jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, mengingatkan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas untuk tidak terburu-buru mengubah aturan soal pendirian rumah ibadah.
Pria yang akrab disapa HNW itu meminta Menag untuk terlebih dahulu menyelenggarakan dialog intensif lintas pemuka agama dan pimpinan Ormas Keagamaan, sebelum mengambil keputusan soal perubahan aturan.
BACA JUGA: Jokowi Tunjuk Janedjri M Gaffar jadi Plt Sekjen MPR RI, Bamsoet Sampaikan Hal Ini
Hal dolakukan agar aturan yang dibuat benar-benar bisa menjadi solusi berkeadilan bagi seluruh umat beragama di seluruh Indonesia.
Apalagi sejumlah pihak sudah mengkritisi bahkan MUI menyatakan penolakan atas usulan Menag yang akan mengubah aturan pendirian rumah ibadah.
BACA JUGA: Wakapolri: Jadikan Rumah Ibadah Tempat Menebar Kesejukan dan Toleransi
“Urusan beragama apalagi terkait pendirian rumah ibadah memang kompleks, tidak hanya soal mayoritas dan minoritas, yang berbeda-beda di banyak kasusnya. Seperti di Bali, NTT, Sulut dan Papua yang mayoritasnya non muslim. Di situ ada unsur tokoh agama, forum umat beragama, masyarakat, ormas keagamaan dllnya yang semuanya punya peran untuk harmoni kehidupan beragama melalui pendirian rumah ibadah," kata HNW dalam siaran pernya.
Politisi Fraksi PKS ini menjelaskan, jika latar belakang keinginan Menag untuk mengubah aturan pendirian rumah ibadah adalah aspirasi dari unsur Gereja melalui Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), maka data Kemenag menunjukkan dibanding jumlah Masjid.
BACA JUGA: Versi Mahfud, Rumah Ibadah Bisa Dipakai Membahas Politik Inspiratif, Bukan Praktis
Maka jumlah Gereja meningkat paling tinggi selama 3 tahun terakhir.
Hal itu disebutkan dalam portal “Satu Data Kementerian Agama”, pada 2021, jumlah Gereja Kristen di Indonesia 72.233 atau meningkat 23,46% dari 2019 yang berjumlah 55.287.
Jumlah Gereja Protestan pada 2021 berjumlah 13.749 atau meningkat 14,66% dibanding 2019 yang berjumlah 11.734.
Sementara itu, jumlah Masjid pada 2021 sebanyak 285.631 dengan peningkatan hanya 1,97%, dibanding 2019 yang berjumlah 280.006.
Secara proporsionalitas dengan jumlah pemeluk agama, umat Islam di tahun 2021 mewakili 86.93% populasi, tetapi jumlah masjid yang didirikan tidak setara, malah jauh dibawah prosentase itu, hanya 74% dari total rumah ibadah di Indonesia.
Sementara umat Kristen di Indonesia 7,47% dan Protestan 3,08% dari jumlah Penduduk Indonesia, namun jumlah rumah ibadahnya jauh lebih besar, yakni 18,72% (Kristen Katolik) dan 3,56% (Kristen Protestan) dari jumlah total rumah ibadah.
“Ini menunjukkan toleransi di lapangan sudah berjalan, dan secara aturan tidak mendiskriminasi terhadap agama apa pun, termasuk dalam pendirian rumah ibadah. Bahkan agama Konghucu yang mewakili 0,05% umat beragama di Indonesia, juga memiliki jumlah Klenteng dengan prosentase lebih banyak yaitu 0,15% dari total rumah ibadah,".
"Sebelum mengubah aturan pendirian rumah ibadah, penting bagi Menag untuk melihat fakta-fakta resmi yang dikeluarkan sendiri oleh Kemenag ini secara mendalam, agar dapat mendudukkan masalah lebih proporsional berkeadilan, dan tidak hanya berdasarkan kasus per kasus saja,” sambung dia.
Dia menganggap aturan pendirian rumah ibadah, yakni Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 tahun 2006 masih relevan untuk digunakan.
Lantaran pada aturan tersebut tidak ada unsur diskriminatif kepada agama mana pun, serta jelas mengedepankan musyawarah dan kesepakatan di tingkat masyarakat terkait pendirian rumah ibadah di daerah mereka.
“Yang paling tahu kebutuhan pendirian rumah ibadah di tingkat lokal dan paling mengharapkan adanya harmoni dan ukhuwah serta toleransi, adalah masyarakat di sekitar lokasi akan didirikannya rumah ibadah tersebut,” lanjutnya.
Dia menegaskan, UUD NRI 1945 mengakui kebebasan beragama dan beribadat menurut agamanya menjadi bagian dari HAM, sebagaimana tertuang dalam Pasal 28E dan Pasal 29 ayat(2).
Namun, kebebasan itu dibatasi dengan aturan perundangan serta turunannya yang berlaku, sebagaimana tercantum di Pasal 28J ayat(2).
Pembatasan dimaksudkan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
“PBM Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 yang mengedepankan dialog melalui Forum Kerukunan Umat Beragama sebelum mendirikan rumah ibadah merupakan implementasi dari UUD tersebut. Jangan sampai Menag hendak mengubahnya dengan merumuskan satu kebijakan baru dalam rangka menghilangkan diskriminasi yang secara data tidak terbukti,” pungkasnya. (jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tiga Penyebar Hoaks Pembakaran Rumah Ibadah di Tual Terancam Hukuman Berat
Redaktur : Dedi Sofian
Reporter : Dedi Sofian, Dedi Sofian