Silaut dan Sejarah Gempa Pantai Barat

Sabtu, 21 Juli 2018 – 12:26 WIB
Suasana Batang Arau, Padang, Sabtu, 21 Juli 2018. Foto: Wenri Wanhar/JPNN.com.

jpnn.com - LAUT bukan sekadar pertanda. Bagi rakyat di sini, laut adalah cinta. Istilah tsunami yang baru-baru ini dikenal, dahulu kala, di Pantai Barat Sumatera disebut Silaut. 
 
Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network
 
Malam tadi, Sabtu, 21 Juli 2018. Tidur sedang lelap-lelapnya ketika bumi berguncang di kawasan Muaro Batang Arau, Padang, Sumatera Barat. 
 
Kantuk masih menggelayut. Di luar terdengar riuh rendah suara rakyat. Mereka menggunjingkan gempa. Sebagian bergegas ke tepi laut. Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, bagi rakyat di sini laut adalah pertanda. Apakah gempa berpotensi tsunami atau tidak.
 
Sejurus waktu, semua kembali ke peraduan masing-masing. Larut dalam lamunan masing-masing. Dan saya, kembali tertidur. Lelap.
 
Pagi ini, Cik Feng, kakak angkat di sebelah rumah meneruskan kabar dari Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono. 
 
Kabar itu bertajuk, Gempabumi Tektonik M5,3 Mengguncang Kabupaten Kepulauan Mentawai, Tidak Berpotensi Tsunami.
 
Begini bunyinya…
 
Hari, Sabtu, 21 Juli 2018, pukul 02.58.09 WIB, wilayah Samudera Hindia Pantai Barat Sumatera diguncang gempabumi tektonik. 
 
Hasil analisis BMKG menunjukkan informasi awal gempabumi ini berkekuatan M=5,3 yang selanjutnya dilakukan pemutakhiran menjadi M=5,2. 
 
Episenter gempabumi terletak pada koordinat 1,73 LS dan 99,81 BT, atau tepatnya berlokasi di laut pada jarak 44 km arah timur laut Kota Tua Pejat, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Propinsi Sumatera Barat pada kedalaman 23 km.

Gempabumi ini termasuk dalam klasifikasi gempabumi dangkal akibat aktivitas subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia. Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempabumi ini dipicu oleh penyesaran naik (thrust fault).

BACA JUGA: Luv U My Ocean

Dampak gempabumi berdasarkan Peta Tingkat Guncangan (Shakemap BMKG) menunjukkan bahwa guncangan dirasakan antara lain di daerah Padang pada skala II SIG-BMKG atau III MMI dan Pariaman pada skala I SIG-BMKG atau II - III MMI. 
 
Hal ini sesuai dengan hasil laporan masyarakat bahwa gempabumi ini dirasakan di Padang, Pariaman, dan kepulauan Mentawai II SIG-BMKG (II-III MMI). 
 
Padang Panjang, Bukit Tinggi, Painan I SIG-BMKG (I-II MMI). Hasil pemodelan menunjukkan bahwa gempabumi tidak berpotensi tsunami.

Hingga pukul 05.00 WIB, hasil monitoring BMKG menunjukkan adanya 6 kali aktivitas gempabumi susulan (aftershock), dengan kekuatan kekuatan yang paling besar M=4,7.  
 
Kepada masyarakat dihimbau agar tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
 
Riwayat Silaut

BACA JUGA: Sutan Muhammad Zain, Legenda Bahasa Indonesia

Sepanjang empat abad terakhir, menurut data National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA)--lembaga Amerika Serikat yang mengaji kondisi atmosfer dan laut. Serta tentu mencatat tiap kejadian tsunami di dunia--terjadi 28 kali tsunami di Pantai Barat Sumatera. 

Dua kali pada abad 18, sepuluh kali pada abad 19, enam kali pada abad 20 dan 10 kali pada abad 21 ini.

BACA JUGA: Kern…

“Dari 28 kejadian yang tercatat di NOAA, ada beberapa kejadian tsunami yang memuat informasi lebih berdasarkan sejumlah catatan,” ungkap Yose Hendra, sejarawan dari Universitas Andalas yang konsen meneliti sejarah bencana.

Misalnya, sambung Yose, gempa bumi dan tsunami tahun 1797. Episenternya merupakan bagian segmen Sumatera di sesar Sunda. 
 
Sejumlah rumah rusak. Bahkan runtuh. Kuatnya gelombang bahkan menggeser sebuah kapal bermuatan 150 ton hingga 200 ton milik Inggris, yang tengah sandar di pelabuhan Batang Arau, Kota Padang.
 
Gelombang tsunami itu menjangkau kota hingga radius satu kilometer ke daratan. Di Pantai Air Manis, selatan Padang juga dilaporkan perahu-perahu kecil hanyut hingga 1,8 km ke hulu sungai. 
 
Keesokan harinya, mayat-mayat ditemukan bergelimpangan di kawasan pantai Air Manis, dekat batu Malin Kundang. Bahkan di antaranya tersangkut di cabang-cabang pohon di sekitar pantai.
 
“Sebagian ahli, Hilman dan Sieh dalam Neotectonic of The Sumatran, memperkirakan munculnya tsunami akibat longsor di bawah laut yang dipicu oleh gempa bumi,” tulis Yose dalam buku Mentawai—Potret Kebencanaan Pulau Terluar.
 
Hampir empat puluh tahun berikutnya, 25 November 1833, gempa disertai tsunami kembali terjadi di Pantai Barat Sumatera. Kali ini terjadi pukul 10 malam, dengan kekuatan berkisar 8,8 SR hingga 9,2 SR. 

Menurut Yose, yang baru-baru ini bertandang ke pondokan saya di Batang Arau, peristiwa gempa 1833 sekilas bisa dilihat dari catatan Ridder van de Militaire Willems Orde Kelas IV Letnan I Infanteri J.C Boelhouwer. Dia bertugas di Sumatera Barat dari tahun 1831 hingga 1834. 

“Dalam memoar dengan judul Kenang-Kenangan Di Sumatera Barat selama tahun-tahun 1831-1834, dia menceritakan, ketika bertamu ke rumah seorang pejabat Belanda pada malam di tahun 1833, terasalah guncangan gempa.  Dia melihat seorang nona (gadis) yang duduk di atas bangku hampir saja meluncur sebelum dipegang oleh beberapa orang pemuda,” paparnya.

Akibat gempa itu, di beberapa tempat, tanah terbelah selebar dua kaki atau lebih. Laut bergolak dahsyat. Semua perahu yang sedang tertambat di pelabuhan Pariaman dan Padang hanyut jauh. Terpencar. 

Beberapa hari kemudian, Boelhouwer mencatat masih merasakan guncangan-guncangan gempa dengan skala kecil. 

Di Padang sejumlah rumah batu, termasuk gereja, rusak parah. Gereja malah tak bisa dipakai lagi. 

Dalam perjalanan ke Padang, Boelhouwer juga menemukan beberapa parit perlindungan yang rusak berat di pantai. Di Bengkulu, serdadu Belanda penumpas Kaum Padri ini mendengar seluruh dermaga hancur, kecuali kantor bea cukai. 

“Gempa dan tsunami yang melanda Pariaman hingga Bengkulu tahun di tahun 1833 ini, sering dijadikan sebagai dalih bahwa gempa dan tsunami di pantai barat Sumatera adalah siklus 200 tahun, dengan melihat terjadinya bencana yang sama di Aceh tahun 2004,” papar Yose.

Nah, dalam lawatan ke kawasan Pesisir Selatan—masih lintangan garis Pantai Barat Sumatara—JPNN.com beroleh kisah tutur dari tetua adat. Tentang peristiwa gempa dan tsunami dalam langgam senandung ala pantun. 

Dari sastra lisan itulah diketahui bahwa dahulu kala, karena kecintaan pada alam, dalam hal ini laut, rakyat di negeri ini menyebut peristiwa yang hari ini dikenal sebagai tsunami, dengan istilah Silaut. 
 
Buktinya, sampai kini memang masih ada nama daerah Silaut di wilayah Pantai Barat Sumatera. (wow/jpnn)
 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kern…


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler