jpnn.com - Sudah lama tidak menonton adegan smackdown' di televisi. Acara gulat hiburan dari Amerika Serikat itu pernah menjadi acara favorit di Indonesia beberapa tahun yang lalu.
Smackdown disebut juga sebagai 'gulat Jumat malam', karena ditayangkan pada Jumat malam. Acara gulat bebas ini menjadi favorit di Kanada, Inggris, Australia, dan juga Indonesia.
BACA JUGA: Mahasiswa yang Dibanting Polisi di Tangerang Dilarikan ke Rumah Sakit, Kondisinya Begini
Setelah lama tidak mendengar smackdown, kali ini publik disodori adegan smackdown oleh seorang anggota polisi yang membanting seorang mahasiswa pengunjuk rasa di Tangerang, Rabu (13/10). Saking kerasnya bantingan pak polisi, sang mahasiswa sampai kelengar, pingsan, tidak sadarkan diri.
Adegan-adegan bantingan, pitingan, tendangan, pukulan, yang dipamerkan di smackdown biasanya hanya adegan teatrikal, bukan adegan yang sesungguhnya.
BACA JUGA: Smackdown Pemain Lawan, Gelandang Ini Tetap Dibela Pelatihnya
Gerakan-gerakan akrobatik itu terlihat seperti gerakan yang sesungguhnya karena menggunakan trik kamera. Meski begitu adegan smackdown masuk dalam kategori adegan kekerasan, dan karena itu penonton televisi yang belum cukup umur tidak boleh menontonnya.
Ketika smackdown populer di Indonesia pada awal tahun 2000-an banyak anak-anak kecil yang gandrung dan suka mempraktikkan gerakan bantingan yang berbahaya. Secara formal stasiun televisi sudah memberi batasan umur bagi penonton, tetapi dalam praktinya anak-anak di bawah umur pun banyak yang menonton bersama orang tuanya yang sama-sama keranjingan.
BACA JUGA: Diancam Dibunuh Irjen Napoleon Bonaparte, Tommy Sumardi Terpaksa Berbicara dan Direkam
Ketika itu belum banyak kanal Youtube yang menyiarkan acara itu. Namun, serial tayangan dalam bentuk VCD dijual bebas di lapak-lapak pinggir jalan. Pembeli utama VCD itu adalah anak-anak SD. Tak ayal, mereka mempraktikkan gerakan-gerakan gulat bebas itu di sekolah.
Korban berjatuhan. Di Bandung pada 2006 dikabarkan seorang siswa SD meninggal akibat cedera serius di kepala, setelah mempraktikkan permainan smackdown bersama kawan-kawannya.
Di Yogyakarta seorang siswa SD mengalami gegar otak setelah kepalanya terbentur lantai ketika mempraktikkan smackdown. Di Surabaya seorang siswa patah lengan karena kena smackdown teman sekelasnya.
Pada acara-acara yang bermuatan kekerasan semacam ini televisi Amerika mengeluarkan peringatan ‘’don’t try it at home’’, jangan dipraktikkan di rumah. Atau ada juga peringatan ‘’done by professional’’, diperankan oleh aktor profesional. Namun, dalam praktiknya peringatan itu tidak mempan.
Tindakan violence sangat mudah menular. Budaya kekerasan sangat mudah ditiru karena pengaruh media yang sangat kuat. Tanpa terasa budaya kekerasan itu sudah merasuk menjadi habitus yang sudah terinternalisasi.
Bantingan smackdown polisi terhadap demonstran mahasiswa menunjukkan bahwa pak polisi benar-benar profesional sebagai pegulat bebas. Ia mengaku melakukannya secara refleks dan tidak ada niat menganiaya. Polisi melakukan tindakan itu karena melihat tindakan mahasiswa yang sulit dikendalikan.
Namun, dalam tayangan video terlihat jelas bahwa polisi melakukan gerakan bantingan yang sangat berbahaya dan bisa berakibat fatal.
Jargon polisi yang populer sekarang ini adalah ‘’profesional dan terukur’’. Tindakan smackdown itu terlihat mencerminkan jargon itu, karena dilakukan dengan cara pegulat profesional dan dengan bantingan yang terukur.
Polisi minta maaf atas tindakan profesional dan terukur itu. Namun, pelaku smackdown tetap diproses hukum.
Irjen Napoleon Bonaparte mungkin sering menonton acara smackdown. Tongkrongan dan wajah Jenderal Napoleon sangat pas memerankan bintang smackdown. Apalagi namanya juga cukup menjual.
Tanpa nama samaran pun nama Napoleon Bonaparte sudah cukup komersial dan sangat layak jual.
Jenderal Napoleon melakukan tindakan smackdown terhadap Muhammad Kace, yang sama-sama berada di rumah tahanan Bareskrim Polri. Akibat smackdown itu wajah Muhammad Kace lebam-lebam dan matanya bengkak. Adegan smackdown ala Napoleon masih ditambah lagi dengan adegan plus, yaitu melumuri wajah dan tubuh Kace dengan kotoran manusia.
Adegan tambahan itu pasti disensor kalau ditampilkan di acara Smackdown. Jenderal Napoleon pun akhirnya harus mempertanggungjawabkannya secara hukum, karena smackdown-nya dianggap sebagai penganiayaan.
Jenderal Napoleon mengatakan ia siap mempertanggungjawabkan smackdown itu.
Sama dengan jargon polisi, Napoleon mengatakan bahwa ia melakukan smackdown itu sebagai tindakan yang terukur. Napoleon tidak menyebutkan bahwa dia melakukannya secara profesional.
Namun, dari foto yang dirilis media yang mempertontonkan kondisi Muhammad Kace pasca-smackdown, terlihat bahwa Napoleon melakukannya secara ‘’profesional’’.
Smackdown ala Napoleon memantik reaksi pro dan kontra. Ada yang mengkritik karena dianggap main hakim sendiri, tanpa menunggu hakim yang sesungguhnya.
Pernyataan resmi dari polisi mengatakan bahwa Napoleon masih merasa seperti komandan di dalam tahanan, sehingga dia merasa harus selalu ditaati perintahnya.
Napoleon sudah membuat pernyataan tertulis yang disiarkan secara luas kepada publik. Napoleon mengatakan bahwa tindakan terukur itu dilakukan karena dia merasa terusik oleh tindakan Muhammad Kace yang menghina agama.
"Siapa pun bisa menghina saya, tetapi tidak Allah-ku, Al-Qur'an, Rasulullah SAW, dan akidah Islamku. Karena itu, saya bersumpah akan melakukan tindakan terukur, apa pun, kepada siapa saja yang berani melakukannya," tulis Napoleon dalam surat terbukanya.
Tindakan terukur itu diwujudkan dengan melakukan ‘’smackdown plus’’ terhadap Muhammad Kace. Tindakan itu menjadi pelampiasan kekecewaan Napoleon terhadap institusi Polri tempat ia selama ini menjalani karier profesional.
Muhammad Kace sudah memaafkan Napoleon dengan menarik surat pengaduan, tetapi proses hukum terhadap Napoleon jalan terus.
Polri menjadi institusi yang banyak disorot karena beberapa masalah kontroversial. Di Sulawesi Utara, seorang Jenderal Angkatan Darat menulis surat kepada Kapolri melaporkan ulah polisi yang dianggapnya tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi.
Jenderal Junior Tumilaar berusaha membela hak seorang warga yang tanahnya diambil paksa oleh sebuah perusahaan real estate besar.
Bagi banyak orang, tindakan Brigjen Junior dianggap sebagai tindak kepahlawanan. Ia menyurati Kapolri karena melihat perlakuan yang semena-mena. Namun, bagi Angkatan Darat, institusi tempat Brigjen Junior selama ini mengabdi, tindakan itu adalah sebuah kesalahan dan karena itu dia harus dihukum.
Junior harus menerima hukuman dicopot dari jabatannya. Ia masih akan menghadapi hukuman pidana atas tindakannya itu. Tindakan Junior dianggap sebagai pelanggaran disiplin sekaligus pelanggaran hukum militer.
Hukuman ganda yang dijatuhkan terhadap Junior dianggap berlebihan. Ibarat smackdown, Junior sudah dibanting dan kemudian dipukuli, dan masih di-bully lagi.
Hukuman terhadap Junior membuat kasus yang diperjuangkannya hilang dari perhatian publik. Junior mempermasalahkan ketidakadilan yang dialami seorang petani, karena tanahnya diambil oleh perusahaan real estate sebelum kompensasi dibereskan.
Seorang anggota TNI yang bertugas sebagai babinsa (bintara pembina desa) berusaha membantu petani itu, tetapi malah dipanggil ke kantor polisi. Babinsa itu juga dikabarkan didatangi anggota brimob polisi.
Perlakuan ini dianggap tidak adil. Perlakuan terhadap petani itu sama saja dengan bantingan smackdown yang bisa membuat sang petani KO. Bantingan smackdown ini adalah bantingan simbolik yang menunjukkan skala kekerasan yang jauh lebih besar dibanding bantingan terhadap mahasiswa di Tangerang.
Ketika sebuah institusi mempunyai power yang besar, maka ia cenderung menyalahgunakan kewenangan itu, dengan memamerkan berbagai macam kekerasan smackdown yang riil maupun yang simbolik.
Smackdown terhadap mahasiswa di Tangerang menjadi sorotan media internasional. Sorotan ini bisa membuat rapor demokrasi Indonesia makin merosot. Lembaga internasional Freedom House menempatkan demokrasi Indonesia dalam kategori 'partly free', alias bebas sebagian.
Nilai demokrasi Indonesia merosot dari 65 pada 2013 menjadi 59 pada 2017. Salah satu faktornya adalah merosotnya civil liberty (kebebasan sipil) dalam beberapa tahun terakhir.
Masyarakat makin takut mengekspresikan pendapatnya karena makin takut terhadap penangkapan oleh aparat.
Bantingan smackdown simbolik ternyata jauh lebih buruk dampaknya dibanding bantingan smackdown riil, seperti yang dilakukan polisi di Tangerang terhadap mahasiswa pedemo. (*)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror