jpnn.com, SIDOARJO - Majelis hakim menjatuhkan vonis dua tahun penjara untuk Dahlan Iskan dalam perkara kasus pelepasan aset PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim.
Vonis itu membuat direksi BUMN dan BUMD harus lebih berhati-hati dalam melakukan tindakan korporasi. Sebab, Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) tak sepenuhnya dipakai ketika berhadapan dengan hukum.
BACA JUGA: Aa Gatot Pakai Sabu untuk Memuaskan Istri, Divonis 8 Tahun Penjara
Seusai sidang, Dahlan mewanti-wanti para direksi BUMN atau BUMD agar memperhatikan hal tersebut.
”Teman-teman yang kini jadi direksi perusahaan daerah, menjadi direksi BUMN atau BUMD, tolong belajar dari apa yang terjadi di sidang ini dan sidang-sidang sebelumnya,” tutur mantan menteri BUMN itu.
BACA JUGA: Sejumlah Pesantren Doakan Dahlan Iskan
”Terus terang saya dulu tidak menyangka kalau ini tidak sepenuhnya harus tunduk pada UU PT,” sambung Dahlan.
Padahal, sebelum memutuskan menerima permintaan untuk mengabdi di PT PWU, Dahlan sudah mendapatkan kepastian dari Gubernur Jatim (saat itu) Imam Utomo.
BACA JUGA: Dahlan dan Musuh Besarnya
”Dijawab oleh gubernur bahwa ini PT, sepenuhnya tunduk pada UU PT. Tapi ternyata tidak. Anggaplah ini kebodohan saya,” katanya.
Dahlan mengaku sebagai direktur utama harus siap bertanggung jawab. Bagi Dahlan, sebagai pimpinan, dirinya harus bisa menerima. ”Bukan hanya enaknya, tapi juga pahitnya,” imbuh dia.
Dahlan mencontohkan konsekuensi atas apa yang ditandatanganinya. Menurut dia, sebagai direktur utama, memang dirinya harus menandatangani sejumlah dokumen.
”Tapi, ternyata yang saya tanda tangani itu ada yang tidak betul. Ya itu risiko pimpinan,” ujarnya.
Entah apa maksud kata ”enaknya” yang disampaikan Dahlan. Sebab, ketika menjadi Dirut PT PWU, nyaris tidak ada istilah enak bagi Dahlan. Dia justru kerap merasakan ketidakenakan.
Misalnya, hampir sepuluh tahun Dahlan tak mau menerima gaji, berbagai tunjangan, fasilitas, dan tentium.
Justru sebaliknya, dia pernah menjadi personal guarantee bagi PWU agar bisa mendapatkan pinjaman dari bank Rp 40 miliar.
Dahlan juga pernah meminjamkan uangnya Rp 5 miliar agar PWU bisa membangun gedung megah Jatim Expo (kini JX International).
Majelis hakim yang menyidangkan kasus penjualan aset PWU menganggap Dahlan bersalah karena tidak melakukan kontrol terhadap anak buah yang menjual aset sehingga menguntungkan orang lain dan korporasi.
Kendati demikian, hakim juga memastikan bahwa Dahlan tidak menggunakan uang hasil penjualan aset itu untuk kepentingan pribadi sepeser pun maupun menerima aliran duit dari pihak mana pun.
Dalam putusan yang dibacakan dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Surabaya kemarin (21/4) tersebut, hakim menghukum Dahlan dua tahun penjara dan denda Rp 100 juta.
Hakim tidak membebani Dahlan membayar uang pengganti karena menganggapnya tidak menikmati duit sepeser pun. Dahlan dianggap melanggar pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa Dahlan melakukan kesalahan karena tidak melakukan pengawasan (monitoring) dan tak mengikuti perkembangan penjualan aset di Kediri dan Tulungagung.
”Sebagai tanggung jawab sebagai Dirut, setidaknya bisa menanyakan ke ketua tim penjualan Wisnu Wardhana terkait penjualan aset,” kata hakim.
Sebab, pelepasan aset oleh tim penjualan dilakukan tidak prosedural. Misalnya, penentuan nilai aset tidak didasarkan pada harga pasar, NJOP, dan taksiran harga tim appraisal independen. Tim penjualan juga tidak melakukan penaksiran harga mesin dan alat produksi pabrik keramik di Tulungagung.
Dalam sidang sebenarnya terungkap penjelasan bahwa Dahlan sudah melakukan monitoring terhadap proses penjualan.
Ketika akan menandatangani akta penjualan, Dahlan menanyakan ke Wisnu apakah proses dan tahapan penjualan sudah dilakukan sesuai prosedur.
Setelah mendapat kepastian itu, Dahlan selaku direktur utama baru mau menandatangani akta penjualan. Tapi, keterangan tersebut tidak dijadikan pertimbangan oleh hakim.
Hakim mengatakan, berdasar surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT) PBB, aset di Kediri seharusnya dihargai Rp 24,4 miliar. Tapi, tim penjualan bersepakat dengan pembeli dengan harga Rp 17 miliar. Ada selisih Rp 7,4 miliar.
Menurut hakim, penjualan aset di Kediri itu telah menguntungkan Sam Santoso dan Oepojo Sardjono dari PT Sempulur Adi Mandiri (SAM) secara pribadi selaku pembeli aset.
Korporasi PT SAM tidak dianggap ikut diuntungkan karena saat itu belum pengesahan sebagai perusahaan.
Sementara itu, aset di Tulungagung yang berupa tanah, bangunan, dan mesin produksi keramik seharusnya terjual dengan harga Rp 10,08 miliar. Tapi, tim penjualan bersepakat dengan pembeli menjual aset tersebut seharga Rp 8,75 miliar.
Hakim menambahkan, dalam pelepasan aset di Tulungagung, tim penjualan tidak mempertimbangkan nilai mesin dan peralatan produksi keramik.
Karena itulah, penjualan tersebut dianggap telah menguntungkan korporasi PT SAM selaku pembeli Rp 1,3 miliar. Sebab, saat jual beli dilakukan, SAM sudah terdaftar sebagai perusahaan.
Selain itu, dalam pertimbangannya, hakim masih menganggap penjualan aset PWU harus mendapat persetujuan DPRD Jatim.
Menurut hakim, Dahlan sebenarnya telah berupaya meminta persetujuan penjualan sebelum melepas aset tersebut. Hanya, persetujuan itu tidak diberikan, tapi penjualan tetap dilakukan.
Dalil hakim tersebut masih mengacu keterangan saksi Sekretaris DPRD Jatim Ahmad Jailani yang sebenarnya tidak tahu-menahu tentang proses permintaan persetujuan.
Sebaliknya, keterangan saksi fakta mantan Ketua Komisi C Dadoes Soemarwanto dan mantan anggota Komisi C DPRD Jatim Farid Al Fauzi tidak dipertimbangkan sama sekali.
Padahal, dalam sidang, mereka menyatakan bahwa komisi C dan unsur pimpinan DPRD Jatim telah membahas permohonan persetujuan aset PWU bersama para pakar. Selain itu, DPRD telah berkonsultasi kepada menteri dalam negeri.
Kesimpulan yang didapatkan, DPRD tidak berwenang memberikan persetujuan karena PWU berbentuk PT. Dengan status tersebut, DPRD menganggap proses penjualan aset mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam UU PT dan tidak perlu meminta izin ke DPRD.
Sementara itu, hakim mengakui kehati-hatian Dahlan sebelum menjual aset dengan membentuk tim penjualan dan menyusun SOP. Hanya, meski Dahlan sudah melakukan hal tersebut, hakim menganggapnya tidak bisa terlepas dari tanggung jawabnya sebagai Dirut PWU.
”Selaku pucuk pimpinan, dalam melaksanakan kepengurusan perseroan, setidak-tidaknya melakukan monitoring, mengikuti perkembangan, menanyakan, sebagai wujud tanggung jawab,” tutur hakim.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim juga memastikan bahwa Dahlan tidak menggunakan dana sepeser pun dari hasil penjualan aset untuk kepentingan pribadi.
Berdasar fakta sidang, hakim juga memastikan bahwa Dahlan tidak menerima aliran dana dari pihak yang diuntungkan.
Yaitu PT SAM, Oepojo Sardjono, maupun Sam Santoso selaku pembeli. Karena itulah, hakim tidak mewajibkan Dahlan membayar uang pengganti.
Sebelumnya jaksa menuntut Dahlan hukuman enam tahun penjara dan meminta membayar uang pengganti. Namun, hakim tidak sepakat dengan tuntutan jaksa tersebut.
Menanggapi vonis itu, Dahlan menyatakan berterima kasih karena dirinya tidak terbukti mengambil, memakan, dan menyalahgunakan uang PWU.
Selama menjadi Dirut PWU, Dahlan malah menolak menerima gaji, tunjangan, maupun fasilitas lainnya. Dia bahkan kerap menggunakan uang pribadi saat melakukan kegiatan terkait PWU.
Dalam sidang kemarin, Dahlan mengenakan baju kotak-kotak warna merah. Ketika dia meninggalkan ruang sidang, sejumlah wartawan sempat menanyakan hal tersebut.
Dahlan menanggapinya dengan nada bergurau. ”Saya kira kalau pakai baju ini jadi sakti. Ternyata tidak. Malah panas,” ucapnya disusul tawa.
Sementara itu, Agus Dwiwarsono, salah seorang pengacara Dahlan, mengatakan bahwa hakim tidak mempertimbangkan pembagian peran antara Dahlan sebagai direktur utama dan Wisnu selaku ketua tim pelepasan aset. Menurut dia, Dahlan telah membentuk tim penjualan dan menunjuk Wisnu sebagai ketua.
Penunjukan tersebut merupakan pemberian mandat dari direktur utama kepada ketua tim. ”Dalam hal ini, sejauh mana pertanggungjawaban Wisnu selaku pemegang mandat? Apakah pemberi mandat harus mengambil tanggung jawab 100 persen?” tanya dia.
Agus juga mempertanyakan apakah Dahlan sebagai direktur utama yang memiliki kewajiban hukum untuk menandatangani akta penjualan dianggap melanggar atau menyalahgunakan wewenang.
Menurut dia, tidak dipertimbangkannya pembagian peran dalam pelepasan aset akan dijadikan bahan untuk mengajukan banding.
”Kami juga akan menunjukkan kekhilafan hakim yang tidak menjadikan fakta yang terungkap dalam persidangan sebagai fakta hukum,” ucapnya.
Setelah vonis terhadap Dahlan kemarin, Kejati Jatim bersiap membidik Sam Santoso dan Oepojo Sardjono sebagai tersangka berikutnya di kasus penjualan aset PWU. Rencananya, Selasa (25/4) keduanya diperiksa sebagai saksi.
Setelah pemeriksaan dianggap cukup, mereka akan menjadi tersangka. Kepala Kejati Jatim Maruli Hutagalung menyatakan, keduanya akan menjadi tersangka setelah vonis terhadap Dahlan dan Wisnu. Sebab, jika Dahlan dan Wisnu dinyatakan bersalah, Oepojo dan Sam tidak bisa mengelak lagi.
Soal kondisi Sam yang dikabarkan sakit sehingga jaksa kesulitan untuk memanggil di sidang Dahlan, Maruli beralasan tidak tahu.
Yang jelas, panggilan sudah dilakukan. Kalau sampai tiga kali dipanggil Sam tidak datang ke Kejati Jatim, Maruli mengatakan bisa mengambil tindakan tegas.
”Saya belum tahu kondisinya. Kalau dipanggil secara patut tiga kali tidak datang, bisa kami datangi,” tandasnya.
Maruli juga menyebut bisa meminta keterangan dokter dan memeriksa di tempat. Sebelumnya tidak terlihat tekad sekuat itu saat jaksa memanggil Sam ke sidang Dahlan.
Akhirnya, hanya keterangan Sam yang dibacakan di pengadilan. (atm/bjg/rul/tel/c9)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kasus Dahlan Iskan, Pesan dari Penguasa untuk Orang Lain
Redaktur : Tim Redaksi