jpnn.com, JAKARTA - Mekanisme pengadaan dan distribusi obat dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dinilai perlu ditata ulang.
Itu perlu dilakukan mengingat berbagai permasalahan timbul selama dijalankannya program JKN.
BACA JUGA: Pemda Harus Aktif dalam Peningkatan Fiskal BPJS Kesehatan
Mulai dari kualitas pelayanan relatif rendah, kekosongan stok obat tertentu, perlakuan diskriminatif, ketidaktransparan penentuan harga obat, ketidakmerataan layanan, hingga masalah defisit keuangan yang terus membengkak.
"Masalah pengadaan dan distribusi obat dalam program JKN menimbulkan persepsi publik bahwa kualitas program itu rendah. Selain itu banyak keluhan di masyarakat tentang kekosongan pasokan obat tertentu karena perencanaan yang kurang baik dari program JKN,” kata Luthfi Mardiansyah, Chairman Center for Healthcare Policy and Reform Studies (CHAPTERS) dalam diskusi dengan topik “Perlukah ditata ulang skema pengadaan obat JKN dan distribusi obat” di Jakarta, Senin (6/11).
BACA JUGA: Program JKN Terbukti Memperbaiki Kesenjangan Layanan Rawat Inap
Selain itu, menurut dia, defisit pendanaan di program JKN membuat pembayaran klaim di rumah sakit jadi mundur, dan dampak lanjutannya pembayaran ke distributor obat menjadi tertunggak.
“Ini seperti lingkaran setan yang perlu diputus agar dapat diperbaiki secara menyeluruh,” paparnya.
Dono Widiatmoko, Tim Market Access International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), menambahkan secara umum sejumlah tantangan dalam pelaksanaan program JKN antara lain penghitungan kebutuhan obat tidak akurat.
Dampaknya, industri farmasi kesulitan untuk menghitung harga dan menyiapkan produksi.
“Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang ditetapkan pemerintah tidak transparan dan nilainya terlalu rendah.
Di sisi lain, disinyalir ada perusahaan yang sengaja menurunkan harga obatnya agar menang tender namun kemudian tidak bisa memenuhi kebutuhan program JKN,” ungkapnya. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad