jpnn.com, JAKARTA - Setelah 20 tahun berlalu, usulan untuk kembali mengamendemen UUD 1945 sempat kembali bergulir.
MPR menggulirkan isu tersebut dan bahkan DPD RI dengan resmi membuat tim khusus untuk mengolah gagasan-gagasan amendemen UUD 1945.
BACA JUGA: Ketua MPR: Amendemen Terbatas UUD 1945 Diperlukan untuk Mewadahi PPHN
Gagasan untuk mengamendemen UUD 1945 hadir seiring dengan mencuatnya berbagai isu di antaranya soal MPR yang kembali berperan untuk memilih Presiden, perpanjangan periode masa jabatan Presiden/Wakil Presiden menjadi 3 periode serta MPR menyusun GBHN untuk kemudian dijalankan oleh Presiden.
Menanggapi hal itu, Ketua Fraksi Golkar MPR RI Idris Laena menegaskan saat ini belum perlu dilakukan, karena tidak mendesak. Salah satu alasannya adalah Indonesia masih dilanda pandemi Covid-19.
BACA JUGA: Hasil Survei: Ada yang Anggap Pancasila dan UUD 1945 Perlu Diubah, Persentasenya Sebegini
“Soal amendemen ini belum mendesak. Dan, sikap dari Partai Golkar soal amendemen ini sudah jelas sebagai bagian sikap partai, yang sudah tertuang dalam rekomendasi MPR Periode sebelumnnya,” ujar Idris dalam keterangannya, Senin (16/8).
Idris juga menegaskan pendapat dari Fraksi Golkar belum berubah dan tetap menyatakan dasar Hukum PPHN cukup dengan Undang-Undang. Apalagi, pembahasan itu dilakukan dalam situasi pandemi Covid-19 yang masih terus menghantui masyarakat.
BACA JUGA: TNI AL Tingkatkan Kemampuan Personel dan Kesiapan Alutsista
Lebih lanjut, Idris juga mengaku sangat mengapresiasi pidato Presiden Joko Widodo dalam Sidang Tahunan MPR, Senin, 16 Agustus 2021. Jokowi dalam pidatonya mengapresiasi langkah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mengkaji substansi dan bentuk hukum pokok-pokok Haluan Negara atau PPHN.
Namun demikian, dia tetap tegas tidak setuju bila agenda MPR untuk mengkaji PPHN dengan harus melakukan amendemen konstitusi. Pun, dia menyampaikan terkait PPHN, semua fraksi sebenarnya punya sikap.
“Sampai dengan saat ini belum ada keputusan apapun terkait produk hukum untuk mewadahi PPHN,” lanjut Idris.
Sebelumnya, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menegaskan amendemen terbatas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 tidak akan menjadi bola liar ataupun membuka kotak pandora. Khususnya, terkait perubahan perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi tiga periode.
“Kekhawatiran itu justru datang dari Presiden Joko Widodo. Beliau mempertanyakan apakah amendemen UUD NRI 1945 tidak berpotensi membuka kotak pandora sehingga melebar, termasuk mendorong perubahan periodesasi presiden dan wakil presiden menjadi tiga periode? Saya tegaskan kepada Presiden Jokowi, sesuai dengan tata cara yang diatur di Pasal 37 UUD NRI 1945 sangat rigid dan kecil kemungkinan menjadi melebar," ujar Bamsoet usai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Jumat (13/8).
Turut hadir para Wakil Ketua MPR RI, antara lain Ahmad Basarah, Ahmad Muzani, Lestari Moerdijat, Jazilul Fawaid, Syarifuddin Hasan, Zulkifli Hasan, Arsul Sani, dan Fadel Muhammad. Hadir pula Sekretaris Jenderal MPR RI Ma’ruf Cahyono.
Ketua DPR RI ke-20 ini menuturkan Presiden Jokowi mendukung dilakukan amendemen terbatas UUD NRI 1945 hanya untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dan tidak melebar ke persoalan lain. PPHN diperlukan sebagai bintang penunjuk arah pembangunan nasional.
“Presiden Jokowi menyerahkan sepenuhnya kepada MPR RI mengenai pembahasan amendemen UUD NRI 1945 untuk menghadirkan PPHN, karena merupakan domain dari MPR RI. Beliau berpesan agar pembahasan tidak melebar ke hal lain, seperti perubahan masa periodesasi presiden dan wakil presiden, karena Presiden Jokowi tidak setuju dengan itu," jelas Bamsoet.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich