Subsidi BBM dan Kemiskinan

Oleh: Dr Ichsanuddin Noorsy BSc., SH., Msi

Selasa, 09 September 2014 – 01:01 WIB

jpnn.com - SAYA sangat heran, bagaimana mungkin orang-orang yang masuk dalam kategori terpandang dan cerdas bisa langsung bicara bahwa subsidi BBM –dalam RAPBN 2015 mencapai Rp 291,11 triliun- lebih banyak dinikmati orang kaya daripada orang miskin. Alasan ini yang membuat orang-orang hebat dan berkedudukan di Indonesia menyatakan, subsidi salah sasaran.

Ada beberapa alasan kenapa saya terkesima kepada mereka. Jika merujuk pasal 33 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945, maka BBM adalah komoditas yang dikuasai negara dan merupakan hajat hidup orang banyak (public goods). Maka yang berhak menikmatinya adalah rakyat Indonesia tanpa membedakan apakah miskin atau kaya.

BACA JUGA: Tunggu Apa Lagi, Pak SBY?

Hak ini terutama karena perut bumi Indonesia masih menghasilkan minyak mentah, walau orang asing yang lebih dominan menguasainya (Pertamina hanya menguasai 11 persen lebih pada minyak dan 14 persen pada gas). Saat kita mengimpor BBM, muncul pertanyaan, apakah layak APBN yang dipakai untuk membeli BBM impor ternyata dinikmati orang kaya?

Karena BBM tetap hajat hidup orang banyak, maka ketidak layakan orang kaya menikmati subsidi BBM impor dikonversi dengan meningkatkan pajak kepada orang kaya itu. Bukan dengan mengubah BBM (enerji) sebagai hajat orang banyak menjadi komoditas komersial, seperti yang dikehendaki IMF, Bank Dunia, USAID dan OECD.

BACA JUGA: Keinginan Luhur Politisi

Lagi, saat asing mendominasi jumlah produksi minyak mentah, dampaknya menjadi International Oil Company (IOC) yang menentukan besarnya produksi minyak mentah yang dihisap dari perut bumi Indonesia. Untuk mengangkat minyak dari perut bumi Indonesia pun, IOC berdasarkan kontrak bagi hasil menentukan biayanya. Biaya ini ditengarai mengidap banyak masalah sehingga biaya pokok produksi minyak Indonesia tidak mau diungkapkan secara terbuka.

Celakanya saya tetap tidak paham, kenapa orang-orang cerdas Indonesia sendiri tidak menghitung biaya pokok produksi atas minyak yang diolah kilang sendiri dan berapa biaya pokok produksi atas minyak yang diimpor? Karena hingga saat ini dua hal itu tidak terungkap, muncul pertanyaan, bagaimana mungkin lahir pernyataan bahwa biaya pokok produksi Premium RON 88 adalah Rp 10.500 per liter seperti disampaikan Komisaris Utama Pertamina, Dr Sugiharto kepada saya.

BACA JUGA: Jokowi, Prabowo dan Media

Tapi ada juga yang menyatakan bahwa pemerintah menyubsidi Rp 5.000 per liter. Artinya, harga jualnya sesuai dengan mekanisme pasar Rp 6.500 ditambah Rp 5.000 sama dengan Rp 11.500. Biaya pokok produksinya menjadi Rp11.500 dikurangi keuntungan untuk Pertamina Rp 766,4 sama dengan Rp 10.733,6 per liter.

Lalu muncul beberapa opsi kenaikan BBM dari Rp 500 per liter hingga Rp 3.000 per liter. Opsi-opsi ini menambah kebingungan karena dihubungkan dengan inflasi dan kemiskinan tanpa menjawab berapa sebenarnya biaya pokok produksi Premium perliter sehingga mereka memiliki opsi itu. Merujuk hitungan itu, kenapa harga pasar RON 88 menjadi lebih mahal daripada harga Pertamax?

Dengan argumen lebih layak belanja APBN dipakai untuk pembangunan infrastruktur dan hal lainnya, maka masyarakat pun diajak mengerti dan memahami pentingnya mengurangi bahkan mencabut subsidi. Ajakan ini merupakan kekerasan simbolik disebabkan alasan-alasan yang menyertainya tidak berpijak pada konstitusi.

Saksikan dan bacalah berbagai argumen yang mengemuka. Nyaris orang-orang terkemuka dan cerdas cendekia itu tidak membahasnya secara sistemik struktural. Mereka menolak pembahasan di lingkup sebab (hulu masalah), tapi lebih berfokus pada lingkup akibat (hilir masalah).

Media massa pun menurunkan wartawannya dengan mengajukan pertanyaan dalam lingkup akibat. Saat diajak bicara masalah sebab, sebagian besar dari mereka menunjukkan wajah yang tidak bersemangat. Ini keberhasilan kekerasan simbolik. Padahal dari fakta kenaikan BBM pada Maret dan Okt 2005, 2008, dan 2013, terbukti kesenjangan makin meningkat. Ini diindikasikan oleh Gini rasio pada 2005 mencapai 0,36 dan pada 2014 mencapai 0,43.

Dalam beberapa studi menunjukkan makin meningkat angka Gini rasio hingga 0,50 atau lebih, makin kuat potensi kerusuhan sosial. Jika angka kemiskinan menurun yang kini mencapai 11,27 persen atau sekitar 28,8 juta jiwa dengan batas kemiskinan 1,25 dolar AS perhari, bukan saja menggambarkan ekstrimnya batas angka kemiskinan tapi juga upaya mengganjal peningkatan kemiskinan dan ketimpangan karena kenaikan BBM sebenarnya gagal.

Fakta-fata ini yang mendorong agar Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla perlu lebih transparan, bijaksana dan konstitusional kalau hendak mengurangi atau mencabut subsidi. Masih terdapat alasan lain, di saat alasan di atas memberi pesan tentang pentingnya kejujuran.(***)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... 4.000 Peacekeepers: Pilihan atau Keniscayaan?


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler