jpnn.com, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan individu yang sedang atau telah pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara yang terpilih melalui pemilu, dapat diajukan sebagai calon presiden atau wakil presiden, meskipun usianya belum mencapai 40 tahun.
Pemerhati isu-isu strategis dan global Imron Cotan berpendapat bahwa putusan MK tersebut telah memunculkan polemik di masyarakat. Bahkan, ada kecaman dari Maklumat Juanda terdiri dari 200 tokoh, mulai pro ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan kontra.
BACA JUGA: Sorotan Media Luar Negeri soal Keputusan MK Melempangkan Politik Dinasti Ala Jokowi
“Ini berpotensi menimbulkan keresahan sosial. Jika itu terjadi, kita bisa mundur dari upaya kita menuju Indonesia Emas 2045,” ujar Imron dalam webinar nasional Moya Institute pada Selasa (17/10).
Karena itu, Imron mendorong agar Presiden Jokowi segera turun tangan untuk memutus polemik ini. Caranya adalah, pertama Presiden Jokowi tidak merestui Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres. Kedua, Gibran menyatakan ketidaksediaannya karena kesadaran bahwa dia masih perlu menyiapkan diri lebih matang lagi.
BACA JUGA: Putusan MK Tunjukkan Kemerosotan Independensi Hakim Konstitusi
“Yang bersangkutan punya potensi besar. Jadi, jika Gibran menyatakan ketidaksediaannya karena dia masih pemula, kekhawatiran atas masalah yang kita hadapi bisa dihindari,” kata Imron.
Langkah ketiga, adalah Koalisi Indonesia Maju (KIM) mengambil keputusan untuk tidak mencalonkan Gibran. Sebab tidak semua pimpinan parpol anggota KIM sepakat mengusung Gibran.
BACA JUGA: Tanggapi Putusan Uji Materi Soal Syarat Capres-Cawapres, Agus Widjajanto: MK Tidak Konsisten
Terpisah, Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi mengatakan MK sedang melakukan kejahatan konstitusional. Karena MK saat ini hanya berpihak ke oknum-oknum politik dalam memutuskan perkara.
“Bukannya menjadi wasit yang adil dalam memeriksa perkara yang muncul, MK malah membuka diri untuk dipolitisasi dan mengakomodasi kepentingan politik, terutama yang berkaitan dengan aktor penguasa,” ujar Hendardi.
Hendardi menilai bahwa MK telah mencapai titik integritas terendah dalam 20 tahun terakhir. Bahkan, pertama kalinya hakim MK, yakni Saldi Isra menyatakan ketidaksetujuannya terhadap putusan ini.
“Tidak perlu analisis rumit untuk menyimpulkan bahwa putusan MK ini dibuat demi Gibran yang meneruskan jejak politik ayahnya. Tidak ada presiden yang seaktif Presiden Jokowi dalam menyiapkan penggantinya selain Jokowi. Hal ini disebabkan bukan hanya oleh nafsu berkuasa, tetapi juga kecemasan Jokowi terhadap warisan buruk di banyak sektor,” ujar Hendardi.
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirajudin Abbas mengatakan putusan MK ini berpotensi menjadi jebakan baik bagi Gibran. Bahkan Jokowi juga terlihat ikut campur dalam Pilpres 2024 ini.
Padahal, kata dia, sebagai eksekutif Presiden Jokowi tidak boleh campur tangan dalam urusan yudikatif. Namun, semua juga menyadari bahwa MK saat ini cenderung berpihak pada partisipasi politik.
"MK menggunakan kekuatannya untuk mendukung kelompok politik tertentu, dalam hal ini memberi kesempatan bagi Gibran untuk menjadi cawapres Prabowo,” kata Sirajudin.
Sirajudin melihat adanya resistensi yang kuat di masyarakat. Dia menduga akan ada gerakan sosial yang lebih besar dari masyarakat yang kecewa akibat putusan ini.
“Bisa jadi gerakan mahasiswa yang menolak nepotisme muncul kembali seperti pada era reformasi dulu. Besarnya gerakan ini sulit diprediksi, tetapi berpotensi meredusir tingkat ketidakpercayaan publik,” ujarnya.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan putusan MK meningkatkan apatisme masyarakat terhadap masalah-masalah kebangsaan.
“Situasi seperti ini berisiko. Ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi, dan dalam jangka panjang, merugikan bagi Indonesia,” ujarnya. Mu'ti.
Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto mengatakan bahwa keputusan MK telah mengabaikan nilai-nilai demokrasi demi kepentingan politik jangka pendek.
"Keputusan ini berpotensi mempengaruhi pandangan positif publik terhadap integritas MK dan pemerintah," pungkas Hery Sucipto.(mcr10/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul