Perjuangan kemerdekaan Indonesia yang dilakukan oleh para pejuang dan tokoh nasional ikut dibantu juga pihak asing, salah satunya adalah Australia.

Sejarah mencatat Australia berada di posisi yang sulit saat Indonesia hendak menyatakan kemerdekaan.

BACA JUGA: Sambut Hari Kemerdekaan, Pertamina Perkuat Distribusi BBM dan LPG di IKN

Di satu sisi Australia berada di blok barat bersama Amerika Serikat dan Inggris yang bersekutu dengan Belanda, tapi di sisi lain mendapat desakan dari dalam negeri untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.

Dukungan Australia terhadap kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari pengaruh 'Labor Party' atau Partai Buruh yang saat itu menguasai pemerintahan Australia, seperti dikatakan Rizky M. Umar, peneliti hubungan internasional dari University of Queensland.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: WHO Menyatakan Darurat Kesehatan Wabah Cacar Monyet di Afrika

Salah satu dorongan terbesar untuk mendukung kemerdekaan Indonesia berasal dari para buruh bekerja di kapal kargo di pelabuhan Australia.

Dokumenter berjudul "Indonesia Calling" yang terbit pada tahun 1946 menceritakan bagaimana kapal Belanda yang mengangkut persediaan senjata, amunisi, dan tentara dari Australia memutuskan untuk tidak berlayar ke Hindia Belanda, sebutan Indonesia saat itu.

BACA JUGA: WNI Tersangka Penipuan Ditangkap dan Diadili di Australia

Aksi yang dikenal dengan 'Black Armada' atau Armada Hitam ini melibatkan 500 kapal yang dioperasikan oleh serikat pekerja pelaut dari Australia, Tiongkok, dan juga Indonesia.

Gerakan ini berhasil memengaruhi sikap pemerintah Australia, yang saat itu dipimpin Perdana Menteri Ben Chifley, untuk mendukung kemerdekaan Indonesia hingga ke tingkat PBB.

"Sebetulnya ketika Perang Dunia kedua, Australia itu kan berada di Blok Barat," kata Umar.

Tapi untuk urusan Indonesia, Australia malah berseberangan dengan pandangan Amerika Serikat dan Inggris.

"Yang menarik adalah ... ada simpati bagi orang-orang Australia untuk kemerdekaan Indonesia."Australia dianggap 'sahabat'

Dukungan Australia untuk kemerdekaan Indonesia disambut oleh perdana menteri pertama Indonesia Sutan Sjahrir, yang berbicara pada warga Australia melalui siaran radio pada tahun 1945.

"Ribuan pekerja melakukan demonstrasi untuk memprotes serangan atas kemerdekaan kami," ujarnya.

"Ribuan dari kalian bersimpati dengan perjuangan kemerdekaan kami, kalian semua adalah sahabat saya."

Dua tahun setelah merdeka, Dewan Keamanan PBB pernah membentuk Komisi Tiga Negara untuk menengahi konflik antara Indonesia dan Belanda pada masa Agresi Militer Belanda I, saat Belanda berupaya menduduki kembali Indonesia.

Australia juga menjadi perwakilan Indonesia dalam Komisi Tiga Negara pada 26 Agustus 1947, sementara Belgia mewakili Belanda, dan Amerika Serikat menjadi penengah.

Pemerintah Indonesia saat itu memilih Australia karena Australia yang pertama kali mengajukan masalah serangan Belanda ke Dewan Keamanan PBB.Kontribusi diaspora Indonesia di Australia

Tapi desakan untuk mendukung kemerdekaan Indonesia di Australia tidak hanya dilakukan perserikatan buruh. 

Warga diaspora Indonesia di Australia juga turut mengambil bagian untuk menentukan nasib Tanah Air mereka.

Menurut Umar mereka adalah aktivis tahun 1929-1930 yang dibuang ke Australia dari Banda Neira dan beberapa tempat lain di Hindia Belanda.

Para aktivis ini mendirikan organisasi bernama Central Komite Indonesia Merdeka (CENKIM) yang "menjadi corong pemerintah nasionalis Indonesia untuk menggalang dukungan di Australia".

"Mereka aktif, baik itu melakukan pemogokan maupun membuat buletin untuk menjadi corong kemerdekaan," ujar Umar.

Buletin yang dimaksud Umar adalah majalah berbahasa Inggris bernama "Freedom" yang menerbitkan dokumen-dokumen dari Kementerian Penerangan RI dan menerjemahkan tulisan para pemimpin di Indonesia.

Umar mengatakan majalah ini turut menjadi media propaganda untuk menyuarakan cita-cita kemerdekaan Indonesia di Australia.Sisi lain dari sejarah

Tapi sejarawan berdarah Belanda di Australia, Nonja Peters, mengatakan klaim peran Australia dalam kemerdekaan Indonesia perlu dicermati dari pandangan lain.

"Pemerintah [Australia] melihat hal ini dari perspektif yang sangat politis tentunya, karena waktu itu mereka [Australia] ingin menjadi bagian dari PBB," ujar Nonja.

"Dengan prioritas ini …tiba-tiba, sekutu tidak lagi dipandang sebagai hal yang penting."

Dalam tulisan ilmiahnya, Nonja mengutip sebuah biografi yang menyebut jika wakil ketua Partai Buruh saat itu, Herbert Vere Evatt memiliki pengaruh yang besar dalam PBB karena terlibat dalam pembentukannya.

Nonja mengatakan PM Ben Chifley dan Herbert Vere Evatt, saat itu memiliki ambisi pribadi untuk mendukung hak sebuah negara baru.

Namun yang menjadi pertanyaan Nonja adalah mengapa Australia lebih mengutamakan kemerdekaan bangsa lain sementara penduduknya sendiri tertindas.

"Mengapa buruh Waterside memperjuangkan mati-matian untuk kemerdekaan [negara] lain sementara di tanahnya sendiri tidak ada kemerdekaan bagi rakyat pribumi?" ujarnya.

"Menurut saya ini sangat problematik karena … tentu saja kita harus merdeka."Australia dan Indonesia sekarang

Kejadian 79 tahun yang lalu ini sayangnya tidak mencerminkan hubungan Australia dan Indonesia saat ini.

Dalam buku 'Australia and the Indonesian Revolution', Margaret George menulis kalau kedua negara pernah memiliki masa periode "bulan madu" saat awal kemerdekaan Indonesia.

Namun hubungan diplomatik keduanya saat ini mengalami "pasang surut", jelas Umar.

"Ada waktu di mana kemudian Australia sangat dekat hubungannya dengan Indonesia, ada waktu di mana Australia dalam banyak hal juga ... cenderung ada sedikit jarak ... dengan Indonesia," katanya.

"Bagi Australia, Indonesia penting dalam imajinasi strategik Australia, Indonesia dulu semasa perang dingin adalah kekuatan penting untuk membendung pengaruh komunisme."

Namun Australia juga pernah melakukan penyadapan terhadap Indonesia, yakni percakapan sejumlah pejabat di kurun waktu 2007-2009, yang menurut Umar mencerminkan bahwa "Australia tidak sepenuhnya percaya dengan Indonesia."

Indonesia juga tidak pernah berada dalam aliansi keamanan dengan Australia, ujar Umar, sementara hubungan ekonomi juga tidak terlalu kuat.

"Indonesia masih cukup kuat dengan Tiongkok, misalkan dengan Singapura juga, sementara Australia dengan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat."

BACA ARTIKEL LAINNYA... Korban Tabrak Lari, Buruh Perempuan di Semarang Tewas

Berita Terkait