Soal Kerugian Negara Rp 300 Triliun di Kasus Korupsi Timah Harus Dikaji Lagi

Jumat, 06 September 2024 – 20:42 WIB
Kerugian negara sebesar Rp 300 triliun pada korupsi timah harus dikaji ulang. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Kasus dugaan korupsi tata niaga timah masih terus bergulir. Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Agung (Kejagung) RI mendakwa suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 300 triliun.

Berdasarkan surat dakwaan, kerugian negara ratusan triliun ini timbul dari pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun 2015-2022.

BACA JUGA: Eks Gubri Syamsuar Diperiksa Bareskrim Polri Terkait Kasus Korupsi, Kerugian Negara Rp 40 Miliar

Hingga kini, dasar perhitungan kerugian negara dalam kasus tersebut bisa dibilang masih kontroversi.

Ketua Harian Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI), Eka Mulya Putra menyebut ada ketidakadilan dalam menghitung nilai kerugian negara, termasuk kerusakan lingkungan yang diperkirakan mencapai Rp 300 triliun, yang saat ini dibebankan kepada para terdakwa yang tengah menjalani persidangan.

BACA JUGA: Soal Kasus LNG CCL, KPK Fokus Kembalikan Kerugian Negara Rp 1,8 Triliun

Menurut Eka, hal ini sangat tidak fair karena beban kerugian tersebut tidak seharusnya sepenuhnya ditanggung oleh mereka yang kini sedang dalam proses hukum. Padahal, lanjut dia, penambangan timah di Bangka Belitung (Babel) sudah berlangsung sejak lama.

"Penambangan timah yang telah berlangsung bertahun-tahun di Bangka Belitung seharusnya tidak menjadi beban semata bagi mereka yang baru terlibat dalam pengusutannya dari tahun 2015 hingga 2022," ujar Eka.

BACA JUGA: Pengusaha Tetian Wahyudi DPO Kasus Korupsi Timah Rp 300 T

Dia menambahkan meskipun ada persoalan dalam mengatasi dampak kerusakan lingkungan imbas aktivitas pertambangan, tidak adil jika seluruh tanggung jawab dibebankan di pundak para terdakwa saat ini.

Eka menggarisbawahi bahwa penambangan timah di wilayah tersebut telah dilakukan sejak zaman kerajaan Sriwijaya hingga zaman kolonial, yang menunjukkan bahwa masalah ini jauh lebih kompleks dengan sejarah yang panjang.

Sehingga, keberadaan penambang rakyat yang melakukan aktivitas penambangan di Wilayah Izin Usaha Pertambanagn (IUP) milik PT Timah, tidak bisa serta merta dipandang sebagai aktivitas ilegal yang merugikan negara.

Mengenai kerja sama antara PT Timah dan pihak swasta, Eka menjelaskan bahwa MoU (Memorandum of Understanding) yang terjalin pasti didasarkan pada prinsip saling menguntungkan.

"Kerja sama yang telah bertahan lama pasti memiliki dasar keuntungan bagi semua pihak. Jika ada pihak yang dirugikan, kerja sama itu tidak mungkin bertahan selama ini," ujar Eka.

Dia menduga adanya masalah dalam tata kelola yang mungkin menyebabkan persoalan-persoalan baru seperti yang terjadi saat ini. Namun, Eka menegaskan bahwa kesalahan dalam tata kelola tidak bisa sepenuhnya dilimpahkan pada individu atau pihak tertentu.

"Masalah tata kelola menyangkut aturan dan regulasi yang berlaku, dan ini tidak bisa hanya disandangkan pada mereka yang saat ini terlibat dalam kasus tersebut," kata.

Hal itu sejalan dengan pernyataan para saksi yang dihadirkan dalam persidangan perkara tersebut sejauh ini.

Salah satunya datang dari eks Direktur Operasi dan Produksi PT Timah, Agung Pratama dalam persidangan yang menyatakan bahwa penambang ilegal itu sudah terjadi di wilayah Izin Usaha Penambangan (IUP) PT Timah jauh sebelum adanya kerja sama mitra smelter.

Agung mengatakan pemerintah dan PT Timah selaku pemilik IUP pada sejumlah lokasi pertambangan di sana sebenarnya bukannya tinggal diam dan tak melakukan penertiban.

Diakui Agung, upaya penertiban terus menerus dilakukan. Bahkan proses hukum terhadap penambang liar juga terus dilakukan. Sayang, upaya tersebut tidak membuahkan hasil.

Menjawab permasalahan tersebut, PT Timah membuat Langkah kemitraan kerja dengan para penambang tersebut dalam bentuk badan usaha berupa PT, CV, dan koperasi. Dalam menjalankan mitra kerja tersebut, sambung dia, kelompok penambang bekerja berdasarkan surat perjanjian kemitraan, serta surat perintah kerja dari PT Timah.

Sementara itu, untuk Izin Usaha Jasa Penambangan (IUJP), Agung berkata, hal tersebut berasal dari pemerintah daerah (pemda), yaitu gubernur Kepulauan Bangka Belitung. IUJP ini digunakan oleh para smelter, baik PT maupun CV dalam menjalankan kemitraan kerja dengan PT Timah.

Berkat kerja sama dengan smelter swasta ini, terungkap dalam persidangan bahawa sebenarnya kerja sama dengan smelter swasta tersebut secara nyata mampu memberikan keuntungan bagi masyarakat dan perusahaan.

Kesimpulan itu sejalan dengan keterangan Kepala proyek CSD dan Washing Plant PT Timah, Ichwan Azwardi yang dihadirkan dalam sidang terbaru yang digelar Kamis (5/9) kemarin. Dia memberikan penjelasan penting mengenai beberapa elemen kunci terkait penambangan timah dan program reklamasi yang kini diperkarakan.

Pertama, Ichwan membahas dampak dari kerja sama PT Timah dengan smelter, yang diklaim berhasil membalikkan posisi ekspor timah Indonesia.

"Dengan adanya kerja sama smelter, PT Timah berhasil meningkatkan pangsa pasar ekspor timah dari sekitar 25 persen pada tahun 2017 menjadi 90 persen pada tahun 2019," ujar Ichwan.

Data ini mengacu pada laporan ekspor logam dunia dari International Tin Association (ITA).

Namun, Ichwan mencatat bahwa meskipun ada peningkatan dalam pangsa pasar ekspor, jumlah total hasil penambangan tidak mengalami perubahan signifikan.

"Jumlah total hasil penambangan tidak berubah secara signifikan sebelum dan sesudah kerja sama smelter," tambahnya.

Data menunjukkan bahwa ekspor logam Indonesia tetap stabil sekitar 80.000 ton pada tahun 2017 dan menurun sedikit menjadi sekitar 79.000 ton pada tahun 2019.

Ini, lanjut dia, bisa dicapai berkat program kemitraan dengan penambang rakyat dengan membeli timah hasil penambangan mereka.

Ichwan Zuwardi menjelaskan bahwa perusahaan memiliki Program SHP (Sisa Hasil Pengolahan) adalah upaya untuk mengambil sisa hasil dari bekas tambang.

"Program SHP tidak melibatkan kegiatan penambangan baru. Hasil dari SHP berupa pasir timah dengan kadar rendah," ungkap Ichwan.

Ia menambahkan bahwa pasir timah dengan kadar rendah tersebut memerlukan proses tambahan untuk meningkatkan kadarnya, yang dikenal dengan istilah washing.

"Proses washing untuk meningkatkan kadar timah dalam pasir memerlukan biaya sekitar 100-200 US$ per ton," kata Ichwan.

Biaya ini mencerminkan tantangan dalam mengolah pasir timah yang dihasilkan dari Program SHP sebelum dapat digunakan dalam produksi logam timah.

Ketika ditanya tentang rencana reklamasi area bekas tambang, Ichwan menyebutkan, reklamasi tidak bisa serta merta langsung dilakukan. Ada banyak aspek yang perlu dipertimbangkan sebelum melakukan reklamasi area bekas tambang rakyat.

"Saya tidak dapat memastikan apakah seluruh area reklamasi seluas 400 hektar merupakan area yang ditambang oleh mitra penambangan PT Timah atau area SHP."

Ia menjelaskan bahwa alasan area SHP belum diprioritaskan untuk reklamasi adalah karena masih terdapat nilai keekonomian dari pasir timah yang dihasilkan.

Selain itu, ada kekhawatiran bahwa jika area SHP direklamasi terlalu cepat, masyarakat mungkin akan membuka kembali area tersebut untuk mendapatkan sisa timah yang belum diolah.

Dengan fakta tersebut, tak heran banyak yang meragukan kebernaran soal perhitungan kerugian negara yang bernilai fantastis mencapai Rp 300 triliun itu. (cuy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Korupsi Timah, 2 Petinggi Perusahaan Smelter Ini Didakwa Terima Rp 4,1 Triliun


Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler