Sipil dan Militer Tidak Sejalan

Kamis, 03 Agustus 2017 – 16:50 WIB
Direktur Papua Circle Institute, Hironimus Hilapok. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com - Oleh Hironimus Hilapok

Penulis adalah Direktur Papua Circle Institute

BACA JUGA: Mobil Pengusaha Monja Ditembak, Ternyata Motifnya Dendam Asmara Sesama Jenis


Penembakan terjadi lagi di Kabupaten Deiyai Provinsi Papua tanggal 1 Agustus 2017. Insiden tersebut terjadi saat bangsa Indonesia akan merayakan kemerdekaannya ke-72 tahun. Laporan terakhir menyebutkan total korban ada 17 orang; 1 orang meninggal, 6 orang dirawat di RS Paniai, 3 dirawat di Puskesmas Tendage Deiyai, dan 7 luka ringan dirawat oleh keluarganya di rumah.

Haruskah pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah dibayar dengan darah? Apa yang salah dengan Papua? Apakah di Papua ada 2 pemerintahan, baik sipil maupun militer?

BACA JUGA: Penembak Mobil Pengusaha Monja Ternyata Sepasang Kekasih

Haruskah Pembangunan dibayar dengan darah?

Sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945, ada 4 tugas pokok negara yang wajib dilakukan yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Empat tugas pokok ini sifatnya wajib dilakukan oleh negara dalam segala kebijakannya.

BACA JUGA: Kabupaten di Papua Ini Hanya Punya 5 Dokter

Pergolakan yang terjadi sehingga melahirkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua juga dilatarbelakangi oleh gagalnya pemerintah mensejahterakan masyarakat Papua, tidak mencerdaskan kehidupan orang Papua dan tidak ada perlindungan bagi orang Papua.

Pemerintahan Jokowi-JK semakin giat melakukan gebrakan pembangunan di Tanah Papua. Hal itu mulai terasa dampaknya walaupun belum sebaik yang diharapkan. Katakanlah dari sisi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dari presiden ke presiden, persoalan HAM memang menjadi persoalan yang belum disentuh apalagi diselesaikan. Luka yang mendalam bagi orang Papua belum sembuh, masih membekas (Memoria Passionis) sekarang luka itu terjadi lagi, tidak pernah sembuh.

UU Nomor 21/2001 mengisyaratkan untuk melakukan rekonsiliasi tetapi sampai dengan saat ini belum pernah terjadi, malah yang terjadi pelanggaran HAM terjadi semakin nyata di depan mata kita.

Apa yang salah dengan Papua?

Seringkali, begitu orang dengar tentang Tanah Papua, yang otomatis muncul dalam benak orang adalah konflik, perang suku, OPM (organisasi Papua Merdeka, red), kemiskinan, kebodohan dan lain sebagainya. Semua hal yang negatif muncul dalam benak orang secara otomatis, indahnya bawah laut Raja Ampat, uniknya ukiran Asmat, kemilaunya salju abadi di Puncak Cartenz belum cukup mengubah benak orang tentang Tanah Papua.

Ini menjadi tugas Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, khususnya dalam hal keberpihakan pemerintah terhadap orang Papua. Otonomi Khusus yang sudah berjalan 16 tahun hanya tinggal wacana, pembenahan Peraturan Pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan peraturan daerah provinsi (perdasi) serta peraturan daerah khusus (perdasus) yang menjadi kewenangan daerah belum terealisasi.

Kemiskinan dan ketertinggalan masih nomor satu di Indonesia di atas kekayaan yang berlimpah ruah. Pengangguran, kriminalitas dan kekerasan masih mewarnai media setiap hari.

Penanganan melalui kebijakan dan pelaksanaan kebijakan di Tanah Papua masih jauh dari harapan, pemerintah daerah sibuk dengan hal-hal yang besar dan sangat politis, belum banyak menyentuh persoalan-persoalan yang diamanatkan otonomi khusus terutama soal pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan dan infrastruktur. Korupsi juga menjadi persoalan yang seakan-akan pejabat yang korupsi kebal dari hukum.

Dua pemerintahan di Papua

Antara pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-JK seakan tidak berarti sama sekali dengan terus terjadinya pelanggaran HAM dan yang penyelesaiannya tak kunjung datang. Tongkat komando yang dipegang presiden sebagai panglima tertinggi seakan-akan tidak ada kuasanya ketika aparat militer (TNI/Polri) sebagai bawahannya masih terus melakukan pendekatan militeristik dibanding pendekatan kemanusiaan yang pernah dilakukan oleh presiden ke-4 KH Abdulrrahman Wahid (Gusdur).

Membangun hakikatnya adalah membangun manusia, kalau terus dibunuh, siapa yang akan menikmati pembangunan? Presiden harus dapat mengendalikan militernya sehingga militer tidak semena-mena melakukan tindakan terhadap rakyatnya. Garis komando harus sepenuhnya datang dari presiden sebagai Panglima Tertinggi sehingga di Papua hanya terdapat satu pemerintahan saja yaitu pemerintahan sipil yang pendekatannya dilakukan dengan pendekatan kemanusiaan.

Bulan Agustus tahun 2017 dimana Bangsa Indonesia akan merayakan kemerdekaan ke-72 diwarnai dengan aksi gabungan Brimob dan tentara yang melakukan penembakan terhadap masyarakat di Kabupaten Deiyai Papua dengan alasan mengancam orang lain. Sudah 72 tahun Indonesia merdeka, apakah pendekatan seperti ini masih perlu dilakukan? Belum lagi kasus-kasus pelanggran HAM yang lainnya yang belum ada penyelesaiannya. Harus ada rekonsiliasi bersama terkait masalah pelanggaran HAM agar tingkat kepercayaan masyarakat Papua bisa pulih terhadap pemerintah pusat dan sistem pendekatan militer harus direformasi total ke arah yang lebih manusiawi serta TNI-Polri harus tunduk kepada Presiden sebagai panglima tertinggi.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dor… Pos Lantas 408 Simpang Charitas Ditembak OTK, Kaca Bolong


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
militer   sipil   Penembakan   Papua  

Terpopuler