Sepanjang 2019, 153 Anak jadi Korban Fisik dan Bullying

Senin, 30 Desember 2019 – 15:53 WIB
2 Video Aksi Bullying Siswi SMP Viral. Foto Pojok Pitu/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) menerima pengaduan kasus kekerasan fisik dan psikis terhadap anak di pendidikan. Sebanyak 153 kasus kekerasan terjadi di 2019 yang terdiri dari anak korban kebijakan, anak korban kekerasan fisik dan bullying.

Komisioner KPAI bidang Pendidikan Retno Listyarti mengungkapkan, dari jumlah tersebut, yang diselesaikan dengan mediasi sebanyak 19 kasus (13 persen), melalui rujukan ke pihak terkait 16 kasus (10 persen), rapat koordinasi nasional di Jakarta sebanyak 95 kasus (62 persen).

BACA JUGA: Instagram Luncurkan Fitur Baru, Larang Komentar Bullying

"Sebanyak 15 persen diselesaikan melalui pengawasan langsung ke lokasi dan penyelesaian melalui rapat koordinasi dengan pemerintah provinsi, pemda dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait sebanyak 23 kasus kekerasan fisik di lembaga pendidikan," kata Retno, Senin (30/12).

Dia mengungkapkan, kekerasan fisik dan bullying tersebut 39% terjadi di jenjang SD/MI, 22 persen SMP/sederajat, dan 39 persen SMA/SMK/MA. Adapun jumlah siswa yang menjadi korban kekerasan fisik dan bullying mencapai 171 anak. Sedangkan guru korban kekerasan ada lima orang.

BACA JUGA: KPAI: Pelaku Bullying Juga Dilindungi Hukum

Pelaku kekerasan fisik di sekolah adalah kepala sekolah, guru, siswa dan orang tua. Kasus kekerasan guru/kepala sekolah ke peserta didik sebanyak 44%, siswa ke guru 13 persen; orang tua siswa ke guru/siswa 13 persen. Pelaku kekerasan siswa ke siswa lainnya juga cukup tinggi yaitu 30 persen.

Selain itu, ada kasus unik, tahun 2019 yaitu seorang motivator yang diundang sekolah untuk menjadi narasumber justru melakukan kekerasan terhadap peserta seminbarnya, ada 10 anak menjadi korban penamparan dan makian “goblok”. Sayangnya penyelesaian kasus ini justru melalui jalur damai, tidak diproses hukum.

BACA JUGA: Fakta-fakta Mengejutkan Temuan KPAI Seputar Demo Pelajar STM

Retno menyebutkan, modus kekerasan fisik yang dilakukan guru atas nama mendisiplinkan siswa berupa dicubit, dipukul/ditampar, dibentak dan dimaki, dijemur di terik matahari dan dihukum lari keliling lapangan sekolah sebanyak 20 putaran.

Sedangkan kekerasan siswa terhadap sesama siswa umumnya dilakukan secara bersama-sama (pengeroyokan) dengan cara di pukul, ditampar dan ditendang. Sedangkan bentuk kekerasan siswa ke guru adalah dipukul, di bully, divideokan kemudian diunggah ke media sosial, dan ditikam dengan pisau.

Retno menyebutkan, para pelaku mayoritas melakukan kekerasan di ruang kelas. Namun, ada juga yang dilakukan ruang kepala sekolah, di lapangan/halaman sekolah, di kebon belakang sekolah, dan aula sekolah.

Alasan guru melakukan kekerasan fisik ke siswanya adalah dalih untuk mendidik dan mendisiplinkan siswanya. Alasan orang tua siswa melakukan kekerasan kepada guru adalah ingin membela anaknya yang dianggap telah jadi korban kekerasan oleh gurunya.

Adapun alasan siswa melakukan kekerasan terhadap sesame siswa adalah untuk membalas dendam dan sengaja adu kekuatan (gladiator) karena perintah siswa senior. Sedangkan kasus siswa mem-bully guru sebagian besar karena ingin video yang dibuatnya viral sehingga jadi terkenal. (esy/jpnn)

 


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler