jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Garuda Teddy Gusnaidi menilai pasal penghinaan presiden dalam RKUHP seharusnya tak menjadi polemik.
Sebab, penghinaan tidak dapat dibenarkan baik secara ajaran agama maupun adab di masyarakat.
BACA JUGA: Harap Tenang, RKUHP Belum Akan Disahkan Masa Sidang Ini
"Kenapa hal negatif ini dianggap hal positif, sehingga tidak boleh dilarang jika ada yang melakukan penghinaan," ungkap Teddy dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (8/7).
Menurut Jubir Partai Garuda itu, jika yang dilarang dalam RKUHP itu ialah mengkritik dan mengeluarkan pendapat, maka perlu ditentang, karena bertentangan dengan demokrasi dan UUD 45.
BACA JUGA: Chandra Khawatir RKUHP Menjadi Alat Represi
"Kritik dan menghina itu dua hal yang berbeda," bebernya.
Teddy mengatakan menyerang kehormatan atau harkat dan martabat siapa pun tentu tidak dibenarkan, termasuk terhadap presiden.
BACA JUGA: Partai Garuda Optimistis MyPertamina Bikin Subsidi BBM Tepat Sasaran
"Ini hal yang normal yang dibuat seolah-olah tidak normal karena punya tujuan-tujuan tertentu," ujarnya Teddy.
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan disahkan oleh DPR RI dinilai cacat.
Sempat didemo saat hendak disahkan pada 2021, tetapi berembus kabar bakal lagi bakal diketok pada 2022. Akibatnya, muncul penolakan oleh masyarakat.
Salah satunya dari puluhan mahasiswa yang melakukan aksi damai untuk menyuarakan penolakan pengesahan RKUHP.
Ada sejumlah pasal di dalam RKUHP yang dianggap mengancam demokrasi yang sudah terjalin baik sejak Reformasi 1998.
Setidaknya ada 14 pasal yang dinilai hasil persekongkolan buruk para elite.
Pertama, Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 598 yang meliputi aspek pengaturan hidup di dalam masyarakat.
Kedua, pasal tersebut bertentangan dengan asas legalitas.
Kemudian, Pasal 2 Nomor 67, 99,100,101 yang meliputi aspek hukuman mati dan bertentangan dengan hak asasi manusia sehingga perlu dihapus sebab sangat rentan disalahgunakan.
Berikutnya, Pasal 218 tentang Penghinaan Presiden. Aturan tersebut dinilai otoriter karena seorang presiden dipilih langsung oleh rakyat dan bukan raja sehingga bertolak belakang dengan semangat demokrasi. (ast/jpnn)
Redaktur : Elvi Robiatul
Reporter : Aristo Setiawan