jpnn.com - JAKARTA - Rencananya besok (11/8) Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Sumarsono akan menyerahkan Surat Keputusan (SK) Mendagri mengenai pengangkatan Wagub Tengku Erry Nuradi sebagai pelaksana tugas (plt) gubernur Sumut. SK Mendagri ini memberikan mandat ke Erry sebagai pengendali pemerintahan di Pemprov Sumut, setelah Gubernur Gatot Pujo Nugroho ditahan KPK.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syarif Hidayat mengingatkan para pejabat pimpinan SKPD yang selama ini berada di gerbong Gatot agar siap-siap disingkirkan.
BACA JUGA: Malaysia Nakal, TNI AU Siapkan 4 Sukhoi di Tarakan
"Pergantian besar-besar oleh wakil kepala daerah yang naik posisi merupakan konsekuensi pecah kongsi," ujar Syarif Hidayat kepada JPNN, kemarin (9/8).
Pengamat yang konsen meneliti tabiat penguasa lokal itu memulai analisisnya dengan menjelaskan dua model oligarki. Pertama, bipolar oligarki, yakni jajaran birokrasi terbelah dalam dua gerbong. Satu gerbong berisi penumpang orang-orangnya kepala daerah. Satu gerbong lagi diisi orang-orangnya wakil kepala daerah.
BACA JUGA: Napi Over Kapasitas, Lapas Ini Cuma Punya 9 Kamera Pengintai
Kedua, monopolar oligarki, yakni hanya ada satu gerbong, yang penumpangnya dikendalikan kepala daerah, dengan persetujuan manis dari wakilnya. Pada model oligarki ini, jajaran birokrasi kompak karena kada dengan wakilnya harmonis.
Nah, dalam kasus Sumut sekarang ini, menurut Syarif, memang terjadi pecah kongsi, sebagaimana diakui kuasa hukum Razman Arif Nasution, beberapa waktu lalu.
BACA JUGA: Khofifah Pastikan Stok Raskin di Lebak-Pandeglang Aman
Menurut pengamatan Syarif, selama ini gerbongnya Erry masih kecil, belum panjang. Ibarat kereta api, masih kelas ekonomi. "Sementara, gerbongnya gubernur (Gatot, red) sudah panjang, kecepatannya tinggi, ibaratnya kereta api ekspres," kata Syarif memberikan perumpamaan.
"Ketika Gubernur Sumut ditahan dalam kasus tangkap tangan dan wakilnya naik posisi, ini menjadi momen wakil gubernur untuk memperpanjang gerbongnya, agar bisa lari cepat, berubah menjadi gerbong kereta api ekspres," imbuhnya lagi.
Dalam situasi seperti ini, lanjutnya lagi, biasanya juga ada penumpang yang dengan cepat pindah dari gerbongnya gubernur, ke gerbongnya wagub.
Ditekankan lagi, fenomena seperti ini sudah sering terjadi di daerah yang kepala daerah dengan wakilnya mengalami pecah kongsi. Biasanya, ada dua alasan gerakan pembersihan ini. Pertama dengan alasan legal formal. "Dalam kasus Sumut misalnya dengan kalimat, "kan gubernur sudah ditahan, sudah tak punya kewenangan", itu alasan formal," kata Syarif.
Kedua, dengan melakukan lobi-lobi. Meski seorang plt tidak boleh melakukan mutasi jabatan, namun jika mendapat restu mendagri, maka tetap bisa dilakukan. "Jadi dengan lobi-lobi ke mendagri, untuk menggolkan kepentingannya," imbuhnya lagi.
Lebih lanjut Syarif mengatakan, dalam beberapa kasus, terjeratnya kepala daerah juga akibat dari terjadinya pecah kongsi. Misal, wakil mengangkat masalah permainan proyek yang melibatkan kepala daerah. "Begitu juga sebaliknya, kepala daerah juga berupaya menjatuhkan wakilnya. Ini sering terjadi akibat pecah kongsi," ulasnya.
Bahkan, menurut Syarif, dalam kasus tangkap tangan penyuapan hakim PTUN Medan ini, wajar jika muncul dugaan ada peran Wagub Sumut di balik kasus itu. "KPK melakukan operasi tangkap tangan itu kan berdasar laporan masyarakat. Nah, masyarakat yang mana? Penyuapan kan di Medan, kok KPK yang di Jakarta bisa tahu? Wajar dong curiga," bebernya. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Napi Korupsi Lebih Suka di Balik Jeruji Dibanding Bayar Denda
Redaktur : Tim Redaksi