Setelah mengklaim berhasil mengendalikan penyebaran virus corona, Singapura berencana melonggarkan aturan bagi pendatang dari beberapa negara, termasuk Australia.
Dengan pelonggaran tersebut, pendatang dari Australia kecuali dari negara bagian Victoria, hanya akan diminta menjalani karantina selama tujuh hari.
BACA JUGA: Mengapa Victoria dan Melbourne Memerlukan Status Darurat Sampai 12 Bulan Lagi?
"Situasi COVID-19 di seluruh dunia cair dan terus berubah. Berdasarkan penilaian risiko terbaru, kami memutuskan untuk menyesuaikan aturan pengendalian perbatasan kami," ujar Menteri Pendidikan Lawrence Wong, salah satu ketua satgas COVID-19 Singapura.
"Ada beberapa tempat yang infeksinya sudah terkendali dan berisiko sangat rendah untuk membawa infeksi itu ke sini," tambahnya.
BACA JUGA: Perempuan Asal Indonesia Dituduh Berkali-kali Lakukan Penipuan di Australia
Selain wisatawan dari Australia, pelonggaran aturan yang akan diberlakukan mulai 1 September ini juga ditujukan bagi wisatawan dari Malaysia, China, Taiwan, dan Vietnam. Mereka hanya diminta menjalani karantina tujuh hari, bukan 14 hari.
Pengaturan kunjungan wisata yang lebih khusus telah dijalin oleh Singapura dengan Brunei dan Selandia Baru.
BACA JUGA: Keadaan Darurat di Melbourne Diusulkan Diperpanjang 12 Bulan
Wisatawan dari kedua negara ini sama sekali tidak akan diminta menjalani isolasi saat datang ke Singapura. Mereka hanya akan dites COVID-19.
Menurut Menteri Luar Negeri Singapura, Vivian Balakrishnan, pihaknya juga sedang bernegosiasi dengan Jepang untuk membua kembali "perjalanan bisnis penting". Photo: Jumlah kasus baru COVID-19 di Singapura telah menurun dari 908 kasus pada awal Agustus menjadi 50 kasus pada akhir pekan lalu. (Reuters: Edgar Su)
Dua kelompok orang asing
Sebagai pusat perdagangan, perjalanan, dan keuangan di Asia, dapat dipahami bila Singapura ingin membuka kembali kegiatan bisnisnya.
Bandara Changi mencatat 6,41 juta penumpang pada Desember 2019 saja, tepat sebelum pandemi dimulai.
Pekerja migran merupakan bagian penting dari angkatan kerja di Singapura, mulai dari pekerjaan yang tak diinginkan penduduk setempat, hingga pekerjaan sebagai teknokrat. Hampir 40 persen penduduk Singapura merupakan pekerja pendatang.
Terjadinya wabah di asrama pekerja migran memicu munculnya gelombang kedua pandemi pada April lalu. Bahkan terus menjadi penyebab sebagian besar kasus baru sampai saat ini.
Negara itu mencatat jumlah kasus baru tertinggi pada awal Agustus yaitu 908 kasus, tetapi jumlahnya telah turun menjadi 50 kasus baru pada hari Sabtu pekan lalu.
Hingga saat ini, tercatat ada 2.319 kasus aktif di Singapura, atau sekitar setengah dari kasus aktif yang ada di Australia yakni 4.546 kasus. Photo: Sejumlah pekerja migran mengaku tak bisa meninggalkan asrama selama beberapa bulan akibat pembatasan COVID-19. (Supplied: Singapore Ministry of Manpower)
Pendekatan tegas yang dilakukan Singapura untuk menurunkan kurva pandemi gelombang ketiga tampaknya mulai menunjukkan hasil.
Meskipun memiliki total kasus positif terbilang tinggi yaitu 56.000 kasus selama pandemi, atau lebih dari dua kali total kasus di Australia, namun hanya 27 orang yang meninggal dunia karena virus ini.
Sebagai perbandingan, negara bagian Victoria pada hari Minggu mencatat 17 kematian dalam satu hari.
Pekerja migran menjadi fokus tindakan pembatasan COVID-19, menyebabkan ribuan orang terpaksa mengurung diri dalam waktu lama di asrama mereka sejak April.
Banyak di antara mereka dipindahkan ke asrama tentara atau gedung olahraga serta rumah susun yang kosong, dan dikenai aturan ketat termasuk izin kembali bekerja.
"Para pengusaha harus memastikan pekerjanya meninggalkan asrama hanya untuk bekerja (jika mendapat izin untuk bekerja), menyiapkan perawatan medis darurat atau mengevakuasi asrama jika diminta pihak berwenang," kata Menteri Tenaga Kerja Zaqy Mohamad.
Tes massal juga dilakukan untuk pekerja migran, dan pada 19 Agustus pemerintah menyatakan "semua asrama pekerja migran telah dinyatakan bebas dari COVID-19".
Pemerintah menjanjikan asrama baru bagi para pekerja migran pada akhir tahun 2020, yang menyediakan ruang seluas 6 meter persegi per orang. Gelang pemantau
Wisatawan Australia dan sejumlah negara lainnya yang memasuki Singapura akan dikenai aturan untuk menjaga jarak yang dikenal sebagai 'pemutus sirkuit'.
Sejak 11 Agustus laliu, semua pendatang juga diwajibkan memakai gelang pemantau yang dilengkapi pelacak sinyal (GPS) dan Bluetooth saat menjalani karantina mandiri.
"Jika perangkat ini tidak berfungsi sebagaimana disyaratkan, pihak berwenang akan menindaklanjutinya, dan membantu menyelesaikan setiap masalah teknis, atau mengambil langkah penegakan hukum, bila itu yang terjadi," demikian pernyataan dari Otoritas Imigrasi dan Pos Pemeriksaan Singapura. Photo: Salah satu alat pelacak yang diwajibkan bagi setiap orang yang masuk ke Singapura saat menjalani karantina mandiri. (YouTube: Singapore Immigration & Checkpoints Authority)
Ditambahkan, privasi orang yang mengenakan gelang ini akan dilindungi dan datanya hanya dipergunakan untuk tujuan "pemantauan dan penyelidikan" terkait COVID-19.
Mereka yang terbukti melanggar aturan karantina akan dikenai denda maksimal 10.000 dolar Singapura atau penjara paling lama enam bulan.
Sebelumnya, pemerintah mewajibkan semua penduduk Singapura memakai gelang ini, bahkan bila mereka tak pernah ke luar negeri. Namun rencana itu ditentang keras oleh warga.
Sebuah petisi online yang menentang rencana itu menyebut langkah pemerintah ini sama saja dengan "tunduk pada nasib sebagai negara polisi". Setidaknya 50.000 orang mendukung petisi ini.
Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari artikel ABC News
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dua Pemimpin Indonesia Berbagi Upaya Mereka Menangani COVID-19 Selama Ini