Serahkan Pendapatan Royalti Buku ke Wati

Kamis, 24 Juli 2008 – 07:43 WIB
Ita Siti Nasyiah (kiri) bersama Sumiarsih.

Ita Siti Nasyiah, penulis buku ”Mami Rose”, butuh waktu delapan tahun untuk mengumpulkan data tentang SumiarsihDia mengakui kedekatannya dengan wanita yang sudah dieksekusi mati itu seperti anggota keluarga.

MAYA APRILIANI, Surabaya

HINGGA memasuki hari kelima setelah eksekusi mati Sumiarsih pada Sabtu (19/7) lalu, Ita Siti Nasyiah mengaku belum sehat

BACA JUGA: Unjuk Rasa Itu Biasa

Ia masih stres
Bahkan, melewati jalan di halaman Mapolda Jatim, tempat yang diyakini menjadi tempat Sumiarsih dan Sugeng dieksekusi, dia merasa ketakutan.  
     Penulis buku ”Mami Rose” yang mengupas perjalanan hidup Sumiarsih itu merasa bukan orang luar

BACA JUGA: Jadwal Ketat, Tidur dengan Make-Up Lengkap Sudah Biasa

Dia seperti sudah menjadi bagian ”keluarga” Sumiarsih dan Sugeng
Seperti disaksikan JPNN di Lapas Medaeng saat jam-jam terakhir keduanya, Ita, panggilan akrabnya, memang terlihat akrab dengan Rose Mey Wati, anak Sumiarsih.
    ”Saya mendapat pesan dari kedua mendiang (Sumiarsih dan Sugeng) untuk mendampingi sampai selesai,” kata Ita yang ikut mengantar keluarga sampai jenazah Sumiarsih dan Sugeng dimakamkan di Malang.
      Menurut Ita, dia tidak hanya dekat Sumiarsih tapi juga dengan Sugeng

BACA JUGA: Kisah Budi Djatmiko Selamat dari Kecelakaan Maut

Anak Sumiarsih itu sempat minta tolong dirinya tentang data pelaksanaan eksekusi yang dilaksanakan kepada Adi Saputro (suami Wati) pada 1992 duluAlasannya, supaya siap saat menghadapi eksekusi.
   ”Saya bawakan kliping-kliping lama Jawa Pos,” kata wanita yang kini menjadi wartawan majalah wanita Kartini itu.
   Menurut Ita, dia bertemu kali pertama dengan Sumiarsih di Lapas Kalisosok, Surabaya, saat menjadi wartawan Jawa Pos sekitar 16 tahun laluSaat itu, dia mendapat tugas meliput remisi (pengurangan masa hukuman) bagi para narapidana di sana.
    ”Waktu itu, Bu Sih, Sugeng, dan Pak Djais (suami Sumiarsih) tidak mendapat remisi,” kata ibu seorang gadis kelas 1 SD, Aisyah Lintang Maharani.
        Perjumpaan pertama itu demikian berkesan bagi ItaDia penasaran ingin mengetahui lebih dalam tentang sosok SumiarsihSiapa dia sebenarnya, apa yang membuatnya tega melakukan tindak pidana begitu keji, dan untuk apa dia membunuh Letkol (Mar) Purwanto dan empat anggota keluarganya itu
    Di terkesan melihat sorot mata dan sikap Sumiarsih yang justru tidak menunjukkan tanda-tanda orang jahatJustru sebaliknya, dia terlihat seperti orang yang baik”Sorot matanya melas, sikapnya santun, sifatnya keibuan,” kata Ita yang kelahiran Surabaya itu.
    Setelah pertemuan pada 1992 itu, tahun berikutnya dia masih bertemu Sumiarsih di Lapas Kalisosok --kini sudah ditutup—untuk tugas liputan yang samaSama dengan tahun sebelumnya, Sumiarsih, Sugeng, dan Djais kala itu tidak mendapat remisi.  ”Setelah itu saya kehilangan kontak selama hampir tujuh tahun,” kata anak pertama dari empat bersaudara itu
Hal itu terjadi karena Sumiarsih dipindah ke Lapas Lowokwaru Malang pada akhir 1993Dia hijrah bersama Djais dan SugengNamun, tiga tahun kemudian, Sumiarsih dilayar ke Lapas Wanita, Sukun, Malang; sedangkan Sugeng dan Djais dipindah lagi ke Lapas Kelas I Surabaya (Porong)”Baru pada tahun 2000 saya bertemu dengan Bu Sih lagi di Lapas Wanita, Malang,” kata Ita
Petemuan itu tak disengaja oleh ItaKedatangannya bukan untuk bertemu SumiarsihTapi, untuk meliput kegiatan bakti sosial  Lions Club di penjara tersebut”Saat bertemu dengan saya, Bi Sih ternyata tidak lupaDia orangnya bukan pelupa,” ujarnya
Sejak pertemuan itulah, Ita sering besuk SumiarsihKadang  sebulan sekali, wanita itu mampir ke Lapas WanitaSelain disertai suami, dia pernah didampingi ayah dan anak semata wayngnya.
  Dalam perjalanan ke Malang, wanita itu juga sering mampir ke Porong untuk menjenguk Sugeng”Bu Sih sampai bilang saya lebih sering mengunjungi dibanding saudara-saudaranya,” katanya
Dari situlah kemunikasi di antara mereka mulai berjalanTidak hanya sekadar ngobrol tentang keadaan di dalam penjara, Sumiarsih pun mulai curhat ke Ita tentang kehidupan pribadinya yang penuh liku”Dari situlah saya mulai mengenal Sumiarsih yang sebenarnya,” katanya.
Suatu hari, sat dibesuk Ita, Sumiarsih menyampaikan keinginannya untuk bisa nonton televisiWanita itu ingin melihat perkembangan berita lumpur Lapindo yang saat itu hangat diperbincangkan.  Ita lalu mengontak beberpa kenalannyaBerkat bantuan Lions Club Surabaya dan Malang,  Lapas Wanita  itu mendapat bantuan enam unit pesawat televisi, DVD player, dan alat musik elekton.
 ”Bu Sih waktu itu sangat senang sekali bisa melihat televisi di bloknya,” ujarnya
Dalam setiap kunjungan itu, kata Ita, wanita kelahiran Ploso Jombang itu banyak bercerita tentang kehidupannya yang penuh warnaMulai dari masa kecilnya yang miskin; saat menjadi hostes di Jakarta; memiliki wisma prostitusi di Gang Dolly, Surabaya; hingga mengapa dia dan keluarganya sampai membunuh Puwanto”Sejak saat itu saya mulai menabung tulisan tetang Bu Sih,” ucapnya
Ita biasanya langsung mencatat data-data hasil wawancara dengan Sumiarsih itu begitu dia sudah berada di luar tembok penjara”Waktu besuk kan tidak boleh bawa kertas atau catatanJadi setelah besuk baru dicatatItu saya lakukan sejak 2000,”  katanya.
Selain dengan Sumiarsih dan Sugeng, Ita juga dekat dengan WatiSebab,  setelah Ita membesuk Sumiarsih, terpidana mati itu biasanya meceritakan ke Wati”Dari situlah kami kenal dan dekat,” katanya. 
Kedekatan itulah yang membuat Ita berpikir untuk menulis buku tentang kisah SumiarsihDia menganggap cerita kehidupan wanita yang sudah dipenjara hampir 20 tahun lamanyaIta menganggap Sumiarsih sosok kontroversialDi satu sisi dia dianggap orang yang kejamDi sisi lain dia orang yang berjiwa sosial dan mau berkorban untuk keluarga.
 ”Dia jadi seperti itu karena ingin melihat anak dan saudara-saudaranya hidup bahagia,” kata Ita
Ide menulis buku tentang kisah hidup Sumiarsih itu sudah diungkapkan Ita sejak 2006Saat itu sudah dapat izin dari Sumiarsih sendiriWaktu itu, putri pasangan Bogiyat-Saropah itu hanya mengatakan bahwa kisah kehidupan Sumiarsih bagus untuk dibukukan”Mendengar pernyataan saya itu Bu Sih menjawab terserah Mbak Ita sajaApapun yang Mbak Ita lakukan, saya percaya,” ujar Ita menirukan ucapan Sumiarsih
Tapi, jawaban itu tidak langsung diresponsIlham untuk benar-benar menulis itu muncul setelah ada penolakan grasi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang disampaikan pada 10 Juni lalu”Izin resmi dari Bu Sih untuk menulis baru saya dapat 11 Juli 2008 lalu, melalui tulisan tangannya sendiri,” katanya
Pembuatan buku setebal 180 halaman yang diterbitkan JP Books itu pun cukup singkatHanya membutuhkan waktu satu bulan dengan masa cetak lima hariIa mengaku berterima kasih kepada chairman Jawa Pos Dahlan Iskan yang membantu memberi pengantar buku yang kini sudah beredar itu” Harga jualnya Rp 25 ribu, “ kata Ita
Istri Jusak Sunaryanto itu  mengakui pembuatan buku itu bukan untuk kepentintan dirinya pribadiDia sudah bertekad memberikan royalti bukunya untuk WatiTujuannya, agar anak Sumiarsih itu tetap kuat dan Tabah menghadapi cobaan yang berat ituIta ingin bisa membantu Wati mendapat uang untuk menyekolahkan putrinya (cucu Sumiarsih)”Saya juga merasa kehilangan,” ucap Ita
Ita merasa ikut terpukul saat mengetahui Sugeng dan Sumiarsih benar-benar akan dieksekusiMeski namanya masuk daftar orang yang boleh mengunjungi Sumiarsih dan Sugeng saat berada di sel isolasi (jelang eksekusi), kesempatan itu tidak diambil”Bayangkan, kita bertemu dengan orang yang mau matiPasti kami akan tangis-tangisanMakanya, saya memilih mundur,” katanya(el)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jangan Kasih Ampun Pengedar Narkoba


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler