jpnn.com - JAKARTA - Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro pesimistis pembangunan bisa lancar bila kondisi politik belum stabil.
Demikian juga halnya dengan penegakan hukum, sulit dilakukan tanpa dinamika politik yang positif. "Stabilitas dan dinamika politik positif sangat penting. Sebaliknya, jika negatif, maka akan membawa bangsa ini mundur. Karena itu, setiap periode pemerintahan akan berusaha menciptakan politik yang stabil agar pembangunan ekonomi bisa berjalan," kata Siti saat dihubungi, Kamis (7/1).
BACA JUGA: Gerindra Desak Ahok Deklarasi Cagub
Karena stabilitas politik itu sangat penting ujar Siti, terbuka kemungkinan dinamika baru partai politik dan bisa mengarah kepada terbentuknya pola koalisi baru karena koalisi yang ada saat ini dirasa belum bisa memenuhi harapan.
"Polarisasi Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih saat pilpres 2014 bisa hilang tergantung pada dinamika politik saat ini. Banyak faktor kalau melihat kondisi saat ini mendorong terciptanya koalisi baru di antara partai-partai politik yang ada. Semua sedang berproses," ujar Siti.
BACA JUGA: Mas Bamsoet Masih Ogah Akui Papa Novanto sebagai Ketua FPG, Ini Alasannya...
Tanpa kesamaan ideologi lanjutnya, sebuah koalisi menjadi sangat cair sesuai kepentingan politik anggota koalisi. "Fenomena itu terjadi di KIH dan KMP. Mereka berkoalisi sangat dadakan, tidak terformat, tidak kontekstual dan bukan tekstual yang berbasis pada plafon partai, ideologi partai atau aturan perundangan. Koalisi ini terbentuk temporary dan sesaat. Makanya perubahan bentuk koalisi sangat mungkin terjadi," ujar Siti.
Di samping itu ujar Wiwik sapaan Siti, faktor pragmatisme bahwa berpolitik hanya untuk kepentingan pemilu lima tahunan juga menjadi faktor yang bisa menyebabkan dinamika politik dalam pembentukan koalisi menjadi cair, plus ketidakpuasaan sesama anggota koalisi yang ada.
BACA JUGA: Pelantikan Kada Terpilih Sebaiknya Digelar Serentak Dalam Satu Tahap
"Prinsip dasar parpol di Indonesia adalah kepentingan dan kekuasaan. Kalau tidak masuk lingkaran kekuasaan merasa ternistakan. Kalau tidak berkuasa, partai politik juga tidak ada power untuk mengelola sumber-sumber pendanaan. Sudah seperti itu sejak dulu hingga kini. Perspektif mereka dengan menjadi bagian penguasa maka bisa menjadi bagian yang mengelola apapun, termasuk sumber-sumber pendanaan," tegasnya lagi.
Munculnya koalisi baru kata Wiwik, juga bisa terjadi karena keinginan partai politik menjaga harmonisasi. Seperti halnya Soeharto di era orde baru dan SBY di era demokrasi yang berupaya menjaga harmonisasi politik, pemerintahan saat ini bisa jadi juga akan melakukan hal itu.
Dia mencontohkan, di era Soeharto, semua partai politik 'dibungkam', sehingga hanya ada Pak Harto dan dua kaki tangannya yaitu Golkar dan ABRI. Di era SBY, semua partai politik diundang bergabung dalam pemerintahan, yang kesemuanya bertujuan membentuk harmoni politik.
"Agar tercipta harmoni untuk mau belajar dengan seksama dan arif dari para pendahulunya. Jokowi sebagai presiden harus berhati-hati dan harus menyadari mengapa posisinya sebagai presiden tidak bisa mengendalikan dan mengandalkan sepenuhnya partai politik yang menjadi pendukungnya," ujar Siti.
Selain itu ke depan juga tidak boleh lagi politik dengan menggunakan gaya aji mumpung dengan memecah-belah partai politik yang dianggap berseberangan dengan segala cara, seperti yang terjadi pada Golkar dan PPP. Cara ini tidak demokratis dan dampaknya bangsa ini bisa mundur.
"Kalau cara ini dilakukan, sama saja dengan mereproduksi perilaku distorsif. Jangan membuat sikap; kalau kita hancur, maka yang lain harus lebih hancur," pungkasnya.(fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pelantikan Kada-Wakada Terpilih Maret dan Juni
Redaktur : Tim Redaksi