jpnn.com, BOGOR - Salah satu opsi mengatasi maraknya pernikahan dini adalah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) tentang Perkawinan.
Perppu tersebut diharapkan bisa menjadi pengganti UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dinilai sudah tidak relevan.
BACA JUGA: Hasrat Kuat Syam dan Ayu Melakukan Pernikahan Dini
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yambise mengatakan, ide membuat Perppu merupakan dorongan dari masyarakat sipil. Pada Jumat (20/4) lalu, mereka menyampaikan keresahan terkait banyaknya pernikahan dini kepada Presiden Joko Widodo.
Belakangan, lanjutnya, presiden menyetujui ide tersebut."Pak Presiden mendukung, sudah menyatakan kepada ormas-ormas yang hadir di Istana Bogor," ujarnya saat ditemui di perayaan Hari Kartini di Istana Kepresidenan, Bogor, Savtu (21/4).
BACA JUGA: Kisah Pernikahan Dini di Bantaeng, Pesta Telanjur Digelar
Yohana menilai, unsur keterdesakan sebagai syarat lahirnya produk hukum perppu sudah terpenuhi. Pasalnya, kasus-kasus perkawinan anak terjadi cukup massif di daerah. Jika tidak diatasi, hal itu akan berdampak buruk terhadap masa depan bangsa.
Berdasarkan kajiannya, kasus-kasus kekerasan pada perempuan, kekerasan pada anak, hingga kematian ibu-anak saat melahirkan banyak didominasi oleh hasil pernikahan dini. Baik itu karena psikis yang belum matang, hingga kondisi alat reproduksi yang belum sempurna.
BACA JUGA: Remaja Berhubungan Seks Luar Nikah kok tak Dirisaukan?
Bukan hanya itu, perkawinan dini juga mengakibatkan peningkatan angka putus sekolah. Di mana ujung dari rendahnya pendidikan adalah lahirnya benih-benih kemiskinan dan turunnya angka indeks pembangunan manusia (IPM). Dalam konteks yang lebih luas, hal itu berdampak pada terhambatnya pembangunan.
Dia mencontohkan, daerah yang memiliki angka pernikahan dini tinggi seperti Sulawesi Barat, berkolerasi dengan IPM yang rendah. "Jadi anak pengaruhnya besar terhadap kemiskinan dan juga IPM," imbuhnya.
Lantas, apa yang akan diatur dalam Perppu? Menteri kelahiran Papua itu menilai, salah satu norma pada UU 1/1974 yang perlu diperbaharui adalah usia minimal perkawinan. Di situ, angkanya terlalu rendah. Yakni 19 untuk laki-laki dan 16 untuk perempuan.
Yohana menilai, angka tersebut, khususnya bagi perempuan tidak ideal. Apalagi, jika merujuk UU nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, definisi anak adalah seseorang yang berusia sejak usia dalam kandungan hingga 18 tahun. Dengan demikian, umur 16 tahun sebetulnya masih masuk kategori anak.
Sementara untuk norma lain yang perlu diatur dalam Perppu, Yohana belum bisa membeberkan. Dia beralasan, butuh kajian lebih lanjut. Dalam waktu dekat, pihaknya akan menggelar diskusi publik bersama semua stekholder terkait, guna membahas arahan presiden lebih jauh.
"Kemungkinan minggu depan mengundang semua ormas, organisasi perempuan ini untuk hadir dengan pakar-pakar anak, termasuk tokoh adat, tokoh agama, dengan kementerian-kementerian," tuturnya. Dia juga berharap, DPR bisa mendukung sehingga prosesnya bisa berlangsung cepat.
Jika merujuk data Badan Pusat Statistik tahun 2017, angka perkawinan anak (di bawah usia 18 tahun) masih tinggi. Secara nasional, angkanya ada di 25,71 persen. Artinya 25 dari 100, atau 1 dari 4 perkawinan yang ada di Indonesia dilakukan di bawah 18 tahun. Di sejumlah daerah, angkanya lebih mengkhawatirkan. (far/wan)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menteri Yohana: Setop Pernikahan Dini !
Redaktur & Reporter : Soetomo