SETARA: Pemerintah Tidak Memahami Papua Secara Utuh

Rabu, 21 Agustus 2019 – 17:00 WIB
Massa memblokade pintu masuk Jl.Trikora Wosi Manokwari, Papua Barat, Senin (19/8). Foto: Toyiban/Antara

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani mengatakan penyikapan pemerintah atas menguatnya rasisme terhadap warga Papua dan aksi unjuk rasa di Bumi Cendrawasih, menggambarkan ketidakmampuan (unable) atau keengganan (unwilling) pemerintah untuk memahami Papua secara utuh dan mengatasi persoalan secara mendasar.

Menurut Ismail, anjuran bersabar dan saling memaafkan serta seremoni pertemuan elite daerah bisa saja mendinginkan suasana dan membangun kondusivitas sementara di Papua pascakejadian yang dialami mahasiswa asal Bumi Cendrawasih di Jawa Timur. Akan tetapi hal itu dianggap belum cukup.

BACA JUGA: Warga Papua Terluka, Fahri Heran Jokowi Tidak Marah

"Tetapi, sepanjang persoalan mendasar Papua tidak di atasi, seperti ketidakadilan politik, ekonomi, sosial, dan klaritas sejarah integrasi Papua yang masih dipersoalkan sebagian warga Papua, maka potensi kekerasan, pelanggaran HAM, dan ketidakadilan akan terus dialami warga Papua," kata Ismail dalam siaran persnya, Rabu (21/8).

Dia juga menyoroti rencana Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopulhukam) Jenderal (Purn) TNI Wiranto pada Selasa (20/8), untuk menambah pasukan TNI/Polri. Menurut Ismail, ide tersebut sebagai gambaran kekeliruan dalam memahami Papua, yang justru berpotensi membuat kondisi semakin tidak kondusif.

BACA JUGA: Arief Poyuono Cerita Kisah Anak Papua Terdiam saat Ditanya soal Cita-cita

BACA JUGA: Warga Papua Terluka, Fahri Heran Jokowi Tidak Marah

Pihaknya berpandangan bahwa perspektif keamanan dan stabilitas negara yang dikedepankan pemerintah merupakan bentuk upaya pemantapan stabilitas melalui daya paksa dan tata keamanan yang membatasi kebebasan warga.

BACA JUGA: Papua Barat Masih Memanas, Kemendagri Analisis Pemicu Konflik

"Pilihan melindungi obyek vital negara dibanding melindungi hak asasi warga Papua sama sekali tidak menunjukkan upaya pengutamaan keamanan manusia (human security)," tegas Ismail.

Sementara itu, peneliti HAM dan sektor keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie menyebutkan, rasisme dan stereotip pemberontak yang mengendap di kepala para pejabat Indonesia sangatlah destruktif, sehingga upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka pemulihan seharusnya berbasis pada keamanan manusia (human security), baik dari segi perspektif, pendekatan maupun praksis penyikapan.

"Dalam human security, subjek atas keamanan bukan semata-mata negara (state oriented), melainkan manusia (human oriented), yang ditujukan untuk memastikan pemenuhan HAM, rasa aman dan keamanan warga Papua," tutur Ikhsan.

Oleh karena itu, SETARA Institute mendorong Presiden Joko Widodo alias Jokowi untuk meretas politik rekognisi kemanusiaan dan politik bagi warga Papua sebagai basis penanganan Papua secara holistik.

Langkah tersebut bisa dimulai dengan membentuk dan mengutus Utusan Khusus Presiden (special envoy) ke Papua, untuk membangun komunikasi konstruktif, sikap saling percaya dan memahami (mutual understanding) sebagai basis dialog Jakarta-Papua.

"Jalan dialog akan mengurangi konflik bersenjata antara Organisasi Papua Merdeka (OPM) sekaligus meletakkan warga Papua sebagai subyek utama pengutamaan keadilan pembangunan berkelanjutan," tandas Ikhsan. (fat/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Persaudaraan PENA: Kasus Mahasiswa Papua, Mengusik Jati Diri Bangsa


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler