Sikapi Polemik PD, Pengamat: Negara Tidak Boleh Disandera Agenda Politik Pribadi

Jumat, 12 Maret 2021 – 09:20 WIB
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah harus bersikap adil, bijaksana dan rasional dalam memutuskan kasus kongres luar biasa (KLB) ilegal Partai Demokrat (PD). Negara tidak boleh terlalu lama disandera agenda politik pribadi.

Demikian disampaikan pengamat politik Ubedilah Badrun dan Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti, Jumat (12/3) menanggapi masih berlarut-larutnya kasus upaya pencaplokan Partai Demokrat oleh pihak-pihak eksternal melalui mekanisme KLB yang ternyata ilegal.

BACA JUGA: Partai Demokrat Sulsel Bakal Pecat Empat Kader yang Ikut KLB Deli Serdang

Ubedilah menyebut sudah hampir 40 hari isu pengambilan kepemimpinan Partai Demokrat menjadi perhatian publik sejak Ketua Umumnya Agus Harimurti Yudhoyono mengungkap pada 1 Februari lalu

Lebih lanjut, Ubedilah membaca pernyataan pemerintah yang akan menggunakan UU Partai Politik dan AD/ART Partai Demokrat hasil Kongres ke-5 tahun 2020 untuk menilai hasil KLB ilegal, sebagai isyarat kuat bahwa pemerintah tidak tertarik untuk melakukan manuver politik yang berisiko tinggi.

BACA JUGA: Jaga Kebersamaan, Relawan EBY Santuni Anak Yatim di Ngawi

Pernyataan pemerintah tersebut disampaikan secara konsisten oleh Menko Polhukam Mahfud MD dan Menkumham Yasona Laoly dalam kesempatan terpisah.

“Terlalu berisiko jika pada saat krisis seperti ini, Pemerintah mengesahkan KLB ilegal, apapun alasannya. Potensi gejolak politiknya terlalu besar," kata ubedilah yang juga adalah salah satu tokoh penting pemimpin gerakan mahasiswa tahun 1998.

BACA JUGA: Organisasi Sayap Demokrat Sebut KLB Deli Serdang Ilegal

Menurut Ubedilah, AHY cepat dan kompak melakukan konsolidasi DPD, DPC dan para anggota Fraksi PD DPRD se-Indonesia, dibandingkan dengan para mantan kader pelaku KLB ilegal yang tampak jelas tidak punya massa yang riil.

Ubedilah mengingatkan Pemerintah mengantisipasi potensi turbulensi politik yang tidak perlu terkait polemik di tubuh Partai Demokrat sehingga mengganggu fokus penyelesaian pandemi serta mengatasi krisis ekonomi.

Dia juga mengatakan masyarakat sudah lelah dan mulai gelisah dengan kesulitan ekonomi yang mereka hadapi.

"Jika krisis kesehatan dan ekonomi ini terus berlarut akibat fokus pemerintah pecah, bukan tidak mungkin kegelisahan masyarakat ini akan terekspresikan tak terkendali."

Sementara Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengingatkan bahwa pencaplokan Partai Demokrat bukanlah termasuk agenda pemerintah.

“Ini jelas agenda pribadi Kepala KSP Moeldoko, meskipun saya bertanya-tanya kenapa dibiarkan,” kata Ray.

Menurut Ray, tidak menguntungkan bagi Pemerintah untuk mengesahkan KLB ilegal yang berisiko menimbulkan gejolak politik.

"Ini tidak lebih dari ambisi pribadi salah satu pembantu Presiden," ujar Ray.

Ray menilai pola makelar politik ini cukup sering terjadi dalam perpolitikan di Indonesia.

Dalam kesempatan itu, Ubedilah dan Ray sama-sama menyarankan kepada Pemerintah agar konsisten menggunakan dasar hukum yang objektif dalam memutuskan perkara ini untuk   menjaga kepastian hukum dan kestabilan politik.

Keduanya mengingatkan kasus ini cukup banyak diberitakan media massa internasional dengan istilah take over (pengambilalihan, red) yang berimplikasi pada persepsi negatif terhadap pemerintah. Apalagi jika dikaitkan dengan peringatan lembaga-lembaga maupun peneliti internasional tentang kemunduran demokrasi di Indonesia. Padahal ada keterkaitan erat antara kualitas demokrasi dan iklim investasi.

Ubedilah maupun Ray sepakat jika Pemerintah salah mengambil keputusan maka risiko yang bakal ditanggung pemerintah baik di sisi politik maupun ekonomi terlalu besar ketimbang keuntungan politik yang hanya berlaku bagi salah satu pejabatnya saja.

“Apalagi ini era yang sangat terbuka, dan bisa menjadi preseden buruk di kemudian hari," pungkas Ubedilah.(fri/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler