jpnn.com, JAKARTA - Hukuman mati yang masih tercantum dalam KUHP baru yang disahkan baru-baru ini merupakan sikap DPR yang mencerminkan jalan tengah dari pendapat pro dan kontra terhadap pengaturan sanksi tersebut.
Sejumlah aktivis LSM dan HAM menolak hukuman mati, sementara kelompok lain tetap mendesak diaturnya hukuman mati atas kejahatan tertentu seperti gembong narkoba, kejahatan terhadap perempuan, kejahatan terhadap kemanusiaan dan HAM, sampai terorisme.
BACA JUGA: Perkembangan Terbaru Keberadaan Pelaku Pencabulan 13 Santriwati yang Divonis Hukuman Mati
Anggota Komisi III DPR RI Wayan Sudirta menegaskan hal itu saat bicara sebagai narasumber dalam “Roundtable Discussion - Hukuman Mati di Indonesia: Perkembangan Advokasi Kasus Hukuman Mati dan Kondisi Terpidana Mati di Indonesia Pasca-Penetapan KUHP” di Jakarta, Kamis (2/3/2023).
Acara ini diselenggarakan oleh KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan).
BACA JUGA: Hukuman Mati Ferdy Sambo Dikaitkan dengan KUHP Baru, Mahfud MD Bereaksi
Selain Sudirta, narasumber lain yang juga berbicara di forum tersebut adalah Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejagung, Kementerian Hukum dan HAM, LBH Masyarakat dan sejumlah penanggap yakni Komnas HAM, Komnas Perempuan, HRWG, LBH Jakarta, YLBHI, Migrant Care, ICJR, SETARA Institute, PBHI, INFID dan Kelompok Buruh Migran.
Politikus PDI Perjuangan ini mengatakan pengaturan pidana mati dalam KUHP saat ini merupakan jalan terbaik yang mengakomodasi seluruh kepentingan dan pandangan tentang relevansi hukuman mati sebagaimana diatur dalam Pasal 67, 98, 99 100, 101 KUHP.
BACA JUGA: Menlu Amerika Serikat Ungkap Keprihatinan soal KUHP Indonesia
Lebih lanjut, Sudirta menjelaskan pidana mati lebih tepat jika dikeluarkan dari kelompok pidana pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 65 KUHP.
“Diatur secara khusus atau bersyarat sebagaimana menjadi pidana yang selalu diancamkan secara alternatif,” kata Sudirta.
Selanjutnya, Sudirta mengutip isi dari pasal-pasal yang mengatur hukuman mati tersebut.
Pasal 67
Pidana yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c merupakan pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif.
Pasal 98
Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat.
Pasal 99
(1) Pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.
(2) Pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan Di Muka Umum.
(3) Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak atau dengan cara lain yang ditentukan dalam Undang-Undang.
(4) Pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil, perempuan yang sedang menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai perempuan tersebut melahirkan, perempuan tersebut tidak lagi menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.
Pasal 100
(1) Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun jika:
a. terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;
b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana tidak terlalu penting; atau
c. ada alasan yang meringankan
(2) Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.
(3) Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
(4) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.
(5) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Pasal 101
Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden.
Menurut Sudirta, dalam KUHP terdapat upaya menempatkan pidana mati terlepas dari paket pidana pokok. Namun, diancamkan dengan persyaratan sehingga masuk dalam sanksi pidana khusus atau alternatif.
“Pengaturan ini merupakan kompromi atau sebagai jalan keluar antara kaum retentionist dan abolist. Ini berarti bahwa pidana mati merupakan pidana perkecualian. Hakim harus memberikan pertimbangan yang sungguh-sungguh dan hati-hati sebelum menjatuhkan pidana mati, sebagaimana diatur dalam KUHP,” kata Sudirta.
Menurut data dalam penelitian tentang hukuman mati di 74 negara, ditemukan fakta bahwa sekalipun sebagian besar tetap mempertahankan pidana mati, tetapi berbagai macam alat hukum diatur untuk lebih memanusiawikan pidana mati.
Hampir semua negara mempertahankan pidana mati memiliki persyaratan-persyaratan yuridis, yang mengatur hak-hak dari terpidana untuk minta peninjauan kembali, meminta pengampunan, perubahan pidana dan penangguhan pidana mati.
Hal ini kemudian memperoleh penguatan yakni dengan keluarnya Resolusi Sidang Umum PBB No. 35/172.
Oleh karena itu, pidana mati menjadi pilihan yang paling dihindari dengan melihat faktor pelaku seperti kesengajaan dan kesadaran.
Dengan begitu diharapkan bahwa penyalahgunaan kewenangan oleh penegak hukum juga terhindarkan dalam hal kewenangan hakim untuk selalu menghindari Hukuman mati dalam penjatuhan putusan pidana.
Dalam KUHP saat ini, Pidana mati selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara waktu tertentu (paling lama 20 (dua puluh) tahun) dan pidana penjara seumur hidup, sesuai dengan pengaturan dalam Pasal 67.
Hal ini tercermin dalam pasal-pasal tertentu dalam Buku II KUHP. Lebih lanjut, Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun apabila memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 100 ayat (1).
Mekanisme pemberian masa percobaan diatur dalam Pasal 100 dan 101 yang selanjutnya akan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang tersendiri.
"Namun yang penting untuk dicatat di sini adalah juga pertimbangan hakim, yang mana harus memuat pidana mati dengan masa percobaan dalam putusan hakim,” ujar Sudirta.
Bahwa penerapan hukuman mati dalam KUHP baru lebih ketat, selanjutnya mekanisme penilaian pada masa percobaan diatur dengan Keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan Mahkamah Agung.
“Apabila tidak ada dalam putusan hakim, maka seorang terpidana memiliki hak untuk memohon grasi pada Presiden dengan persyaratan tertentu, sebagaimana mekanisme yang telah ada saat ini.
Dia mengatakan jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri.
“Pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden,” kata Sudirta.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari