Soal Presidential Threshold, Direktur Poldagri: Ingat, Ada Putusan MK Nomor 51 Tahun 2013

Senin, 24 Juli 2017 – 07:39 WIB
Direktur Politik Dalam Negeri Ditjen Polpum Kemendagri DR. Bahtiar. Foto: Ist/dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Yusril Ihza Mahendra memastikan dirinya akan mengajukan judicial review (JR) terhadap UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ketua Umum DPP PBB itu berjanji akan mendaftarkan uji materi begitu undang-undang baru tersebut masuk lembaran negara.

BACA JUGA: PP Muhammadiyah: Yakinlah, Rakyat jadi Penentu

Yusril mengatakan, RUU Pemilu diputuskan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR pada Kamis lalu (20/7). Tetapi, UU tersebut belum ditandatangani presiden, dinomori, dan belum dimuat dalam lembaran negara.

’’Saya masih menunggu disahkannya UU tersebut,’’ terang dia saat dihubungi Jawa Pos kemarin (23/7).

BACA JUGA: Warga Muhammadiyah Tolak Rencana Boikot Pilpres 2019

Jika pengesahan RUU ini selesai pekan depan, Yusril akan mengajukan pedaftaran permohonan pekan depan juga. Pakar hukum tata negara itu bakal berfokus menguji pasal-pasal yang berkaitan dengan presidential threshold.

Ambang batas pencalonan presiden 20–25 persen dinilai sangat merugikan dirinya yang akan maju menjadi calon presiden dari PBB. ’’Saya ajukan gugatan atas nama sendiri. Insya Allah, saya mempunyai legal standing,’’ tutur dia.

BACA JUGA: Yusril Gugat UU Pemilu demi Cegah Jokowi Jadi Capres Tunggal

Mantan menteri sekretasis negara itu menilai, presidential threshold 20–25 persen didesain untuk memunculkan calon presiden tunggal, yaitu Joko Widodo.

Karena itu, ambang batas harus dilawan untuk menghindari munculnya calon tunggal. ’’Calon tunggal bukan saja tidak baik bagi perkembangan demokrasi, tetapi juga akan menimbulkan persoalan konstitusionalitas,’’ katanya.

Yusril menjelaskan, perlawanan terhadap presidential threshold ke MK merupakan jalan konstitusional terakhir yang bisa ditempuh. Tidak ada jalan lain lagi di luar hukum dan konstitusi yang bisa dilakukan setelah fraksi-fraksi yang menentang ambang batas pencalonan presiden kalah suara di DPR.

’’Saya sangat berharap, MK akan bersikap benar-benar objektif dan akademik menangani perkara yang sarat dengan kepentingan politik ini,’’ ucapnya.

MK diharapkan bisa memutus segera permohonan ini sebelum Oktober 2017. Sebab, tahapan Pemilu 2019 sudah dimulai. Kalau MK terlambat atau sengaja melambat-lambatkannya, meskipun nanti permohonan itu dikabulkan, maka putusan itu belum tentu bisa dilaksanakan untuk Pemilu 2019.

Terpisah, Direktur Politik Dalam Negeri Ditjen Polpum Kemendagri Bahtiar mengatakan, hingga saat ini perdebatan soal presidential threshold hanya mengaitkannya dengan putusan MK nomor 14 Tahun 2013.

“Padahal ada putusan MK Nomor 51 Tahun 2013 bahwa presidential threshold adalah kewenangan pembentuk undang-undang. Dan pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang presidential threshold 20-25 persen tidak dibatalkan dan disetujui oleh MK. Putusan ini yang tidak banyak diketahui public,” terang Bahtiar.

Dikatakan, opini yang coba terus dibangun oleh pihak yang menolak presidential threshold dengan menyatakan bahwa mengapa hasil pileg 2014 dipakai sebagai presidential threshold (PT) dua kali yakni untuk pilpres 2014 dan pilpres 2019. Mereka umpakan tiket/karcis yang sudah disobek kok dipakai lagi.

Bahtiar membeberkan beberapa point argumennya membantah opini tersebut.

Pertama, putusan MK No.14/XI-PUU/2013 diputuskan disaat tahapan pilpres 2014 sedang berlangsung sehingga tidak serta merta diberlakukan pada pilpres 2014 tapi diberlakukan untuk pilpres 2019.

Sehingga pada saat pemilu 2019 nantinya dilakukan serentak antara pileg dan pilpres maka tidak ada hasil pileg yang dapat jadi rujukan dasar PT selain hasil Pileg 2014.

Kedua, Pileg dan Pilpres serentak baru pertama kalinya dilaksanakan pada 2019, maka pasti rujukan PT adalah hasil Pileg 2014.

“Karena pertama kalinya maka hasil pileg bulan April 2014 digunakan sebagai presidential threshold Pilpres bulan Juli 2014 dan presidential threshold Pilpres 2019. Akan tetapi nantinya pada saat Pemilu 2024, kondisinya akan berbeda karena yang jadi rujukan adalah hasil Pileg 2019 atau tiket hasil pemilu 2019 hanya satu kali digunakan untuk pilpres pada tahun 2024, begitu pun pemilu 2029 menggunakan tiket hasil pemilu 2024 dan seterusnya,” beber anggota Tim RUU Pemilu dari pemerintah itu.

“Oleh karena itu kurang bijakmembandingkan kondisi 2019 dengan 2014, tetapi mestinya berfikir ke depan, tahun 2024, tahun 2029 dan seterusnya pasti tiket hasilpileg pemilu sebelumnya hanya digunakan cuma satu kali saja. UU pemilu ini mengatur ke depan, bukan mengatur ke belakang,” ulasnya.

Ketiga, Pasal 6A UUD 1945 harus dibaca dilengkap. Ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan dikunci ayat (5) tatacara pelaksanaan pemilihan presiden dan wapres lebih lanjut diatur dalam UU.

Tentu ayat (5) pasal 6A berkorelasi dengan pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) dan berkorelasi dengan pasal 6A ayat (1), ayat (2), ayat ( 3) dan ayat (4).

“Dengan demikian, presidential threshold adalah bagian tatacara pemilihan presiden dan wapres sebagaimana dikunci pasal 6A ayat (5),” terang birokrat yang juga doktor ilmu pemerintahan itu.

Empat, apakah presidential threshold memiliki manfaat positifmaslahat dalam pilpres atau sebaliknya lebih banyak mudharatnya?

Bahtiar menjelaskan, presidential threshold telah digunakan dua kali pemilu hasilnya menunjukkan bahwa presidential threshold sangat positif menjadi alat seleksi awal capres-cawapres terpilih yang wajib mendapat dukungan suara lebih 50 persen dari total suara sah, dengan dukungan suara tersebar lebih 50 persen dari jumlah provinsi dan setiap provinsi tersebut minimal mendapat suara minimal 20 persensebagaimana dimaksud pasal 6A ayat (3) UUD 45.

Jadi, lanjut Bahtiar, memang capres-cawapres sejak awal didesain kelasnya sebagai calon pemimpin negara/pemimpin nasional, bukan sekedar pemimpin lokal tertentu saja atau pemimpin kelompok atau golongan tertentu saja.

“Dengan demikian presiden threshold sebagai alat seleksi awal sangat bermanfaat menuju terpilihnya pemimpin negara lewat pemilu,” paparnya.

Kelima, negara lain yang tidak menggunakan presidential threshold tetap memiliki alat seleksi awal, yang disebut pemilihan pendahuluan, seperti Amerika Serikat.

“Artinya negara demokrasi maju tetap memiliki alat atau instrumen seleksi awal capres-cawapres. Bedanya Indonesia hari ini menggunakan presidential threshold,” pungkas Bahtiar. (lum/c4/fat/sam/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jelas Sekali, Presidential Threshold demi Mengadang Calon Pesaing Jokowi


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler