JPNN.com

Sidang Adat di Balai Panjang Tanah Periuk Jambi Selalu Terjaga hingga Kini

Oleh: Andre F. Setyadi

Jumat, 13 Desember 2024 – 17:40 WIB
Sidang Adat di Balai Panjang Tanah Periuk Jambi Selalu Terjaga hingga Kini - JPNN.com
Sejarah sidang adat di Rumah Tuo diperkirakan sama tua dengan bangunannya. Meskipun tidak diketahui secara pasti tahun berdirinya, tapi bagi masyarakat setempat, Rumah Tuo Balai Panjang amat bersejarah. Foto: dok sumber

jpnn.com - Di sebuah dusun yang tenang, Tanah Periuk, yang terletak di Kecamatan Tanah Sepenggal Lintas, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, terdapat sebuah bangunan bersejarah yang telah berdiri lebih dari empat generasi.

Rumah Tuo Balai Panjang, atau yang lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Perahu.

BACA JUGA: Kaesang Serukan Coblos Bambang Bayu Suseno-Jun Mahir di Pilkada Muaro Jambi

Masyarakat meyakini Rumah Perahu bukan sekadar tempat tinggal, melainkan simbol dari hubungan erat masyarakat dengan alam dan tradisi yang telah terjalin turun-temurun. Berlokasi di Dusun Tanah Periuk, Kecamatan Tanah Sepenggal Lintas, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, rumah tersebut seakan tak ingin lekang oleh zaman.

Bangunan ini masih menunjukkan eksistensinya, juga menjadi saksi bisu tempat di mana hukum adat ditegakkan.

BACA JUGA: Terjebak dalam Sumur, 4 Orang di Jambi Tewas

Sejarah sidang adat di Rumah Tuo diperkirakan sama tua dengan bangunannya. Meskipun tidak diketahui secara pasti tahun berdirinya, tapi bagi masyarakat setempat, Rumah Tuo Balai Panjang amat bersejarah.

Pertimbangan keterangan tersebut adalah bahwa Rumah Tuo Balai Panjang masih memiliki hubungan sejarah dengan nama Balai Panjang itu sendiri.

BACA JUGA: Ini Cara Bea Cukai Dorong UMKM Naik Kelas di Pasuruan, Tanjungpinang, dan Jambi

Budayawan Jambi, Jafar Rassuh, menjelaskan mulanya rumah tersebut diyakini sebagai tempat tinggal pimpinan sekelompok dari Pulau Jawa yang bernama Sri Pangeran Mangkubuwono. Menurutnya, kisah itu terjadi sekitar abad ke-17.

Kala itu, disebutkan Sri Pangeran Mangkubuwono datang ke Jambi karena adanya konflik di Kerajaan Mataram.

“Mereka datang sejumlah 40 orang dan diberi izin tinggal oleh Sultan Jambi. Kemudian mereka membuat perkampungan yang bernama Kampung Balai Panjang dan kemudian nama kampung tersebut berubah menjadi Tanah Periuk,” urainya.

Syahdan, itulah sekelebat persinggungan Rumah Tuo Balai Panjang dengan Rumah Panjang. Penelitian lebih lanjut tentang ini memang diperlukan, tapi keterangan tersebut dapat menjadi rujukan betapa Rumah Tuo Balai Panjang memang bersejarah

Penegakkan Sidang Adat

Hal itu seyogyanya turut diperkuat dengan fungsi dari Rumah Tuo, yang pada dasarnya juga menjadi tempat berlangsungnya sidang adat. Jafar membenarkan hal itu. Menurutnya, salah satu fungsi Rumah Tuo Balai Panjang memang digunakan untuk sidang adat atau musyawarah.

Keterangan tersebut menegaskan bahwa bangunan yang akrab disebut Rumah Perahu oleh masyarakat ini, memang dipergunakan untuk menegakan aturan, norma adat, dan hukum adat.

Menurut Jafar, bila sidang adat berlangsung, maka yang terlibat tidak hanya pemangku adat, tetapi juga tokoh masyarakat.

“Seperti ninik mamak, tuo tengganai, alim ulama, cerdik pandai, hulubalang, dan pemuda,” ucapnya.

Sidang adat, lanjut Jafar, dilakukan apabila ada individu atau kelompok yang melanggar aturan, norma, atau hukum adat. Adapun tujuannya, disesuaikan dengan permasalahan yang berlangsung.

Menurutnya, permasalahan yang dimaksud umumnya berkelindan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat sampai kasus besar.

“Seperti pantang larang bujang gadis, silang sengketa kelompok masyarakat, serta melanggar aturan dan norma yang berlaku,” tambahnya.

Dalam pelaksanaan sidang adat, tidak ada waktu khusus atau tergantung dengan kondisi. Kendati demikian, Jafar mengatakan, umumnya sidang adat berlangsung pada malam hari. Alasannya, di waktu malam semua warga sudah ada di kampung.

“Mereka (para warga) sudah pulang dari bekerja, baik di kebun ataupun ladang,” katanya.

Hal senada disampaikan Tokoh Masyarakat Adat Balai Panjang Tanah Periuk, Haidir. Ia menyatakan sejarah sidang adat di Rumah Tuo memang berlangsung pada malam hari dan bahkan sampai pagi.

Haidir menguraikan, sidang adat diadakan untuk menyelesaikan perkara, mulai dari masalah kecil sampai besar. Meskipun bersifat sidang adat, dalam pelaksanaannya masyarakat sejak dahulu mendasarkan pada hukum agama. “Sidang yang kami laksanakan ini, tetap bersendi pada Al-Qur’an,” kata Haidir.

Hingga kini sidang adat masih berlangsung. Bedanya dengan dahulu, peserta sidang selain seperti yang disebutkan Jafar, juga ditambah kasi-kasi pemerintahan. Haidir menjelaskan, hukum adat yang ditegakkan tidak lepas dari konstruksi Rumah Tuo.

Dalam sejarahnya, rumah adat itu berbentuk segi delapan yang memiliki delapan tiang. Delapan tiang ini yang kemudian menjadi istilah hukum adat.

“Yang segi delapan itu ada yang namanya hukum delapan. Hukum delapan itu bisa diselesaikan di Rumah Tuo,” ungkapnya.

Kata Haidir, di dalam hukum delapan ada istilah Empat di Atas dan Empat di Bawah. Contoh kasus Empat di Atas adalah pembunuhan, zina orang tua terhadap anak atau sebaliknya. Dalam konteks pelanggaran asusila, ada pembagiannya lagi. Haidir mencontohkan, hukum zina bapak terhadap anak berbeda dengan anak bujang kepada ibunya sendiri yang disebut dengan istilah Menikam Bumi. “Itu (Menikam Bumi) namanya anak bujang berbuat dengan ibu kandungnya. Itu yang paling tinggi sekali hukumnya,” terang Haidir.

Sementara itu, salah satu contoh pelanggaran hukum adat Empat di Bawah adalah perkelahian. Penyelesaian pelanggaran hukum adat Empat di Bawah bisa di Rumah Tuo. proses penyelesaian pelanggaran hukum adat Empat di Atas, terangnya, tidak lagi di Rumah Tuo. “Kalau Empat di Atas tidak lagi di rumah adat. Itu makanan Rio (pemangku adat). Kalau empat di atas, itu duduknya (yang menangani) harus Rio,” jelasnya.

Lebih lanjut, Haidir menerangkan, ada juga istilah hukum 20. Maksudnya, hukum delapan ditambah hukum 12. Contoh kasusnya, seperti sengketa. “Yang hukum 20 (bisa) dibagi lagi (proses penyelesaiannya). Boleh dengan saling memaafkan, kemudian ada yang secara pengobatan,” terangnya.

Haidir mengatakan, jika dikaitkan ke hukum formal, maka perkara yang diselesaikan dalam sidang adat bisa dibawa ke hukum formal. Namun, masyarakat setempat mengupayakan agar selesai dalam sidang adat. “Kalau dari kedua belah pihak, lalu mungkin ada satu pihak kurang terima keputusan adat, maka beliau bisa mengangkatnya ke hukum formal. Misal, ke kepolisian,” jelas Haidir.

Sementara itu, sidang adat di Rumah Tuo, kata Jafar, terikat dengan aturan adat. Menurutnya, aturan yang diberlakukan di Rumah Tuo disesuaikan dengan tata ruang bangunan yang sebelumnya sudah diatur oleh adat. “Seperti di ruang penteh yang boleh duduk di ruangan tersebut adalah ninik mamak, tuo tengganai, alim ulama, dan cerdik pandai,” ucapnya.

Sementara pada ruang tengah terdapat bendul jati sebagai pembatas ruangan tempat duduk peserta sidang atau musyawarah. Jika melanggar ketentuan tersebut, maka dikenakan sanksi adat. Haidir juga menjelaskan proses persidangan adat yang berlangsung tak ubahnya hukum formal. Menurutnya, pihak-pihak terkait yang bertanggung jawab atas sidang juga melakukan pemeriksaan mendalam.

“Kalau kata (istilah) polisi, BAP (berita acara pemeriksaan). BAP itu kami bawa ke sidang adat. Di situlah kami menimbang, mana yang salah, mana yang benar,” ujarnya.

Pemeriksaan ini dilakukan secara mendetail. Caranya dengan memeriksa pihak-pihak yang terlibat, termasuk meminta keterangan para saksi. Demikian dilakukan sebagai bagian dari upaya menyelesaikan perkara dengan seadil-adilnya. Kondisi tersebut pula yang membuat sidang bisa berlangsung berjam-jam, bahkan sampai pagi. “Tentu kita melihat bagaimana kejadiannya. Itu yang menjadi rumit,” ucapnya.

Prosesi sidang adat serupa itu dilakukan secara turun-temurun hingga hari ini. Menurut Haidir, hal tersebut demi mengambil keputusan secara adil dan bijak yang ditentukan dalam musyawarah kala sidang adat berlangsung. “Hukum sidang (adat) kita kan berjenjang naik. Kami tetap memakai (kebiasaan) dari orang-orang tua kami karena pertanggungjawaban kami dengan Tuhan,” jelas Haidir.

Rumah Tuo Kini Kin

Rumah Tuo di Dusun Tanah Periuk tersisa tiga rumah. Meskipun masih berdiri, tapi sudah terjadi perubahan yang signifikan. Ketiganya telah mengalami perubahan. Fungsi tata ruangnya pun sudah tidak difungsikan sebagaimana makna filosofisnya. Menurut Haidir, Rumah Tuo yang termakan usia membuat masyarakat tidak lagi menggelar sidang adat di sana. Namun, bukan berarti masyarakat tidak menjaga agar Rumah Tuo Balai Panjang tetap lestari. “Tapi kami melaksanakan sidangnya tidak lagi di rumah itu (Rumah Tuo), tapi rumah kepala desa,” ujar Haidir.

Sementara itu, penyebutan Rumah Perahu sebagai nama lain dari Rumah Tuo, seyogyanya bukan tanpa sebab. Diketahui, nama tersebut disematkan karena masih berhubungan dengan simbol kehidupan masyarakat yang tinggal di dekat perairan: sungai.

Bagi masyarakat, sungai adalah sumber penghidupan karena berfungsi sebagai jalur transportasi, interaksi sosial, dan sumber ekonomi. Maka tiada mengherankan jika masyarakat saat itu membangun rumah menyerupai perahu, sesuatu yang lekat pada kehidupannya. Adapun saat ini, secara keseluruhan Rumah Tuo di Jambi masih ada banyak. Hal pembeda dari setiap rumah yang tersisa adalah variasinya. (jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler