jpnn.com, JAKARTA - Dua peneliti dari Universitas Padjajaran (UNPAD), Satriya Wibawa dan Bayu Kharisma mengungkan hasil kajian terkait kebijakan cukai rokok. Kajian ini mengupas posisi Indonesia dalam Framework Convention on Tobacco Control (FTCC) serta dampak simplifikasi cukai rokok terhadap penerimaan negara, persaingan usaha, dan variabilitas harga.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan untuk tidak turut serta meratifikasi FCTC karena dianggap sarat kepentingan asing yang berpotensi destruktif terhadap industri tembakau tanah air.
BACA JUGA: Bea Cukai dan Kepolisian Bersinergi Berantas Peredaran Rokok Ilegal di Meulaboh
Jika diterapkan di Indonesia, hal ini akan berpotensi menamatkan industri tembakau tanah air. Sebagai pengganti, Pemerintah telah menetapkan peraturan-peraturan yang sangat ketat untuk memastikan industri ini dapat dikontrol.
Namun, beberapa waktu terakhir timbul upaya lain untuk mengubah kebijakan struktur tarif cukai rokok melalui simplifikasi tarif dan penggabungan volume produksi Sigaret Kretek Tangan (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM).
BACA JUGA: Tak Kenal Waktu, Bea Cukai Kudus Terus Gempur Rokok Ilegal
Wacana ini masih menjadi polemik di industri tembakau Indonesia. Dalam penelitiannya, Bayu melakukan simulasi untuk mengkaji dampak dari penggabungan SPM dan SKM. Penggabungan volume ini disimulasikan dengan adanya perubahan harga cukai per-batang pada golongan 2 layer 1 dan layer 2 menjadi golongan 1.
“Simulasi memperlihatkan penjualan SKM golongan 2 layer 1 akan turun sebanyak 258 ribu batang per-bulan, sedangkan SKM golongan 2 layer 2 turun sebanyak 113 ribu batang per-bulan. Selanjutnya, pada jenis rokok SPM penggabungan menyebabkan penjualan SPM golongan 2 layer 1 turun sebanyak 2.533 juta batang, dan SPM golongan 2 layer 2 turun sebanyak 1.593 juta batang,” ucap Bayu Kharisma pada diskusi media yang diselengarakan oleh Forum Diskusi Ekonomi Politik.
BACA JUGA: Di Pangkalan Kerinci, Bea Cukai Pekanbaru Amankan 200 Karton Rokok Polos
Imbas dari diberlakukannya penggabungan volume produksi SPM dan SKM akan meluas ke berbagai aspek. Bagi pelaku industri golongan II layer 1 dan 2, kenaikan tarif yang drastis akan mengancam kelangsungan usaha mereka, sehingga menyebabkan hilangnya lapangan kerja ketika banyak pabrik yang terpaksa gulung tikar.
Pengurangan produksi SKM juga berdampak negatif pada pengurangan serapan tembakau lokal dan cengkeh. Saat ini, SKM golongan 2 menggunakan bahan baku lokal sebanyak 94%.
“Simplifikasi bukannya menambah penjualan, yang terjadi pengurangan penjualan produk tembakau yang berakibatkan pada penerimaan negara," katanya.
Bayu menambahkan perusahaan di golongan 2 terpaksa menaikan harga rokok. Akibatnya, dengan memahami bahwa harga adalah salah satu faktor penentu bagi konsumen rokok di Indonesia, maka preferensi konsumen akan beralih ke rokok lain yang lebih murah.
Harga Jual eceran rokok semakin mahal, dan timbul potensi rokok ilegal masuk ke pasaran untuk mengisi rokok dengan harga yang lebih murah.
“Masalah lain dari penerapan simplifikasi adanya terbentuknya pasar rokok illegal yang mana adanya penggelapan pajak,” ucap Bayu.
Anggota Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kodrat Wibowo menambahkan bahwa simplifikasi cukai tembakau berpotensi diskriminatif atas prinsip-prinsip persaingan usaha.
Ketika variasi harga berkurang, maka ada indikasi pasar terpusat di beberapa industri saja. Hal ini memunculkan persaingan tidak sehat dengan memainkan perang harga untuk menjatuhkan industri lain.
“Jika ada kebijakan jumlah pabrikan berkurang itu lampu kuning bagi kami,” ucap Kodrat Wibowo.
Kepala Subdirektorat Program Pengembangan Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Mogadishu Djati Ertanto mengatakan multiplier effect industri tembakau sangat besar baik kepada penjual retail, maupun 1 juta petani cengkeh dan 700 ribu petani tembakau.
“Dampak industri ini sangat besar baik hulu maupun hilir industri,” serunya.
Peneliti Universitas Padjajaran Satria Wibawa mengatakan posisi Indonesia di FCTC adalah tidak menandatangani maupun meratifikasi meskipun merupakan salah satu dari para drafting members yang ikut menyusun draft FCTC tersebut.
“Indonesia punya aturan PP no 109 tahun 2012, jika Indonesia mendatangani FCTC maka akan banyak kepentingan asing yang mengontrol Indonesia dalam pengendalian produk tembakau. Agenda FCTC tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan dan kepentingan nasional yang dimiliki oleh Indonesia,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Budayawan Mohamad Sobary turut menanggapi hal ini bahwa kretek yang merupakan produk tembakau Indonesia dalam upaya pengekangan. Sebagai contoh, sebagai bagian dari pembatasan yang kian eksesif, produk rokok memiliki peringatan kesehatan yang semakin lama porsinya semakin besar.
“Tulisan rokok membunuhmu pada bungkus produk tembakau merupakan bahasa politik, bukan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh orang-orang kesehatan,” ucapnya.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy