Saat pementasan wayang kulit di Canberra, ada satu sosok yang begitu mencolok di belakang panggung. Bukan sang dalang, namun sesosok lelaki berumur sekitar 70 tahun yang begitu dihormati semua pemain yang terlibat dalam pementasan wayang itu.
Namanya adalah Mbah Soegito, staff KBRI Canberra yang menjadi pengajar gamelan. Malam itu, Mbah Soegito terlihat begitu gagah dengan pakaian beskap lengkap dengan keris.
BACA JUGA: Arsitek Vietnam Harmonikan Alam dan Arsitektur
Saat masuk ke ruang ganti pemain, semua menyalami Mbah Soegito. Pemain gamelan yang kebanyakan merupakan warga Australia itu tetap menyapa Mbah Soegito dengan sebutan 'Mbah'.
Mbah Soegito bukanlah orang baru di KBRI Canberra. Sudah 30 tahun lebih, Soegito bekerja di bagian kebudayaan KBRI Canberra.
BACA JUGA: Siswa SD Australia Ini Ciptakan Game Khusus Penyandang Cerebral Palsy
Saat pementasan wayang, Mbah Soegito begitu sibuk sehingga tidak memiliki waktu untuk berbincang. Dia lalu mengajak detikcom dan 2 media lain yang difasilitasi Australia Plus ABC International yang tengah berada di Canberra untuk datang ke kantornya keesokan harinya.
Hari berikutnya sangat dikunjungi, Mbah Soegito tengah mengajar gamelan. Saat itu hari Senin malam, rupanya memang jadwal para warga Australia berlatih gamelan di KBRI Canberra.
BACA JUGA: Australia Susun Kebijakan Tanggapi Proklamasi RI
Usai mengajar, meski hari sudah malam, Mbah Soegito tetap menyempatkan diri untuk berbincang. Sosoknya begitu ramah dan terlihat sangat sabar ketika mengajar.
Mbah Soegito lalu bercerita kegiatannya saat ini, seharusnya dia sudah pensiun, namun pihak KBRI Canberra masih membutuhkan tenaganya untuk mengajarkan gamelan. Mbah Soegito pun menerima tugas itu dengan senang hati dan penuh dedikasi. Murid-muridnya memanggilnya Mbah Soegito. Ia berasal dari Klaten, Jawa Tengah. (Foto: Ikhwanul Khabibi)
"Saya setiap Senin malam melatih mereka di sini. Kalau siangnya, biasanya ada anak-anak sekolah datang ke sini, untuk belajar gamelan juga," kata Mbah Soegito.
Lelaki yang masih terlihat gagah itu kemudian berkisah awal cerita dia pergi ke Australia. Kala itu di tahun 1970-an, Soegito muda datang ke Australia untuk bekerja. Di beberapa waktu terbesit keinginan di hati Soegito untuk bermain gamelan, namun apa daya, dia tidak memiliki partner untuk bermain.
"Ya akhirnya satu-satunya cara ya saya harus mengajar teman-teman saya main gamelan. Kan jadinya saya bisa main di sini," jelas Soegito.
Seiring berjalannya waktu, nama Soegito didengar Dubes Indonesia untuk Australia. Untuk diketahui, sejak masih di Indonesia, Soegito sudah malang melintang dari panggung ke panggung bermain gamelan. Bahkan dia pernah beberapa kali mengikuti muhibah seni di beberapa negara.
Pada tahun 1983, Soegito diminta bergabung dengan Kedutaan Indonesia untuk Australia, tugasnya satu, yakni mempromosikan budaya Indonesia terutama gamelan. Tugas yang disampaikan langsung oleh duta besar kala itu tak ditolak Soegito. Dia lalu bergabung dengan kedutaan.
"Saya masuk kedutaan diminta, saat itu saya mengajar di Universitas New England. Tahun 1983, saya belajar bahasa dulu," ungkapnya.
Sejak tahun 1983 itu Soegito aktif mengajarkan gamelan kepada para warga Australia. Saat ada acara kebudayaan di berbagai tempat di Australia, Soegito diminta untuk tampil.
Seiring berjalannya waktu, nama Soegito mulai dikenal di kalangan seniman di Australia. Hingga akhirnya dia diminta untuk mengajar di berbagai universitas di Australia. Setidaknya ada 8 universitas yang meminta Soegito untuk mengajar gamelan, antara lain Melbourne University, Monash University, Adelaide University, Australian National University dan beberapa universitas lain.
Hari-hari Soegito dihabiskan untuk mengajarkan gamelan. Dia melakukan pekerjaannya sepenuh hati dan begitu menikmati aktifitas setiap harinya.
"Saya dipesani pemerintah untuk mengembangkan gamelan, ya walaupun hanya sekedar kecil, itu saya mempromosikan. Saya bergelud dengan kesenian itu sudah lama banget," kisahnya.
Lelaki asal Pedan, Klaten, Jawa Tengah itu mengaku tidak pernah belajar gamelan di institusi resmi. Dia mengenal gamelan sejak usia 13 tahun. Mbah Soegito saat melatih gamelan di Canberra. (Foto: Ikhwanul Khabibi)
Ayahnya yang dulu seorang lurah yang mengenalkan Soegito kecil dengan gamelan. Menurut Soegito, dahulu orang yang bisa main gamelan sangat dihargai para pemudi desa. Hal tersebut menjadi salah satu motivasinya.
"Saya ini hanya seniman desa, tidak belajar di sekolah. Ya hanya belajar di desa. Dulu ayah saya yang membuatkan gamelan dan menyuruh saya bermain. Sebelumnya saya bermain keroncong," urainya.
Puluhan tahun mengajar gamelan untuk warga Australia, Soegito mengaku sangat menikmati pekerjaannya. Dia sangat senang ketika para muridnya belajar gamelan dengan sepenuh hati. Tanpa bermaksud membandingkan, Soegito mengaku lebih enjoy mengajar warga Australia.
"Kalau warga Australia itu belajar disiplin dan sungguh-sungguh, mereka bekerja sepenuh hati," tegasnya.
Namun, tetap ada kekurangan dari warga Australia yang dirasakan Soegito saat bermain gamelan. Menurut Soegito, pemain gamelan dari Australia sangat sulit mendapatkan feeling. Padahal, bermain gamelan juga harus melibatkan rasa, bukan hanya bermain notasi dan memukul alat musik.
"Feelingnya memang susah didapat, ya mereka seperti mekanis saja. Notnya apa, ya dimainkan," imbuhnya.
Hingga kini, Mbah Soegito masih aktif mengajar gamelan, meski tidak sebanyak dahulu. Soegito pun sudah menganggap beberapa muridnya seperti anak dan cucunya sendiri.
Lalu sampai kapan Mbah Soegito akan mengajar gamelan?
"Ya selama saya masih bisa mengajar, ya akan saya lakukan. Selama saya dibutuhkan, ya saya akan kerjakan," tuturnya dengan penuh ketenangan.
Lihat Artikelnya di Australia Plus
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengenang Kembali Pertempuran di Long Tan