jpnn.com - JAKARTA - Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ilham Oetama Marsis menilai, kasus vaksin palsu yang saat ini menjerat sejumlah tenaga medis sebagai tersangka, merupakan skenario cuci tangan pemerintah.
Dengan dijadikannya sejumlah dokter dan tenaga medis sebagai tersangka, muncul imej di masyarakat bahwa dokter yang bertanggung jawab atas kasus tersebut.
BACA JUGA: Anak Buah Megawati: Serahkan Pembebasan WNI Pada Ahlinya
"Ini menimbulkan perspektif negatif terhada profesi dokter dan fasilitas medis," kata Ilham dalam konferensi pers di kantor PB IDI, Jalan Sam Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (18/7). Asosiasi Rumah Sakit Indonesia (ARSI) dan Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) juga hadir di konpres tersebut.
Akibat skenario itu, masyarakat mendiskreditkan profesi dokter. Bahkan, ada dokter terluka karena mendapatkan perlakuan anarkitis di sejumlah tempat.
BACA JUGA: Bamsoet: Ini Skandal Paling Mengerikan
Kejadian tindak kekerasan dan anarkis terjadi di RS Harapan Bunda Jakarta Timur pada15 Juli 2016, RSIA Mutiara Bunda Ciledug pada16 Juli 2016, dan di RS Santa Elisabeth Bekasi pada16 Juli 2016
"Tolong pemerintah jangan memperkeruh masyarakat. Setiap orang punya tugas, pokok, dan fungsinya (tupoksi) masing-masing. Mari tuntanskan masalah ini," terang Ilham. (Mg4/jpnn)
BACA JUGA: Hasil Putusan Sela, Sidang Suap Panitera PN Jakpus Dilanjutkan
Berikut Pernyataan Sikap IDI, ARSSI, dan PERSI:
1. Menyampaikan empati yang mendalam kepada seluruh rakyat Indonesia, khususnya para orang tua yang anaknya diduga mendapat vaksin palsu. PB IDI yang mewakili seluruh dokter Indonesia beserta PERSI, dan ARSSI memahami situasi ini, namun tetap mengharapkan masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan anarkis yang dapat merugikan semua pihak serta mengedepankan asas praduga tidak bersalah.
2. Mendesak Kementerian Kesehatan RI dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI untuk bertanggung jawab atas terjadinya implikasi negatif yang terjadi akibat tidak baiknya protokol penanganan vaksin palsu dan secepatnya memulihkan situasi tidak kondusif ini dengan membuat protokol penanganan yang baik. Sesegera mungkin untuk menyampaikan kepada publik jalan keluar terhadap anak-anak yang telah terbukti mendapat vaksin palsu.
3. Dokter, tenaga kesehatan lain, atau fasilitas pelayanan kesehatan adalah korban dari oknum pemalsu vaksin, dan meminta kepada pemerintah untuk tidak membiarkan dokter, tenaga kesehatan lain, atau fasilitas pelayanan kesehatan untuk menghadapi keluhan masyarakat tanpa adanya jalan keluar solusi yang ditetapkan oleh pemerintah.
4. Mengusulkan untuk pendirian posko pengumuman pengaduan di Dinas Kesehatan setempat untuk dan pelayanan kesehatan. Posko menghindari kekisruhan masyarakat yang pernah membawa anaknya. Ini berfungsi menerima pengaduan untuk pelayanan vaksinasi, serta memberikan masa atau periode vaksinasi tersebut terindikasi menerima suplai vaksin palsu serta nama-nama anak yang terindikasi menerima vaksin palsu untuk selanjutnya dilakukan vaksinasi kembali berdasarkan ketentuan yang ada.
5. Meminta kepada Polri untuk memberikan jaminan keamanan bagi tenaga dan fasilitas kesehatan agar pelayanan kepada masyarakat tetap berjalan seperti biasa.
6. Pengurus Besar IDI berkoordinasi dengan jajaran IDI di tingkat wilayah dan cabang akan memberikan pendampingan hukum terhadap anggota IDI yang menjadi korban dari suplai vaksin palsu. Pendampingan juga dilakukan terhadap dokter-dokter yang menjadi korban anarkisme. Dalam hal ini akan dibentuk Satgas Advokasi Vaksin Palsu oleh PB IDI bersama PERSI dan ARSSI.
7. Pengadaan vaksin harus tetap dilakukan berdasarkan prosedur dan peraturan yang berlaku.
8. Mengimbau kepada seluruh pihak untuk tidak mempolitisasi kejadian ini, karena permasalahan kesehatan seluruh rakyat harus disandarkan kepada kemaslahatan bersama.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ssttt... Ini Ada Informasi dari Fahri Hamzah soal Kasus Vaksin Palsu
Redaktur : Tim Redaksi