Soal Revisi PP 109, Pakar Sebut Rokok Elektrik Butuh Regulasi Tersendiri

Kamis, 08 September 2022 – 03:25 WIB
Ilustrasi. Rokok elektrik/vape. Foto Drake

jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan, berencana untuk memasukkan rokok elektronik dalam revisi aturan pengendalian tembakau, yakni Peraturan Pemerintah nomor 109 tahun 2012 (PP 109/2012).

Langkah ini berseberangan dengan beberapa pakar dan asosiasi yang menyarankan aturan mengenai rokok elektronik dibuat tersendiri serta dikaji secara mendalam.

BACA JUGA: Ini Perbedaan Pod dan Mod Pada Rokok Elektrik

Sekretaris Jenderal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Garindra Kartasasmita menyampaikan rokok elektronik perlu dibuatkan regulasi khusus mengingat perbedaannya dengan produk konvensional yakni pada cara kerja, kandungan, aerosol, dan dampak kesehatan.

“Kalau kita lihat di industri lain seperti halnya otomotif, kendaraan yang menggunakan BBM dengan kendaraan elektrik. Keduanya sama-sama berfungsi untuk mengantarkan penggunanya ke tempat tujuan. Tetapi perbedaan cara kerja, bahan bakar yang digunakan, dan dampak lingkungannya membuat produk kendaraan elektrik perlu diperlakukan dengan regulasi yang berbeda. Begitu pun dengan rokok elektronik yang di banyak negara diakui sebagai salah satu produk harm reduction,” ujar Garindra saat dimintai keterangan oleh media.

BACA JUGA: Kontribusi Rokok Elektrik Makin Besar, Pemerintah Dituntut Lindungi Pengguna dari Produk Ilegal

Di sisi lain, Direktur Kajian dan Riset Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi Nasional (Poskolegnas) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fathudin Kalimas menulis bahwa kolaborasi antara pemerintah, konsumen, dan industri sangat diperlukan, terutama dalam melakukan riset bersama.

Sehingga hal tersebut bisa memberikan informasi yang objektif kepada masyarakat.

BACA JUGA: Dilarang Menjual Rokok Elektrik kepada Anak di Bawah 18 Tahun, Ada Sanksinya 

Adapun, PP 109/2012 secara spesifik telah mengatur distribusi hingga iklan dari produk rokok agar tidak terjamah oleh anak di bawah umur.

Dalam aturan itu, rokok merupakan salah satu objek yang diatur secara komprehensif.

Pembaruan aturan ini kemudian menyasar industri rokok elektronik untuk diatur sama ketatnya seperti produk-produk rokok konvensional.

Padahal jika dilihat dari produk serta industri yang menyelenggarakannya, kedua produk ini memiliki karakteristik yang jauh berbeda.

Sebagai sebuah produk inovasi, banyak negara maju yang telah membuka diri untuk mengakui bahwa rokok elektronik merupakan produk yang rendah risiko.

Di Amerika Serikat, Food and Drug Administration (FDA) telah menetapkan salah satu produk tembakau yang dipanaskan sebagai produk dengan risiko yang dimodifikasi atau Modified Risk Tobacco Product (MRTP).

Mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama WHO, Tikki Pangestu, menyebut bahwa Izin tersebut membuktikan FDA AS telah menerima bukti ilmiah bahwa produk tersebut memiliki risiko kesehatan yang jauh lebih rendah dibandingkan rokok guna melindungi dan mendukung kesehatan masyarakat terutama para perokok yang mengalami kesulitan untuk berhenti.

Filipina juga pada Juli lalu telah mengesahkan aturan yang membuka ruang bagi industri rokok elektronik untuk membuktikan klaim rendah risiko di bawah supervisi Departemen Kesehatan.

Oleh karenanya sangat disayangkan jika kemudian rokok elektronik dikategorikan sebagai produk yang memiliki risiko sama tingginya dengan rokok konvensional, kemudian digabungkan dalam satu payung hukum bersama.

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo, menyatakan bahwa aturan PP 109/2012 masih relevan hingga saat ini.

Sehingga menurutnya perubahan atau revisi terhadapnya bukan prioritas. Edy juga menambahkan bahwa industri hasil tembakau (IHT) merupakan salah satu industri tulang punggung di Indonesia.

Sehingga semua pihak harus berhati-hati ketika melakukan formulasi kebijakan.

"PP 109 sudah cukup baik dan masih relevan, karena penetapannya telah mempertimbangkan berbagai kepentingan dan disepakati pada waktu itu," ujar Edy dalam keterangan tertulis.

Sejak dikenakan cukai pada 2018, kontribusi industri rokok elektronik terhadap penerimaan negara terus meningkat.

Hal ini dipicu oleh peningkatan jumlah pengguna rokok elektronik yang kian meningkat di Indonesia.

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, berharap industri rokok elektronik mampu menyumbang Rp 648,84 miliar pada tahun 2022.

Data dari APVI memprediksi terdapat 2,2 juta pengguna rokok elektronik di Indonesia pada 2020.

Industri ini juga mampu menyerap 80–100 ribu tenaga kerja menurut APVI.

Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari besarnya investasi di bidang rokok elektronik. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler