Soal Hukuman Mati, Jaksa Agung Diingatkan Tak Sembarangan Memaknai UU Tipikor

Senin, 06 Desember 2021 – 19:55 WIB
Jaksa Agung ST Burhanuddin. Foto: ANTARA/Istimewa

jpnn.com, JAKARTA - Wacana Hukuman mati bagi koruptor yang diusungoleh Jaksa Agung ST Burhanudin memunculkan kontroversi.

Pakar hukum sekaligus akademisi Universitas Gadjah Mada Dr. Djoko Sukisno, S.Hturut angkat bicara,

BACA JUGA: Jaksa Agung Sebut Hal ini yang Bikin Sulit Penerapan Hukuman Mati untuk Koruptor

“Walaupun hukuman mati diijinkan menurut Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, namun harus dicermati pula penjelasannya," ujar dia.

Hukuman mati terhadap koruptor telah diatur pada Pasal 2 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

BACA JUGA: 3 Pelaku Perampokan Sadis Ini sudah Ditangkap, Terancam Hukuman Mati

Hukuman tersebut menjadi bagian dari Pasal 2 ayat (1) yang mengatur tentang perbuatan memperkaya diri dan orang lain yang dapat merugikan keuangan negara.

Namun perlu kehati-hatian dalam memaknai Pasal 2 ayat (2) undang-undang tersebut yang berbunyi ‘Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan’, karena harus pula dicermati bagian penjelasan atas ayat tersebut.

BACA JUGA: Koruptor Bisa Divonis Hukuman Mati, Ada Pasalnya, Cuma Belum Pernah ya?

Lebih jauh Djoko menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Menurutnya, pada kalimat yang menyebutkan kata ‘pengulangan’ diawali dengan tanda baca koma.

Maka anak kalimat tersebut dapat dimaknai sebagai berdiri sendiri dan tidak terkait dengan anak kalimat sebelum dan sesudahnya.

“Oleh karena itu, kalimat tersebut dapat berarti seseorang yang sudah pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana korupsi kemudian setelah keluar dia melakukan tindak pidana korupsi lagi. Sehingga orang tersebut layak untuk dituntut hukuman mati karena dianggap tidak jera atas hukuman yang pernah dijatuhkan padanya”, tekannya.

Terkait dengan wacana hukuman mati bagi para terdakwa Jiwasraya dan Asabri, maka perlu juga dicermati sekali lagi apakah diantara mereka ada yang recidivis atau orang yang pernah dihukum dan melakukan tindak pidana yang sama.

Lalu bagaimana dengan tempus delicti-nya, apakah negara dalam kondisi bencana alam atau dalam keadaan krisis moneter.

Ingat, tempus delicti adalah waktu terjadinya suatu delik atau tindak pidana bukan waktu persidangannya, ungkapnya mengakhiri wawancara.

Sebelumnya diketahui, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin kembali menggaungkan wacana hukuman mati bagi terpidana korupsi. Pihaknya, akan membuka ruang diskursus dalam mengkaji secara ilmiah dan lebih dalam untuk dapat diterapkannya sanksi pidana terberat bagi para koruptor.

Dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi, selain upaya preventif juga diperlukan upaya represif yang tegas sebagai efek jera. Menurutnya, Kejaksaan telah melakukan berbagai macam upaya untuk menciptakan efek jera.

Upaya prefentif yang dilakukan dalam penuntutan di antaranya, penjatuhan tuntutan yang berat sesuai dengan tingkat kejahatan, merubah pola pendekatan dari follow the suspect menjadi follow the money dan follow the asset.

Kemudian, pemiskinan koruptor dengan melakukan perampasan aset koruptor melalui asset tracing, sehingga penegakan hukum tidak sekedar pemidanaan badan tetapi juga bagaimana kerugian keuangan negara yang dapat dipulihkan secara maksimal.

Selanjutnya, penerapan pemberian justice collaborator yang dilakukan secara selektif guna menemukan pelaku yang lain, melakukan gugatan keperdataan terhadap pelaku yang telah meninggal dunia atau diputus bebas namun secara nyata telah ada kerugian keuangan negara.

Dirinya merasa upaya-upaya tersebut belum cukup untuk mengurangi kuantitas kejahatan korupsi.

Oleh karena itu, Kejaksaan merasa perlu untuk melakukan terobosan hukum dengan penerapan hukuman mati.


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler