jpnn.com, JAKARTA - Kegiatan tambang bawah tanah yang dilakukan Freeport Indonesia diilai bisa dengan mudah menghasilkan banyak tembaga dengan logam emas dan perak.
Kenyataannya, menurut pakar tambang bawah tanah, kegiatan tambang dengan metode block caving tidak segampang yang dipikirkan karena penuh resiko dan membutuhkan investasi sangat besar.
BACA JUGA: Kelola Kekayaan Alam Melenceng dari Cita-cita Kemerdekaan
“Secara umum, metode block caving seperti yang digunakan Freeport untuk kegiatan tambang bawah tanah membutuhkan biaya paling sedikit USD 10 miliar, dan kegiatan produksi penambangannya tidak boleh terhenti, karena bila terhenti maka akan terjadi peningkatan tegangan dan mengakibatkan runtuhnya terowongan,” kata guru besar Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB, Prof. Ridho Kresna Wattimena di Jakarta.
Bila terjadi sesuatu yang mengakibatkan terhentinya kegiatan tambang di bawah tanah, lanjut Ridho, akan meyebabkan kerugian yang sangat besar terutama dari sisi cadangan akan hilang dan tidak akan kembali lagi seperti semula.
BACA JUGA: Program Posyandu Anak Sekolah di Timika Tingkatkan Kepedulian Kualitas Kesehatan
Risiko ini sudah pernah terjadi. Di mana PT reeport Indonesia kehilangan cadangan ketika pada 2011 lalu para pekerja di tambang bawah tanah melakukan mogok kerja selama berbulan-bulan.
Hasilnya, 20 persen cadangan di bawah, di Deep Ore Zone tak bisa diambil lagi karena sudah terkompakkan kembali.
“Saya berharap bila ada kebijakan dari pemerintah yang dianggap tidak sesuai oleh perusahaan tambang, maka sebaiknya dicarikan solusi terbaik, karena ini akan merugikan pemerintah sendiri dalam penerimaan pendapatan, juga merugikan perusahaan dalam berivestasi, ini tidak saling menguntungkan,” jelasnya.
BACA JUGA: Penerimaan Bea Keluar Tembus Rp 1,2 Triliun
Metode block caving yang dilakukan Freeport, menurut Ridho merupakan satu-satunya yang dilakukan di Indonesia, dan metode ini dinilai paling murah per ton produksi bijih karena memanfaatkan gravitasi serta tidak mengganggu lingkungan.
Selain itu, pengembangannya membutuhkan waktu 15 sampai 20 tahun, dan belanja modalnya cukup besar hingga 70 persen sebelum bisa memasuki tahapan produksi.
Mencermati hal ini, Wakil Ketua Umum Indonesian Mining Institute (IMI), Hendra Sinadia mengatakan, teknologi tambang bawah tanah memang membutuhkan investasi yang luas biasa. Jadi wajar bagi perusahaan manapun menuntut adanya kepastian hukum dari operasional perusahaannya.
“Ini bukan hanya bicara Freeport saja, tapi juga perusahaan tambang lain. Mereka butuh kepastian operasional karena investasinya sangat besar dan jangka panjang. Apalagi risikonya juga tinggi,” kata Hendra.
“Pemerintah jangan kaku. Karena Kontrak Karya (KK) adalah produk hukum, dan memang harus diakui di dalam perjalanan kontrak ada UU baru yang mengatur pertambangan. Tapi sekali lagi, ini produk hukum yang harus dihormati. Pengusaha berinvestasi berdasarkan kepastian hukum. Nah KK membuat pengusaha berani berinvestasi besar-besaran. Jadi jangan main putus begitu saja. Itu tidak baik,” tutur Hendra.
Sebagai jalan tengah, dia menyarankan agar ada renegoisasi di antara keduanya. Baik pemerintah maupun Freeport harus saling mendengarkan dan tidak memaksakan kehendak.(chi/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... GP Ansor: Jangan Ada Pihak Cari Keuntungan di Perundingan Freeport
Redaktur & Reporter : Yessy