jpnn.com, JAKARTA - Upaya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk melakukan pelabelan BPA pada galon guna ulang dinilai beberapa kalangan tidak tepat waktu dan diskriminatif.
Di saat kondisi ekonomi masyarakat yang menurun akibat dihantam pandemi Covid-19, upaya yang ditempuh BPOM justru dapat menyumbang banyak persoalan, mulai masalah lingkungan hingga membebani industri.
BACA JUGA: Curigai Revisi Peraturan BPOM soal Galon Air Minum, KPPU: Siapa Diuntungkan?
Ketua Dokter Indonesia Bersatu (DIB) Eva Sridiana Chaniago mengatakan air minum mineral saat ini sudah menjadi konsumsi publik.
Bertahun-tahun masyarakat telah mengonsumsi air minum kemasan dan sejauh ini belum pernah terdengar ada keluhan kesehatan yang diakibatkannya.
BACA JUGA: KPPU: Revisi Labelisasi Galon Berpotensi Merusak Persaingan Usaha
Eva menambahkan BPOM seharusnya juga membuat penelitian yang komprehensif dan tidak berdasarkan asumsi.
Dia menyebut, BPOM tidak bisa menggunakan penelitian di luar negeri yang umumnya mengambil sampel botol bayi dan makanan kaleng, untuk dijadikan landasan pengambilan kebijakan pada galon guna ulang karena masing-masing produk punya karakter sendiri.
BACA JUGA: Pemerintah Didesak Mengesahkan Kebijakan Pelabelan BPA pada Galon AMDK
“Harus ada penelitian yang detail, misalnya, kapan waktunya, sampelnya di mana, umur berapa, berapa lama melakukan penelitian, dan apakah benar bahwa para pasien kanker itu karena BPA. Kalau tidak seperti itu, namanya asumsi,” ia memaparkan.
Diskrimatif
Terkait kebijakan pelabelan ini, Direktur Salemba Institute Edi Homaidi menilai rencana tersebut penuh diskriminasi dan patut diduga bertendensi pada persaingan usaha yang akan menguntungkan segelintir pelaku usaha.
Kebijakan diskriminasi tersebut bisa dilihat secara gamblang dari pernyataan Kepala BPOM Penny Lukito baru-baru ini.
Penny menyebutkan bahwa depot air isi ulang dikecualikan dari wajib tempel warning BPA.
Regulasi baru BPOM soal label peringatan BPA hanya menyasar sejumlah produk air kemasan dalam minuman (AMDK) berbahan polikarbonat yang memiliki izin edar.
“Nah, ini ada apa? Kalau memang BPOM menganggap BPA berbahaya buat kesehatan mengapa yang disasar hanya pelaku usaha tertentu? Mengapa bukan semua? Inilah wujud diskriminasi yang kasat mata itu,” katanya.
Edi juga mempertanyakan pernyataan Kepala BPOM dalam sarasehan yang digelar BPOM di Hotel Sangrila pada 7 Juni 2022.
Pada acara itu, Kepala BPOM mengakui penelitian yang dilakukan terhadap BPA menunjukkan risiko bahaya kesehatan seperti infertility dan sebagainya walaupun belum jelas kausalitasnya.
“Nah, dia sendiri mengakui belum jelas kausalitasnya, tapi mengapa sudah dianggap sesuatu yang pasti? Kok, berani bikin kebijakan padahal belum ada penelitian yang jelas, belum dilakukan per-review. YLKI dan BPKN juga belum pernah dapat pengaduan dari masyarakat,” ujarnya.
Sebelumnya beberapa pakar telah menyampaikan suara penentangan atas isu yang menghubungkan penggunaan air minum dari galon guna ulang dengan autisme.
Pakar pendidikan autisme, Imaculata Umiyati mengatakan, penyebab anak menjadi autis masih multifaktor. Dia membantah berita yang menautkan autisme dengan konsumsi air galon polikarbonat.
Menurutnya, selama AMDK sudah mendapatkan izin sudah pasti aman dikonsumsi. “Kalau tempat atau wadahnya aman dan minuman tidak mengandung gula, pewarna, tentu aman,” katanya.
Dokter Spesialis Anak dan Konsultan Tumbuh Kembang Anak, Bernie Endyarni Medise sebelumnya menegaskan bahwa tidak pernah ada anak menjadi autis karena mengonsumsi air galon guna ulang.
Menurutnya, penyebab pastinya anak autis masih belum diketahui. Yang baru diketahui adalah anak auitis itu ada hubungannya dengan genetik tertentu seperti adanya autism pada kelainan Fragile X syndrome.
Ketua Pokja Infeksi Saluran Reproduksi Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Alamsyah Aziz mengatakan sampai saat ini tidak pernah menemukan pengaruh BPA terhadap janin.
Menurutnya, kelainan bawaan yang terjadi pada anatomi janin itu memang bisa disebabkan karena adanya exposure dari bahan-bahan yang berbahaya, termasuk BPA jika jumlah yang masuk ke dalam tubuh itu cukup tinggi, misalnya mencapai 250 miligram.
“Namun, kenyataannya, yang ditemukan pada ibu hamil, pada janin, itu sangat jauh di bawah rata-rata batas aman keamanan yang sudah ditetapkan BPOM, yaitu sebanyak 600 mikrogram per kilogram berat badan per hari. Jadi, migrasi BPA yang terjadi pada galon guna ulang itu sangat di bawah batas keamanan,” ujar dokter spesialis kandungan itu.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo meminta BPOM melibatkan kalangan industri terkait rencana menerbitkan aturan mengenai pelabelan potensi bahaya Bisfenol-A (BPA) pada air minum galon.
“Untuk industri ya diajak diskusi, kira-kira pelabelannya seperti apa (agar) tidak mengganggu perusahaan,” kata Rahmad di Jakarta.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari