Social Legal Dinilai Bisa Jadi Solusi Sengketa Wilayah Pulau Banyak

Jumat, 23 Juni 2023 – 20:59 WIB
Ilustrasi pulau. Foto: Edi Suryansyah/JPNN.com

jpnn.com - Keputusan Mendagri Nomor 050-145 tahun 2022 menuai polemik lantaran memasukkan empat pulau yang jadi bagian Kepulauan Pulau Banyak di Aceh Singkil kedalam wilayah Sumatera Utara.

Ikatan Mahasiswa Pascasarjana (IMPAS) Aceh-Jakarta bekerja sama dengan Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) UIN Ar-Raniry membahas polemik kepemilikan 4 Pulau Sengketa Aceh-Sumut melalui Seminar nasional di Aula Gedung Teater UIN Ar-Raniry, Banda Aceh

BACA JUGA: Sengketa Tanah Kerap Terjadi, Gubernur Herman Deru Dorong PTSL di Sumsel Dipercepat

Ketua Umum IMPAS Aceh-Jakarta, Nazarullah mengatakan, melalui seminar nasional itu diharapkan bisa menuntaskan polemik antara Aceh dan Sumut mengenai empat pulau tersebut.

“Semoga kita mendapatkan hasil kajian berupa kunci permasalahan dengan adanya seminar seperti ini,” kata Nazarullah.

BACA JUGA: Sengketa Indonesia Vs Uni Eropa soal Ekspor Nikel, JAKI Serukan Reformasi WTO

Di tahun itu, tepatnya 20-22 November, dilaksanakan verifikasi dan pembakuan nama pulau dalam wilayah Aceh oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang terdiri dari Kemendagri, KKP, Dishidros TNI AL, Bakosurtanal, dan Pakar Toponimi di Kota Banda Aceh.

Rapat tersebut menyampaikan hasil verifikasi dan dibakukan bahwa 260 pulau berada di wilayah Aceh. Namun dari jumlah tersebut tidak mencatat Pulau Mangkir besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang, masuk dalam wilayah.

BACA JUGA: Kejagung Tak Hadiri Sidang Sengketa Informasi Publik di KIP

Sementara itu, rapat serupa dan tim yang sama malah telah dilakukan di Kota Medan, Sumut, pada 14-16 Mei 2008. Diverifikasi dan dibakukan dalam rapat tersebut 213 pulau ada dalam wilayah Sumut.

“Termasuk empat pulau yaitu Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang,” tegas Nazarullah.

Bahkan, Kemendagri mendaftarkan empat pulau tersebut sebagai milik Sumut ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada 2012.

Sedangkan Pemerintah Aceh telah mendirikan sejumlah bangunan di empat pulau itu, mulai dari musala, rumah singgah, dan prasasti.

Meski demikian, sejak 2012 sampai hari ini, empat pulau tersebut dikatakan Nazarullah, masih diklaim sebagai milik Sumut. Hal ini sesuai data kajian yang dilakukan IMPAS Aceh-Jakarta.

“Kalau memang itu punya Aceh, Pemerintah Aceh harus tegaskan dan ayo lengkapi data,” ujarnya.“Kita siap sama-sama berjuang, kita bergandengan tangan, kita perjuangkan itu milik Aceh,” tambah Nazarullah.

Secara penamaan memang empat pulau yang ada di wilayah Aceh dan kini masuk sebagai bagian Sumut tersebut nyaris sama. Akan tetapi, secara koordinat disampaikan Nazarullah, ada perbedaan.

Dia mencontohkan, seperti Pulau Mangkir Besar diklaim dalam wilayah Aceh terdapat pada koordinat 20 14’ 30” LU 970 25’ 32” BT.

Sedangkan Pulau Mangkir Gadang wilayah Sumut, berada di koordinat 20 8’ 49” LU 980 7’ 29” BT.

Meski memiliki perbedaan nama, akan tetapi empat pulau itu disampaikan kepala Bagian Otonomi Daerah dan Kerja Sama Setda Aceh merupakan milik Aceh.

Afifuddin, menceritakan bahwa secara historis keempat pulau tersebut merupakan milik Aceh. Itu bila mengacu dari beberapa bukti pada tahun 1965. Namun, diduga ada kesalahan dalam pencatutan titik koordinat.

Sampai dengan saat ini upaya Pemerintah Aceh itu sudah beberapa kali bersurat ke mendagri untuk menegaskan bahwa pulau itu milik Aceh.

Namun, dalam kenyataan sampai dengan saat ini Kemendagri masih menetapkan empat pulau itu milik Sumatra Utara.

“Setelah dikonfirmasi ulang, itu masih milik Aceh,” ujar Afifuddin.

Pada Februari 2023, Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki kembali menyurati Kemendagri untuk merevisi keputusan tersebut. Isinya meminta Kemendagri untuk mengeluarkan empat pulau itu dari Sumut dan masukan ke Aceh.

“Pemerintah Aceh secara birokrasi telah berusaha sangat-sangat maksimal dan kita tidak pernah diam. Kita menyurati, meminta Kemendagri untuk merevisi Kepmendagri,” ujarnya.

Pemerintah Aceh, diakui Afifuddin, bakal memberikan kepada para mahasiswa yang membutuhkan data terkait kepemilikan empat pulau tersebut, sehingga dapat dipelajari dan mengambil langkah bagaimana memperjuangkannya.

Sementara itu, Junaidi mengaku, polemik mengenai sengketa empat pulau yang sangat berdampak terhadap kehidupan nelayan setempat. Karena warga tidak bisa melakukan penangkapan ikan.

“Empat pulau ini harus dapat segera diselesaikan. Karena ini sangat berdampak terhadap para nelayan kita,” kata Asisten I Pemkab Aceh Singkil itu.

Junaidi menjelaskan bahwa dalam aspek hukum polemik perbatasan sebelumnya telah diselesaikan oleh Pemerintah Aceh dan Sumut pada 1992.

Kedua provinsi menyatakan kesepakatan bersama batas termasuk masalah empat pulau yang kini menjadi sengketa.

Dalam peta perbatasan antara kedua provinsi tahun 1992, terlihat bahwa Pulau Mangkir besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang masuk dalam wilayah Aceh yang kala itu masih bernama Daerah Istimewa Aceh (DIA).

Kemudian, kesepakatan bersama Tim Penegasan Batas Daerah (PBD) Aceh dan Sumut kembali terjadi pada 31 Oktober 2002.

Dalam rapat di Jakarta, disepakati dan dipasang enam pilar batas serta satu pilar titik acuan di Pulau Panjang antara Kabupaten Singkil Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Dairi, Sumut.

Data hasil pengukuran dan pemasangan pilar oleh Pemkab Aceh Singkil bekerja sama dengan Topografi Iskandar Muda dan Bakosurtanal, pada 19 September 2002, bahwa telah dipasang PBU 007 di Pulau Panjang dengan koordinat 2° 05’ 53.50" LU, 98° 10’ 46.92" BT.

Tidak hanya itu, bahkan hingga saat ini, kebiasaan serta budaya masyarakat Kabupaten Aceh Singkil diketahui warga dari Kabupaten Tapanuli Tengah. Salah satu di antaranya mengenai larangan melaut di Hari Jumat.

“Keadaan ini dituruti pula diketahui oleh nelayan asal Tapanuli Utara, Sumatra Utara. Mereka tidak pergi melaut ke empat pulau tersebut pada Jumat,” ujar Junaidi.

Mempertegas keempat pulau sebagai bagian dari wilayah Aceh, bahkan sejumlah infrastruktur dibangun di pulau-pulau tersebut. Mulai dari tugu selamat datang, pelabuhan, hingga prasasti yang menandakan kawasan itu masuk dalam wilayah Aceh.

Menanggapi polemik saling klaim antara Aceh dan Sumut mengenai kepemilikan empat pulau tersebut, akademisi hukum tata negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan UIN Ar-Raniry menawarkan social legal sebagai suatu konsep penyelesaian.

“Sehingga dapat menyerap semua aspirasi. Baik politik, hukum, dan budaya serta kondisi lapangan di sana,” kata Delfi.

Empat pulau yang kini masuk dalam administrasi Pemerintah Sumut itu dikatakan Delfi, memiliki banyak potensi terutama sumber daya alamnya. Sehingga berpotensi menghidupkan wisatanya.

Meski demikian, polemik yang terjadi antara kedua provinsi bertetangga tersebut dikatakan Delfi, tidak bisa dibiarkan begitu saja dan harus diselesaikan sampai tuntas.

Sebab, dampak lain akan berpengaruh terhadap anggaran masing-masing daerah.Dia berharap hasil diskusi dari seminar dapat memberikan dampak dengan menggerakan Pemerintah Aceh untuk lebih serius memperjuangkan haknya. Terutama empat pulau yang diklaim Pemerintah Sumut.

Jika sebelumnya telah dilakukan langkah dengan menyurati Kemendagri serta dimediasi oleh Menkopolhukam, saat ini harus dilakukan riset oleh para akademisi agar tidak hanya terpaku pada aspek regulasi.

“Paling tidak pihak akademisi riset awal tidak hanya budaya, tetapi harus disertai bukti autentik yang bisa mendukung kekuatan fakta dan data Pemerintah Aceh,” pungkasnya. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler