jpnn.com - JAKARTA - Kemenangan pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla yang nyaris mutlak di Papua tampaknya menjadikan kubu pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa meradang.
Sistem noken atau ikat yang berlaku di Papua tiba-tiba menjadi isu yang memanas di dalam persidangan perkara hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2014 di Mahkamah Konstitusi (MK). Lalu apa sebenarnya dan bagaimana sistem noken atau ikat yang berlau di Papua tersebut?
BACA JUGA: Saksi KPU Bantah Keterangan Novela Nawipa
Hasyim Sangadji yang menjadi saksi ahli yang dihadirkan pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) di dalam persidangan Pilres kemarin (13/8) menjelaskan, sistem noken atau ikat tersebut sudah berlaku di Papua selama empat dekade, tepatnya sejak pemilu tahun 1971.
Sangadji yang telah berkecimpung dalam dunia pemilu sejak tahun 1970-an tersebut mengatakan bahwa dalam proses pemilu di Papua, sistem noken tersebut dalam prakteknya ada dua cara.
BACA JUGA: Agun Gunandjar Ogah Jadi Ketua
Cara pertama, melalui kesepakatan dari masyarakat dengan ketua adat setempat di Papua untuk memilih salah satu calon, baik calon dari Pileg, Pilkada, maupun pasangan calon di Pilpres.
Dari hasil kesepakatan tersebut, mereka kemudian datang berbondong-bondong ke tempat pemungutan suara (TPS) kemudian memasukkan surat suara yang tanpa dicoblos ke dalam noken yang sudah ditandai nama-nama calon.
BACA JUGA: Mahfud Sarankan Hitung Angka di MK
Noken itu sendiri sebenarnya adalah sebuah kantong atau tas tradisional khas rakyat Papua pedalaman yang terbuat dari tenunan anggrek atau kayu atau benang yang digunakan masyarakat Papua untuk tempat hasil pertanian atau perkebunan. Tas itu juga biasa menjadi tempat ayunan bayi di sana dan juga tempat menyimpan surat-surat penting serta alat lain.
"Jaringnya lebih longgar dan dia bisa memuat banyak, bisa memelar jadi besar," kata Sangadji di Gedung MK.
Cara kedua, lanjut Sangadji adalah dengan model ikat. Mirip dengan model noken, hanya saja dalam model ini masyarakat adat Papua tidak punya banyak pilihan selain pilihan yang diarahkan oleh kepala suku atau kepala adat setempat. Model ikat ini biasanya dilakukan masyarakat adat Papua dengan menitipkan suaranya ke kepala sukunya, lalu oleh kepala sukunya itu akan ditentukan jatah suara dari tiap-tiap calon.
"Kepada pasangan calon nomor urut 1 berapa, nomor urut 2 berapa. Dan itu kebiasaan masyarakat yang sulit dihilangkan pada saat sekarang," ucap dia.
Sangadji mengatakan bahwa kedua metode tersebut tidak memungkinkan untuk dilakuakn pemilu yang jujur, bebas, dan rahasia. "Karena semua orang tahu siapa pilih siapa," tuturnya.
Meskipun demikian, Sangadji menyebut bahwa sistem tersebut merupakan bagian dari budaya lokal di sana yang harus dihormati. Oleh karena itu, dia menerangkan bahwa hal tersebut menjadi pertimbangan MK untuk mengijinkan sistem noken atau ikat berlaku di sebagian kabupaten Papua.
Sebagai catatan, sistem serupa juga berlaku di Bali. Sehingga dalam putusan MK Nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009, sistem tersebut hanya berlaku di sebagian daerah di Papua dan Bali. Di tempat lain sistem tersebut diharamkan.
Sangadji mencatat bahwa terdapat 14 kabupaten dari 29 kabupaten di Papua yang masih memberlakukan sisten noken atau ikat tersebut. Mayoritas daearah tersebut ada di daerah pegunungan tengah Papua, seperti Kabupaten Paniai dan Pegunungan Bintang.
Namun demikian, lanjutnya, tidak semua distrik di 14 kabupaten tersebut memberlakukan sisitem noken atau ikat. "Di ibu kota kabupaten dicoblos seperti biasa. Di tempat yang digunakan sistem noken dan sistem ikat pun kotak suara disediakan oleh KPU, tapi noken itu kan disediakan oleh masyarakat, bukan KPU," ujar dia.
Dia berharap, sistem noken atau ikat di Papua tersebut secara perlahan hilang. "Ya kita harapkan pada saatnya seperti itu. Tapi saat ini masyarakat masih menghendaki seperti itu. Kalau kita tidak mengikuti sebagian masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya. Kembali ke masyarakat, mudah-mudahan ke depan bisa sama," harapnya. (dod)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi Sebut Akan Bahas Menteri Bulan September
Redaktur : Tim Redaksi