indonesia yang kuat dalam mewujudkan perdagangan multilateral. “Jika terjadi kesepakatan, diperkirakan perdagangan dunia akan meningkat USD 1 Triliun, hampir setara dengan Product Domestic Bruto (PDB) Indonesia,” kata Roberto Azevedo, Dirjen WTO asal Brazil itu.

“Saya sangat percaya, apa yang kami lakukan di sini tidak akan menyebabkan satu orang petani di manapun akan dirugikan. Sebaliknya, apabila kita tidak mencapat kesepakatan Paket Bali, maka petani di negara sedang berkembang akan menjadi looser (kalah, red). Mereka bukan pemenang,” lanjut Roberto. (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Koperasi Didorong Perkuat Modal Sendiri


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler