SERU! Akademisi Berdebat Soal Ketimpangan Pembangunan

Selasa, 26 April 2016 – 13:14 WIB
Tampak suasana diskusi pada kegiatan Training of Trainers (ToT) atau pelatihan untuk pelatih dalam rangka Sosialisasi Empat Pilar MPR RI diikuti sekitar 100 dosen perguruan tinggi swasta dan negeri se-Jawa Tengah di Semarang. FOTO: Humas MPR RI

jpnn.com - SEMARANG – Training of Trainers (ToT) atau pelatihan untuk pelatih dalam rangka Sosialisasi Empat Pilar MPR RI diikuti sekitar 100 dosen perguruan tinggi swasta dan negeri se-Jawa Tengah.

Dalam diskusi kelompok, akhir pekan lalu, peserta dibagi menjadi lima kelompok. Masing-masing kelompok didamping anggota MPR RI membahas dan mendiskusikan tentang sistem ketatanegaraan dan kebangsaan seperti membahas UUD NRI Tahun 1945 dari awal hingga akhir.

BACA JUGA: Giliran YLKI yang Dibuat Kecewa Oleh Jokowi

Namun yang paling penting setiap kelompok mambahas soal tantangan kebangsaan internal dan eksternal.

Satu kelompok membahas serius soal tantangan kebangsaan terutama menyorot soal ketimpangan pembangunan nasional. Debat serius mengemuka ketika pendapat muncul bahwa pemerintah masih timpang dalam pembangunan nasional. Pemerintah dinilai masih memanjakan kota dan meminggirkan daerah dalam kuantitas dan kualitas pembangunan seperti infrastruktur jalan, kesehatan, pendidikan dan lain-lain.

BACA JUGA: Mantan Pimpinan KPK Tolak Undangan Bahas Kasus Sumber Waras

Namun, ada beberapa peserta diskusi yang berargumen bahwa saat ini pasca reformasi, pemerintah telah berubah dan berusaha agar pembangunan nasional menyentuh daerah-daerah terpencil secara merata. Ketimpangan pembangunan mungkin diartikan sebagai proses pembangunan, sebab pembangunan yang merata membutuhkan proses.

Pada diskusi kelompok lainnya membahas soal ruh kenegarawanan dan kebangsaan yang sudah mulai memudar pasca reformasi bergulir. Saat ini sepertinya, teruatama para pejabat dan elite pemerintahan sering mempertontokan hal-hal yang tidak pantas. Misalnya saling memfitnah, menghujat, saling baku hantam.

BACA JUGA: Saut Yakin dengan Kasus Suap di Kejati Jakarta

Padahal seharusnya mereka adalah garda terdepan dalam implementasi nilai-nilai luhur bangsa. Itu semua terjadi karena sudah memudarnya ruh atau jiwa kebangsaan dan ruh kenegarawanan.

Mereka tidak lagi melihat dan menghargai sifat dan karakter para pendahulunya para pendiri negara Indonesia. Mereka cenderung menghukum dan menyalahkan para pendahulunya.  Ini yang harus dirubah.

“Yang salah  bukan sistemnya, yang salah bukan konstitusinya tapi individu-individunya yang salah yang tidak melihat dan tidak mempersepsikan sistem kebangsaan secara benar dan tidak mengadopsi karakter dan jiwa para pendahulunya,” ucap salah seorang peserta diskusi.

Kelompok diskusi lainya membahas soal Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Dalam diskusi itu berkembang bahwa di masyarakat banyak mempermasalahkan sakralnya Pancasila bahkan banyak elemen masyarakat yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi menurut persepsinya.

Dalam diskusi berkembang bahwa masyarakat yang diberi pemahaman serius soal Pancasila secara utuh. Pancasila adalah dasar negara, dasar berpijak bangsa ini dalam bernegara.  

Pancasila adalah perekat bangsa yang sangat beragam, tanpa Pancasila bangsa ini akan terpecah belah. Pancasila ada dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat seperti kehidupan beragama, ekonomi, bermasyarakat, politik, hukum, sosial dan budaya. 

Pembahasan berlanjut soal era globalisasi. Pancasila sangat terbuka bahkan Pancasila mampu sebagai perekat perbedaan yang sangat kompleks. Namun, di era globalisasi dunia apakah Pancasila juga membuka diri. Globalisme dan modernisme adalah sesuatu yang tidak bisa dibendung.  Semua akan masuk tak tertahan.

Namun, bangsa ini memiliki Pancasila dan Pancasila memiliki parameter sehingga apa yang masuk harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Yang baik dari globalisme dan modernism diambil dan yang tidak baik tentu tidak dapat masuk. 

Diskusi kelompok tersebut sangat seru, masing-masing anggota kelompok memiliki argunentasi kuat masing-masing.

Anggota MPR RI hanya sebatas sebagai observator, memperhatikan dan member solusi jika ada kebuntuan diskusi. Seperti yang dilakukan anggota MPR RI dari Fraksi PKB Mohammad Toha.  

Ketika ada kebuntuan soal aturan diskusi dan wacana diskusi, ia memberikan masukan namun semua keputusan diserahkan kepada peserta diskusi sehingga diskusi berjalan dengan baik.

“Kami MPR memberikan wacana-wacana dan permasalahan bangsa yang terjadi di masyarakat Indonesia dan kami serahkan kepada peserta untuk didiskusikan dan dicari solusi yang terbaik dan dipresentasikan pada akhir sesi nanti.  Ini adalah bentuk serap aspirasi yang kami harapkan output dari peserta,” ujar Toha.(Adv/fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mendagri Minta KPK Kasih Tahu ke Kepala Daerah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler