Siti Fauziah Sampaikan Bukti MPR Telah Jadikan UUD 1945 sebagai Konstitusi yang Hidup

Selasa, 26 November 2024 – 09:54 WIB
Plt Sekjen MPR Siti Fauziah atau akrab disapa Bu Titi saat menyampaikan sambutan pada acara pembukaan Sarasehan Nasional 'Gerakan Pemaknaan Konstitusi Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Perwujudan Living Constitution)' yang berlangsung di Gedung Nusantara Universitas Pancasila, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Senin (25/11). Foto: Dokumentasi Humas MPR RI

jpnn.com, JAKARTA SELATAN - Plt Sekretaris Jenderal MPR Siti Fauziah memastikan lembaganya selalu berupaya menjadikan UUD 1945 sebagai living constitution atau kontitusi yang hidup.

Living constitution merupakan istilah yang digunakan jika konstitusi dapat diubah untuk disesuaikan dengan kondisi demokrasi di negara tersebut.

BACA JUGA: MPR & ILUNI FHUI Gelar Justisia Half Marathon, Plt Sekjen Siti Fauziah Sampaikan Ini

Pernyataan itu disampaikan Plt Sekjen Siti Fauziah saat membuka Sarasehan Nasional 'Gerakan Pemaknaan Konstitusi Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Perwujudan Living Constitution)' yang berlangsung di Gedung Nusantara Universitas Pancasila, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Senin (25/11).

Kegiatan tersebut dilaksanakan atas kerja sama MPR dengan Fakultas Hukum Universitas Pancasila.

BACA JUGA: Pesan Khusus Plt Sekjen Siti Fauziah Saat Pimpin Mutasi di Lingkungan Setjen MPR

Bu Titi sapaan akrab Siti Fauziah mengatakan setelah mengalami empat tahap perubahan pada era reformasi, UUD 1945 mulai dirasa ada kekurangan yang harus disempurnakan.

Namun, pertanyaannya apakah penyempurnaan terhadap UUD harus dengan melakukan perubahan atau ada cara lain yang bisa dilaksanakan.

BACA JUGA: Plt Sekjen Siti Fauziah Pimpin Upacara Peringatan HUT ke-79 MPR & DPR, Simak Pesannya

Dia menyampaikan dewasa ini pengaktualisasian living constitution tidak melulu harus dengan perubahan konstitusi.

Penerapan living constitution juga bisa dilakukan melalui tafsir konstitusi di Mahkamah Konstitusi (MK) maupun konvensi ketatanegaraan.

Penyelenggaraan Sidang Tahunan MPR adalah contoh pelaksanaan living constitution tanpa mengubah UUD.

Dengan demikian, sebagai negara yang memiliki konstitusi tertulis, cara tersebut bukan menjadi penghalang untuk diterapkannya living constitution.

"Namun, jika ditanya, dalam penerapan living constitution, apakah lebih baik melakukan perubahan Undang-Undang Dasar, atau cukup melalui penafsiran konstitusi dan membangun konvensi ketatanegaraan. Jawabnya sama dengan analogi ban bocor, apakah kita cukup menambalnya atau mengganti dengan ban baru," terang Siti Fauziah.

Sebagai informasi, sarasehan nasional tersebut menghadirkan empat pembicara sebagai narasumber, yaitu Guru Besar Universitas Muhammadiyah Jakarta Prof Ibnu Sina, Guru Besar Universitas Indonesia juga anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR 2014-2024 Prof Fitra Arsil.

Narasumber lainnya, yakni Ketua Pusat Kajian Konstitusi Universitas Pancasila Dr Ilham Hermawan, dan Tenaga Ahli Sekretaris Jenderal MPR Yana Indrawan.

Sementara itu, Hakim Konstitusi periode 2014-2024 Dr Wahiduddin Adam bertindak selaku keynote speech.

Lebih lanjut Bu Titik mengemukakan, untuk kebutuhan jangka pendek, menambal ban bocor bisa menjadi pilihan yang tepat.

Namun, jika bocornya terlalu banyak, untuk keamanan dan kenyamanan dalam jangka panjang, pilihan mengganti dengan ban baru adalah solusi yang paling tepat.

Dengan demikian, jika harus memilih, untuk menerapkan living constitution, menurut Ibu Titik lebih baik dilakukan melalui perubahan UUD.

"Karena negara yang mengevolusikan konstitusinya tanpa batasan akan menyebabkan negara tersebut kehilangan jati diri bangsanya serta kehilangan kekuatan mengikat pada konstitusinya," ungkap Siti Fauziah.

Perubahan yang dilakukan 1999-2002, menurut Bu Titik merupakan bukti MPR telah berupaya menjadikan UUD 1945 sebagai konstitusi yang hidup sesuai kebutuhan masyarakatnya.

Hal ini sebagaimana keinginan gerakan reformasi yang menuntut untuk dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945.

Pernyataan serupa disampaikan Dr Wahiduddin Adam saat menyampaikan pidato kunci.

Hakim Konstitusi periode 2014-2024 itu mengatakan perubahan adalah sebuah keniscayaan.

Bahkan di dunia pesantren dikatakan bahwa manusia itu harus berubah, karena Allah tidak akan mengubah nasib manusia kecuali dia mengubah dirinya sendiri.

"Destruksi atau dalam bahasa pesantren dinamakan taghayyur, harus memiliki target lahirnya perubahan positif bagi umat manusia. Karena adanya setiap aturan, itu berfungsi untuk kebaikan manusia," ungkap Wahiduddin.

Memelihara yang baik, menurut Wahiduddin adalah perbuatan utama.

Namun, mengambil sesuatu yang lebih baik itu adalah pekerjaan mulia.

Kaidah itu juga diterapkan dalam periode Restorasi Meiji Jepang 1886-1889.

Saat itu, negara Jepang melakukan perubahan pemerintah yang fundamentalis.

Namun, keterbukaan yang diakibatkan Restorasi Meiji tidak sampai meninggalkan tradisi luhur mereka.

Bahkan, hingga kini tradisi para pendahulu Jepang masih terus bertahan.

"Bahkan, Taghayyur yang dilaksanakan di Jepang membuat mereka maju, bukan hanya di negaranya tetapi juga di dunia," kata Wahiduddin. ‎(mrk/jpnn)


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler