BACA JUGA: Fotografer.net, Situs Komunitas yang Berkembang Jadi Perusahaan
Pendirinya warga Indonesia, Joko SutrisnoNUNGKI KARTIKASARI, Jakarta
"Para warga karawitan Sumunar Minnesota samekta anggelar kabudayan Jawi..." Itulah potongan tembang "pambuko" yang ditampilkan kelompok karawitan Sumunar saat tampil di Aula Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), Selasa malam (6/7)
BACA JUGA: Spirit of Majapahit, Replika Kapal Abad Ke-13 Buatan Perajin Madura
Tepuk tangan para hadirin pun menggema menyaksikan keluwesan para pengrawitnya, yang hampir semua bule ituKelompok karawitan Sumunar berasal dari Minneapolis, Minnesota, AS
BACA JUGA: Sempat Divonis Hanya Punya 20 Persen Harapan Hidup
Tidak main-main, kelompok ini sudah ada di Negeri Paman Sam 15 tahun laluSelama itu pula berbagai kiprah telah mereka torehkanBaik dalam bentuk pelatihan maupun konser di banyak tempatNamun, pergelaran di Kantor Kemendiknas itu merupakan konser perdana mereka di Indonesia.Malam itu, selama satu jam, Sumunar menyuguhkan kemahiran mereka menggamelMereka, antara lain, menampilkan tembang Kaduk Manis, Surung Duyung, dan Manuk SoreSemua dilantunkan seperti karawitan pada umumnya di Indonesia
Yang juga menarik, mereka menembangkan lagu-lagu mereka sendiri, Holy Manna dan Foundation, dalam bahasa InggrisMaka, tembang "asing" itu pun terdengar unik di telinga para hadirinSelain karawitan, Sumunar mempertontonkan tari gambyong dengan iringan musik gamelan secara liveLengkap sudah penampilan 22 pengrawit dan tiga penari bule itu dalam menyajikan pertunjukan kesenian Jawa
"Kami tidak bermaksud pamer kebolehanKami hanya memberikan kesempatan kepada teman-teman dari AS untuk tampil langsung di Indonesia," ujar Joko Sutrisno, pimpinan Sumunar, dalam sambutannya.
Menurut Joko, kesempatan tampil di Kemendiknas itu merupakan momen paling berharga dibanding ratusan pertunjukan yang pernah ditampilkan Sumunar di AS"Rasanya bedaDulu, kami mengenalkan kesenian ini di ASSekarang kami tidak lagi mengenalkan, tapi sudah berani menghibur," tutur bapak tiga anak itu
Keberadaan kelompok karawitan yang eksis di AS itu memang tidak bisa dipisahkan dari Joko Sutrisno dan istrinya, Tri Supartini, sebagai perintis, pendiri, sekaligus pelatih SumunarLulusan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta 1987 itu sebenarnya sempat bekerja di KBRI Selandia BaruDia mengajar di Universitas Victoria, WellingtonNamun, pada 1995, Joko bersama istri dan anak-anaknya memutuskan "menempuh hidup baru" di Amerika SerikatSejak itulah dia merintis berdirinya kelompok karawitan Sumunar hingga saat ini
Selain mengelola sanggar kesenian Jawa itu, pria asli Sragen, Jawa Tengah, tersebut mengajarkan karawitan di banyak institusi pendidikanDari SD hingga SMA"Saya juga mengajar di beberapa perguruan tinggi di AS," tambahnya.
Keputusan untuk tinggal di AS dijalani dengan tekad bulat, tidak semata-mata untuk mencari pekerjaan"Tekad saya saat itu ingin berkarya dan berbagi ilmuItu saja," tegas Joko yang mengaku mendapatkan pekerjaan setelah browsing di internet.
Selain memboyong keluarga, Joko membawa satu set gamelan ke ASMulai kenong, kembung, gong, gender, kendang, gambang, hingga rebab"Itu modal utama saya untuk berbagi ilmu karawitan yang saya miliki itu,? ucap pria 47 tahun tersebut.
Tak perlu waktu lama, Joko dan Tri cepat mendapatkan muridItu karena banyak warga setempat yang penasaran mendengarkan harmoni musik gamelan"Agar bisa belajar rutin, saya juga membuka kelas khusus," kata peraih gelar enam kali berturut-turut sebagai artis inovatif Minnesota State Arts Boards ituDari situlah Joko lantas mendirikan kelompok karawitan dengan nama Sumunar Indonesian Music and Dance.
Latihan rutin pun mereka adakanSeminggu dua kaliHarinya menyesuaikan dengan jadwal angggotaMaklum, tidak semua anggota Sumunar dari kalangan senimanAda yang berprofesi sebagai guru, tenaga ahli komputer, teknisi, pelajar, dan mahasiswa.
Joko juga tak membatasi usia muridnyaDia menerima siapa pun yang ingin belajar gamelanTak heran bila ada anak didiknya yang masih berusia 8 tahun, tapi ada pula yang sudah 60 tahunMeski metode pengajarannya sama, Joko membagi mereka dalam kelas anak-anak dan dewasa"Ini karena tingkat kesulitan mereka masing-masing berbeda," ucapnya.
Kini murid dan alumnus didikan Joko sudah ribuan orangDia juga punya beberapa asistenMereka biasa belajar dan berlatih di ruang khusus musik gamelan di University Technology Center (UTEC), Minnesota.
Dalam mengajar Joko mengaku lebih senang melakukannya secara tradisional, seperti cara yang dia pelajari semasa kuliah di ASKI"Meski tidak langsung memegang alat, saya membiasakan mereka belajar notasi Jawa terlebih dahulu," katanya.
Dia mengajari anak didiknya mengucapkan not balok dalam tembang JawaTidak dengan do re mi fa so la si do, melainkan menggunakan notasi Jawa: ji (1), ro (2), lu (3), pat (4), mo (5), nem (6), tu (7)"Saya juga mengajari mereka menembang JawaSaya sekarang punya beberapa sinden yang hebatKeluwesannya tak kalah dengan sinden sini," tuturnya bangga.
Setelah memberikan pelajaran tentang tata cara pengucapan nada, pelajaran selanjutnya adalah pengenalan jenis dan cara memainkan setiap alat gamelan"Pinginnya mereka bisa menguasai semua, jadi belajarnya tidak sia-sia," jelasnya.
Di antara alat-alat karawitan itu, rebab dan gender yang dirasakan paling sulit dikuasai murid-murid Joko"Proses belajarnya tidak bisa dihitung bulanBahkan, ada yang sepuluh tahun baru bisa memainkan gender dengan lancar," tegas Joko.
Joko merasa proses belajar karawitan tidak cukup hanya bersentuhan langsung dengan alat musikPara siswa juga bisa mengasah kepekaan musikalnya dengan mendengarkan rekaman gamelan via CDDia pun kemudian membuat album karawitan khusus yang bisa dipakai untuk belajar para muridnyaBekerja sama dengan National Music Museum di University of South Dakota, Sumunar melahirkan dua album karawitan
Album pertama diluncurkan pada 2001 dengan judul Sumarah yang berisi enam tembangKemudian, pada 2008 Sumunar kembali meluncurkan album kedua bertajuk Sayuk"Di dalamnya ada musik kompilasi gamelan yang saya aransemen sendiri," katanya.
Lahirnya kedua album itu, kata Joko, terinspirasi oleh kelahiran anak keduanya, Nanda Sutrisno, 18, dan anak ketiga, Ratih Sutrisno, 16, yang lahir di MinnesotaSejak hamil, istrinya memang rutin mendengarkan musik gamelan"Setelah lahir, biarpun menangis sejadi-jadinya, anak-anak saya akan langsung berhenti setelah mendengarkan suara gamelan," papar Joko.
Menurut dia, rancaknya suara gamelan menjadi musik relaksasi bagi kehamilan istrinya kala ituKarena itu, di album kedua Joko mempersembahkan sebuah komposisi berjudul Titi Pati yang berdurasi 23 menit untuk relaksasi"Yang itu memang untuk relaksasi diri," jelasnya.
Meski sudah 15 tahun hidup di AS, Joko dan keluarga tidak berniat mengganti status kewarganegaraanKarena itu, dia masih sering wira-wiri AS-IndonesiaSelain untuk memperpanjang izin tinggal di AS, dia menyempatkan pulang untuk bersilaturahmi dengan keluarga dan teman-temannya.
Ke depan, Joko berencana membuka pusat kesenian di kampung halaman di SragenSebuah gedung lengkap dengan arena pertunjukan dan tempat latihan sudah dirancangnyaDi sana dia juga akan membuka sekolah seni gratis"Ini mimpi saya empat tahun ke depan, setelah saya ?pensiun? dari mengajar di AS," tandasnya(*/c2/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Setiawan Djody setelah Setahun Operasi Ganti Hati (1)
Redaktur : Tim Redaksi