Simak Alasan Mengapa UU Terorisme Belum Perlu Direvisi

Sabtu, 23 Januari 2016 – 16:50 WIB
Aboebakar Alhabsy. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA - Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Aboebakar Alhabsy menilai rencana revisi Undang-undang Terorisme belum terlihat urgensinya. 

Salah satunya, ia mencontohkan, usulan memberikan kewenangan kepada Badan Intelijen Negara melakukan penangkapan. Menurut dia, ini merupakan usulan yang tak tepat. Di negara manapun, kata Aboe, fungsi lembaga intelijen adalah pengumpulan informasi dan melakukan analisis situasi. "Bukan fungsi penindakan," tegasnya, Sabtu (23/1).

BACA JUGA: Komnas Ham: Eks Anggota Gafatar Seharusnya Tidak Dipulangkan

Demikian juga dengan usulan memperluas kewenangan kepolisian dengan memperpanjang masa penahanan dari satu menjadi dua minggu juga belum diperlukan. Hal ini mengingat banyaknya pihak yang melaporkan bahwa mereka merupakan korban salah tangkap dari Densus 88 Antiteros Mabes Polri.

Aboe berpandangan, rentang waktu satu pekan untuk menggali informasi dan memverifikasi informasi dari terduga teroris sudah lebih dari cukup. "Coba bandingkan dengan Bom Sarinah, hanya perlu waktu beberapa jam saja pihak kepolisian sudah bisa menyimpulkan bahwa teror tersebut dilakukan oleh jaringan ISIS," ujarnya.

BACA JUGA: Pemulangan Eks Anggota Gafatar Dianggap Bukan Solusi Terbaik

Kemudian tak sampai setengah hari dapat disimpulkan bahwa yang melakukan pengeboman adalah jaringan Bahrun Naim. Meskipun semua teroris mati tertembak, namun aparat dengan cepat dapat mengurai dan menyimpulkan pelaku teror.

"Oleh karenanya waktu 7 x 24 jam yang selama ini diberikan oleh UU Anti Terorisme sudah lebih dari cukup untuk memverifikasi informasi dari terduga teroris yang ditangkap," paparnya.

BACA JUGA: Atasi Gafatar, Menteri Agama Harus di Tengah

Selama ini, kata Aboe, Komisi III banyak menerima masukan dan komplain mengenai pola pemenuhan protap yang dilakukan oleh Densus dalam penangkapan terduga teroris. "Saya kira ini adalah isu yang seharusnya menjadi fokus lebih utama, bagaimana memperbaiki kinerja dengan aturan main yang sudah ada," ungkapnya.

Selain persoalan salah tangkap dan perlindungan HAM untuk masyarakat, banyak hal yang menjadi pertanyaan masyarakat dan seharusnya menjadi evaluasi dalam persoalan kontra terorisme di Indonesia. Misalkan saja, kenapa sebelum lahir Densus 88, penangan perkara terorisme bisa diurai sampai akar, sedangkan setelahnya pada terduga teroris selalu mati di lokasi.

Misalkan saja penanganan Bom Bali I, dimana aparat sukses menggiring semua pelaku, menghadapkan ke pengadilan dan mengeksekusi mati mereka sesuai aturan hukum yang ada.

Pertanyaan lainnya adalah, kenapa pula isu teorisme selalu dikaitakan dengan kelompok tertentu dan tidak berlaku untuk orang atau kelompok lain. Misalkan saja, Leophard yang melakukan empat kali pengeboman di Mall Alam Sutera tidak pernah disebut teroris. 

Demikian pula Kelompok di Papua yang menyerang dan mengebom aparat hingga menewaskan tiga orang polisi, mereka juga tak pernah disebut teroris hanya dilabeli dengan sipil bersenjata. Padahal yang dilakukan juga teror, dan juga menyerang aparat keamanan. "Saya kira ini semua menjadi PR aparat untuk melakukan penegakan hukum secara adil dan jujur," tuntasnya. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Jadwal Ulang Pemanggilan Politikus Partai Golkar


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler