Australia dikhawatirkan akan ketinggalan bila tidak segera mengamankan pasokan obat COVID di saat negara lain mulai mengalihkan fokusnya dari vaksinasi ke obat-obatan.
Raksasa farmasi GlaxoSmithKline (GSK), yang telah mencapai kesepakatan dengan Pemerintah Singapura untuk memasok satu jenis obat yang menjanjikan, menyatakan sikap Pemerintah Australia belum jelas soal pembelian obat dari mereka.
BACA JUGA: Begini Pengalaman Warga Indonesia di Adelaide Selama Lockdown, Ada Perasaan Campur Aduk
Saat ini hanya ada satu jenis obat yang telah digunakan secara luas untuk pasien COVID di berbagai negara, yaitu steroid yang disebut Dexamethasone, yang mengobati radang paru-paru.
Namun, obat ini hanya efektif pada pasien yang menderita gejala parah dan menerima bantuan oksigen.
BACA JUGA: Situasi Covid-19 di Indonesia Mengancam Industri Ekspor Ternak Australia
Para pakar kesehatan mengatakan rencana Australia keluar dari pandemi dan memperlakukan COVID sebagai flu biasa, tentunya memerlukan obat-obatan, khususnya untuk mengatasi gejala yang ringan namun lebih menular.
Associate Professor Steven Tong adalah peneliti di Doherty Institute, sekaligus ketua Australasian COVID-19 Trial (ASCOT), yang mengevaluasi perawatan pasien COVID.
BACA JUGA: Penderita COVID Masih Menunggu Jawaban Misteri Kondisi Mereka
Menurutnya, meskipun proporsi populasi yang telah divaksinasi cukup tinggi, tapi akan selalu ada pasien yang berakhir di rumah sakit.
"Jadi untuk kelompok masyarakat seperti itu, kita sangat membutuhkan obat sehingga bisa mengurangi risiko mereka terkena penyakit yang sangat parah," kata
"(Meski vaksinasi telah dilakukan) Ada kebutuhan besar dan mendesak agar kita memiliki perawatan yang lebih baik bagi para pasien COVID," kata Dr Steven Tong.
"Jadi saya pikir benar-benar ada kebutuhan besar, kebutuhan mendesak, bagi kita untuk memiliki perawatan yang lebih baik untuk pasien dengan COVID."
Menurutnya, meski 80 persen populasi Australia divaksinasi, sebagian besar masih akan rentan terhadap penyakit karena mereka resisten terhadap vaksin atau memilih untuk tak divaksinasi.
Dr Tong mengatakan ASCOT saat ini fokus pada obat anti-koagulan untuk menghentikan pasien COVID mengalami pembekuan darah.
Dia menyebut kelas obat yang disebut antibodi monoklonal telah berhasil dalam mengobati pasien COVID yang baru saja tertular penyakit dan paling menular.
"Ada bukti yang cukup kuat menurut sejumlah penelitian ... untuk pasien yang dirawat di rumah sakit, jika Anda memilih pasien yang tepat maka [obat-obatan] ini sangat efektif dalam mengurangi risiko masuk ke rumah sakit itu sendiri atau kemudian meninggal," kata Dr Tong.
"Obat ini telah disetujui untuk penggunaan darurat di Amerika Serikat sekarang. Pasien yang didiagnosis COVID sejak dini di komunitas bisa datang ke klinik atau meminta perawat datang ke rumah untuk diberikan infus antibodi ini," jelasnya.
Ditanya apakah Pemerintah Australia harus segera mengamankan stok obat antibodi monoklonal ini, Dr Tong mengatakan, semakin cepat mendapatkannya akan semakin baik. Sangat menakutkan bagi penderita kelainan imun
Studi dari Amerika Serikat dan Australia menunjukkan bahwa lebih dari satu juta orang Australia mengalami gangguan imun yang parah. Artinya, vaksin COVID mungkin tidak efektif untuk mereka.
Orang-orang ini termasuk penerima transplantasi, pasien kanker yang menjalani kemoterapi, dan orang lain yang minum obat yang menekan sistem kekebalan tubuh.
Penelitian di Australia tahun 2018 menunjukkan bahwa 20 persen populasi — sekitar 5 juta orang — mungkin mengalami gangguan imun level sedang.
Orang-orang dengan gangguan imun berisiko lebih besar untuk meninggal ketika mereka tertular COVID.
Skenario untuk memperlakukan COVID sama seperti flu biasa sangat menakutkan bagi mereka.
Hal itu diakui oleh Jane Fletcher, seorang penerima transplantasi paru-paru.
"Pada akhir 2019, ketika orang mulai membicarakan apa yang terjadi di Tiongkok, saya sampaikan ke suami, ini akan akan sangat buruk bagi saya. Memang demikian jadinya," ujar Jane.
"Ini masa yang sangat menakutkan bagi saya," tambahnya.
Dia telah menerima suntikan vaksin Pfizer pertamanya, tapi tidak tahu apakah dia akan terlindungi bahkan setelah mendapatkan dosis kedua.
Jane mendorong pemerintah agar proaktif mencari perawatan terapeutik sesegera mungkin.
"Vaksinasi itu penting, jika kita mendapatkan kekebalan kelompok. Tapi kita juga perlu tahu bahwa orang masih akan tertular COVID dan harus tersedia pengobatannya," katanya.
Dr James McMahon dari rumah sakit Alfred Hospital di Melbourne mengatakan dari pengalamannya menangani pasien, Dexamethasone sangat efektif dalam mengobati pasien COVID yang parah.
Namun, katanya, ada kebutuhan untuk obat yang aman dan mudah diberikan guna mengobati kasus yang lebih awal dan lebih ringan.
Menurut Dr McMahon, fakta bahwa antibodi monoklonal perlu diberikan secara infus bisa jadi masalah, tapi obat ini masih menjadi pilihan yang menjanjikan.
"Ini (Dexamethasone) pilihan penting, tapi saya pikir kita juga ingin memiliki pilihan lain," ujar Dr McMahon.
Ia mengatakan saat ini banyak percobaan yang sedang berlangsung untuk mengidentifikasi obat-obatan yang efektif saat seseorang baru terinfeksi.
"Obat yang bisa diminum sebagai tablet, sangat aman dan tidak perlu banyak pemantauan. Jika kita memiliki tiga hal ini, akan menjadi terobosan besar," ujarnya. Australia belum pasti beli obat antibodi
Saat ini salah satu obat antibodi monoklonal baru - diproduksi oleh GlaxoSmithKline (GSK) - sedang dievaluasi oleh badan pengawas obat-obatan untuk "penggunaan yang dipercepat" di Australia.
Pemerintah Singapura telah menandatangani perjanjian pembelian untuk obat tersebut, yang disebut Sotrovimab, dan telah disetujui untuk penggunaan darurat di Amerika Serikat.
Uni Eropa juga telah membeli dosis antibodi monoklonal lain yang disebut Regeneron. Obat ini yang digunakan untuk mengobati mantan Presiden AS Donald Trump ketika ia tertular COVID tahun lalu.
Dalam pernyataan kepada ABC, GSK menjelaskan pihaknya berusaha mengirimkan obat ini kepada penderita COVID di Australia.
"GSK telah melakukan pembicaraan dengan pemerintah di berbagai negara untuk memastikan akses yang tepat waktu, termasuk melalui perjanjian pembelian lanjutan yang secara paralel berjalan dengan proses persetujuan aturan. Jalur akses di Australia masih belum jelas," katanya.
"GSK ingin bermitra dengan pemerintah dalam mencapai kesepakatan ini, yang akan menjadi langkah penting untuk memastikan akses (mendapatkan pasokan obat)," tambahnya.
Juru bicara oposisi untuk urusan kesehatan Mark Butler mengatakan pemerintah Australia harus segera membuat perjanjian pembelian obat COVID, terlepas dari belum adanya persetujuan akhir badan pengawas obat-obatan (TGA).
"Jadi, selain proses persetujuan yang akan dilalui pihak berwenang seperti TGA, saya berharap pemerintah proaktif, cepat memastikan bahwa kita akan mendapatkan pasokan dari obat-obatan apa pun yang akhirnya disetujui," katanya.
Departemen Kesehatan dalam pernyataan kepada ABC menyebutkan, pihaknya akan bertindak berdasarkan panduan dari penasihat pemerintah termasuk Science and Industry Technical Advisory Group (SITAG) dan Clinical Evidence Taskforce.
"Pemerintah Australia melakukan pertemuan secara teratur dengan berbagai pengembang dan produsen vaksin dan obat COVID-19," bunyi pernyataan Depkes.
"Pembicaraan ini bersifat rahasia secara komersial. Kami memantau uji klinis yang sedang berlangsung dan meninjau keefektifan dari peluncuran vaksin," katanya.
"Setiap investasi dalam obat COVID-19 akan tunduk pada saran dari SITAG, dan penilaian bukti klinis, termasuk diversifikasi portofolio dan risiko," paparnya.
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Respons Hidung