jpnn.com, JAKARTA - SETARA Institute mendorong pemerintah menerbitkan strategi nasional bisnis dan Hak Azasi Manusia (HAM).
Menurut SETARA pemerintah Indonesia telah mengadopsi norma bisnis dan HAM sejak 2011.
BACA JUGA: Australia Barat Diharapkan Bisa Menjadikan Indonesia Lebih Dari Sekedar Rekan Bisnis
Namun, kinerja pemerintah dalam pemajuan bisnis dan HAM masih di tingkat basic to improving setelah lebih 10 tahun.
Hal ini disampaikan Peneliti Bisnis dan HAM SETARA Institute, Nabhan Aiqani dalam keterangan resmi pada Rabu (13/9/2023).
BACA JUGA: Uji Materi Pasal di UU PSDN, SETARA Institute Nilai Ada Kekeliruan Proses Legislasi
"Artinya masih pemula menuju langkah pemajuan," ujarnya.
Pada kesempatan itu, SETARA Institute juga merilis laporan Kinerja dan Status Terkini Pemajuan Bisnis dan HAM di Indonesia.
SETARA Institute menyimpulkan bahwa pada 11 indikator yang digunakan sebagai alat ukur yang ditetapkan UNGPs, pemerintah Indonesia telah membukukan capaian pada tingkat basic untuk 5 indikator, pada tingkat improving untuk 5 indikator dan pada tingkat established untuk 1 indikator.
BACA JUGA: Setara Institute Minta Polri Setop Berpihak kepada Kelompok Intoleran
Capaian inovasi normatif ini didukung oleh kinerja Kementerian Hukum dan HAM yang saat ini telah berada pada tahap finalisasi dokumen Peraturan Presiden tentang Strategi Nasional Bisnis dan HAM dan pembentukan Gugus Tugas Nasional (GTN) dan Gusus Tugas Daerah (GTD) Bisnis dan HAM.
Selain itu, pemerintah Indonesia telah meratifikasi 10 Instrumen HAM internasional utama dan 8 Konvensi Inti ILO (The Core ILO Conventions) yang relevan dengan kewajiban perlindungan negara terhadap HAM dalam operasionalisasi bisnis sebagaimana diamanatkan UNGPs.
Laporan pertama yang paling komprehensif memotret kinerja dan status pemajuan bisnis dan HAM ini, juga menemukan bahwa negara telah memiliki modalitas regulasi dan peraturan nasional untuk mengakselerasi pematuhan bisnis dan HAM.
Penelitian ini menemukan 54 jenis peraturan dalam berbagai hirarki peraturan yang meliputi 32 Undang-Undang, 4 Peraturan Pemerintah, 4 Peraturan Presiden, 3 Instruksi dan Keputusan Presiden, 6 Peraturan dan Keputusan Menteri, serta 5 Peraturan Badan/Lembaga yang promotif terhadap pemajuan BHAM.
Di sisi lain, posisi basic to improving dari kinerja negara ini menjadi semakin lambat disebubakan masih ditemukan peraturan perundang-undangan dan regulasi-regulasi regresif yang berpotensi menghambat efektivitas implementasi prinsip BHAM.
Antara lain UU No. 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dimana UU ini mengizinkan pelibatan TNI dalam penanganan stabilitas nasional dan terhambatnya pembangunan nasional; UU No. 3/2020 tentang Perubahan UU Mineral dan Batubara, yang menekankan tidak boleh ada upaya setiap orang untuk merintangi kegiatan usaha pertambangan, (c) UU 11/2020 Cipta Kerja sebagaimana diubah dengan UU 6/2023, yang berdampak buruk bagi perlindungan buruh/pekerja; (d) UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum dan turunannya seperti PP 19/2021, yang membuka ruang-ruang perampasan tanah rakyat.
Pemerintah juga belum menyediakan dan memfasilitasi inisiatif untuk memastikan terwujudnya mekanisme pemulihan yang efektif (effective remedies) atas tindakan pelanggaran oleh entitas bisnis sebagaimana mandat UNGPs.
Penelitian ini merekomendasikan agenda bagi pemerintah, antara lain: mempercepat pengesahan Perpres Strategi Nasional Bisnis dan HAM, memperkuat peraturan perundang-undangan, kebijakan, dan agenda aksi BHAM pada sektor-sektor bisnis dengan dampak HAM paling krusial, mendorong konsistensi pemenuhan pada aspek formal dan legal dengan praksis implementasi prinsip BHAM.
"Secara gradual menuju kebijakan mandatori Uji Tuntas HAM bagi sektor bisnis, mengagendakan evaluasi dan perubahan peraturan perundang-undangan yang kontradiktif dengan upaya pemajuan prinsip BHAM di Indonesia, dan mendorong penguatan pada aspek remediasi (pemulihan HAM terhadap korban)," tuturnya.(ray/jpnn)
Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean