jpnn.com - JAKARTA - Industri sawit bisa sedikit bernapas lega. Salah satu komoditas unggulan Indonesia tersebut mulai dapat diterima pasar Eropa setelah seMPAT kena cap negatif tanpa alasan jelas.
Cap negatif atas produk minyak sawit di pasar Eropa sebelumnya memang begitu terasa. Di sana sebuah produk dianggap begitu heroik dan layak beli jika pada kemasan tercantum tulisan tidak mengandung minyak sawit di dalamnya.
BACA JUGA: Ini Harapan Pelindo III Terhadap Paket Kebijakan Pemerintah
''Sampai ada satu produk, makanan ringan keripik kentang, di pasar Eropa yang tertulis no palm oil di kemasannya. Padahal, dia juga jualan di Indonesia. Apa yang terjadi? Di Indonesia, dia tulis palm oil mengandung vitamin A, vitamin ini, vitamin itu dalam kemasannya,'' ungkap Counselor Embassy of the Republic Indonesia to the Kingdom of Belgium, the Grand Duchy of Luxembourg, and the European Union Bonanza Perwira Taihitu saat ditemui Jawa Pos di Milan, Italia, pada 29 Oktober lalu.
Bonanza yang saat itu mengikuti European Palm Oil Conference (EPOC) 2015 di Hotel Klima Milano merasakan susahnya memberikan edukasi kepada para pemangku kepentingan di sana. Padahal, hampir setiap pembahasan soal pangan, sawit menerima serangan keras.
BACA JUGA: Keren Nih, Pelabuhan Tanjung Perak Bakal Disulap Seperti Ini
''Kami jelaskan perlahan bahwa apa yang dipersepsikan masyarakat di Eropa itu tidak sepenuhnya benar. Kami jelaskan bahwa sawit juga tanaman penghasil oksigen. Setiap panen, pohonnya tetap berdiri dan produktif sampai belasan, bahkan puluhan tahun. Tidak seperti mereka kira bahwa sawit tidak ramah lingkungan,'' paparnya.
Begitu pula anggapan negatif dari aspek kesehatan jika mengonsumsi minyak sawit. Bonanza mengungkapkan bahwa ada stigma yang merugikan. Minyak sawit dikira bisa mengganggu kesehatan. ''Semua itu tidak beralasan karena riset ilmiah mengatakan sebaliknya,'' tegasnya.
BACA JUGA: Menteri ESDM: Pelanggan Listrik 900 VA Jangan Pura-pura Miskin!
Berbagai perjuangan kemudian dilakukan, terutama melalui diplomasi dan forum resmi. Bukan hanya Indonesia yang berjuang, tetapi juga Malaysia. Titik cerah itu sudah mulai terlihat.
Pada EPOC 2015, misalnya, Ketua Eksekutif Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Bayu Krisnamurti menyebutkan bahwa saat ini di Eropa sudah ada sedikitnya tujuh asosiasi terkait dengan sawit yang tersebar di beberapa negara berbeda. Mereka semua merupakan pengguna dan pihak yang sudah menyadari sawit lebih dalam.
Di Italia, misalnya, telah ada kesepakatan satu suara bahwa industri berkepentingan siap menerima minyak sawit dengan catatan sudah harus bersertifikat. Sertifikat dimaksud adalah sertifikat berkelanjutan (sustainable) dari negara produsen dan internasional.
Bayu mengakui, ekspor minyak sawit Indonesia ke Eropa memang tidak terlalu besar. Yaitu, 3,5 juta ton sampai 4 juta ton per tahun. Indonesia menempati urutan keempat setelah India, Tiongkok, dan Pakistan meski kadang jumlahnya mengalahkan ekspor ke Pakistan.
Indonesia dan Malaysia merasa perlu untuk tetap berjuang melawan kampanye negatif di Eropa. Sebab, kawasan itu memegang peran penting di pasar global. ''Eropa adalah trendsetter dalam berbagai hal, termasuk sustainability. Trendsetter dalam hal standardisasi. Jadi, kalau tidak bisa penuhi standar Eropa, biasanya kita juga sulit ke negara lain,'' ungkap Bayu.
Indonesia, kata dia, akan memenuhi permintaan sertifikasi dari Eropa meski butuh waktu untuk mencapai seluruhnya. Sebab, 42 persen produksi sawit Indonesia yang mencapai total sekitar 32 juta ton per tahun berasal dari petani rakyat.
Saat ini, di antara total 4 juta petani sawit, hanya 50 ribu yang telah tersertifikasi. ''Kalau dibandingkan dengan 2010, baru ada 800-an petani yang sudah tersertifikasi,'' terang Bayu. (gen/c14/tia)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Begini Cara Menteri Pariwisata Kejar Target Dobel
Redaktur : Tim Redaksi