Soesilo Toer si Doktor Pemulung Sampah, Disindir Istri (3)

Jumat, 13 April 2018 – 00:05 WIB
Soesilo Toer (kanan) memperlihatkan hasil karyanya selama ini kepada wartawan Jawa Pos Radar Kudus Noor Syafaatul Udhma di Perpustakaan Pataba Blora. Foto: NOOR SYAFAATUL UDHMA/RADAR KUDUS

jpnn.com - Soesilo Toer, doktor ekonomi politik yang kini menjadi pemulung sampah, mewarisi bakat kakaknya Pramoedya Ananta Toer. Dia menulis sejak muda. Pernah mendapat honor satu tulisan setara gaji Pramoedya sebulan. Sampai kini pun dia masih menulis.

NOOR SYAFAATUL UDHMA, Blora

BACA JUGA: Obsesi Soesilo Toer, Doktor yang jadi Pemulung Sampah (2)

SIANG itu mendung tebal menutupi langit Blora. Hujan turun demikian lebatnya. Dalam waktu setengah jam halaman rumah Soesilo Toer di Jalan Sumbawa berubah menjadi kubangan. Yang terlihat hanya ujung-ujung semak yang tumbuh tak beraturan. Soesilo menerobos air itu. Badannya basah kuyup.

Dia memaksa pulang karena hendak menyambut tamu yang akan berkunjung ke rumahnya. Ternyata tamu tersebut malah sudah setengah jam menunggu. Soesilo menemui di ruang kerja. Kondisinya gelap. Lampu belum dinyalakan. Barang-barang nyaris tak kelihatan. Soes berusaha meraih colokan listrik (bukan saklar). Jleb. Byar.

BACA JUGA: Soesilo Toer, Doktor Ekonomi Politik jadi Pemulung Sampah

Sebuah laptop usang kelihatan teronggok di depan Soes – panggilannya - yang duduk menghadap jendela. Di sampingnya berderet buku tertata rapi. Di bagian lain ratusan atau bahkan ribuan buku lain menumpuk berserakan. ”Dulu ini dapur. Sekarang jadi ruang kerja saya,’’ katanya.

Soes menganggap ruang kerja. Karena di situlah biasanya dia membaca buku dan menulis. Di situ pula dia melayani pembelian buku. Jangan dibayangkan kondisinya seperti ruang kerja di kantor.

BACA JUGA: Pram dan PRD

Lebih mirip gudang. Tak ada barang yang tertata rapi kecuali deretan buku di sebelahnya. Itulah buku-buku karyanya yang masih dijual.

Sosilo adalah seorang penulis. Dia mendapat titisan bakat dari kakaknya Pramoedya Ananta Toer, santrawan yang karyanya diakui di seantero jagad. Sudah 20 buku diterbitkan.

Belasan lainnya antre untuk dicetak. Dia menulis sejak usia belasan tahun. Sampai sekarang pun masih menulis.

Soes menulis di sela kesibukannya memulung sampah. Setiap malam di berkeliling kota Blora untuk mengais barang-barang bekas seperti kertas, botol, kardus, dan gelas. Siang sering memilah-milah sampah itu untuk dijual.

Lantas menulisnya? ”Pokoknya tergantung mood. Kalau sedang baik, ya menulis. Kalau tidak, ya tiduran. Atau baca buku,” jelasnya.

Suriyatem, istrinya, yang duduk tak jauh dari Soes menimpali. ”Tapi banyak tidurnya,” katanya. Soes tersenyum mendengar sindiran istrinya yang dari Sleman itu.

Kehidupan Soes tidak jauh berbeda dengan orang kebanyakan. Bangun pagi, minum air putih, dan makan. Setelah itu, baca buku. Kadang-kadang membersihkan perpusatakaan. Kemudian memilah barang-barang yang diperolehnya dari memulung.

Setelah itu, mulai membersihkan diri dan membaca lagi. ”Pokoknya kalau malam operasi. Setelah itu, kegiatannya bebas. Tidak tentu,” ungkapnya.

Soes menulis apa saja. Tidak melulu soal ekonomi, ilmu yang dikuasainya. Tentang sejarah, biografi, kehidupan, budaya, ekonomi, rumah tangga, hingga kecantikan.

Sejak usia belasan, dia sudah menulis buku. Ditulis sedikit demi sedikit. Sesuai dengan kemampuan dan pengalaman yang diperoleh. Sepulang dari Rusia buku itu diterbitkan. Judulnya Dunia Samin. Saking larisnya, hingga saat ini buku itu masuk cetakan keempat.

Wartawan Jawa Pos Radar Kudus membeli sebuah. Harganya Rp 70.000. ”Udah abis ini. Ini sedang cetak lagi,” katanya. Logat Jakartanya masih terasa.

Yang fenomenal, pada usia 15 tahun, dia menulis tentang nasihat perkawinan. Diterbitkan di majalah Roman Jakarta (tahun 1952). Memang aneh. Dia belum kawin tetapi bisa menulis nasihat perkawinan. Honornya Rp 40. ”Pikiran saya saat itu yang penting dapat duit. Tidak mikir lainnya. Eh jadi juga,” terangnya.

Tulisan demi tulisan diterbitkan. Hingga saat usianya menginjak 17, profilnya dimuat di Majalah Cermin (Tahun 1954). Soesilo merasa tersanjung. Sayang, terjadi petaka. Ketika diminta mengisi data diri, dia menuliskan usia 16 tahun. Padahal, sudah 17 tahun.

Majalah Cermin menilai Soes pembohong. Tulisannya tak lagi dimuat di majalah. Dia pasrah. Toh di majalah itu honornya hanya Rp 30.

Honor tersebut sangat kecil. Bandingkan dengan ketika dia menulis soal kecantikan di majalah Keluarga. Dia dikasih honor super banyak. Bahkan, paling tinggi di antara penulis lain. Mau tahu? Rp 150 ribu untuk satu artikel. Honor itu hampir setara dengan gaji Pramoedya, kakaknya, selama sebulan.

Saking banyaknya dia tidak berani mengambil sendiri honornya. Dia utus adiknya. ”Adik saya tak suruh ngambil. Malu, bayarannya paling tinggi kok,” kenangnya.

Ketika muda itu, Soes juga aktif menulis di majalah Brawijaya (majalah militer). Saat itu, dia sempat mengarang tentang gerilyawan. ”Yang penting dapat duit,” prinsipnya.

Saat di Rusia, dia juga aktif menulis. Tulisannya banyak dimuat di majalah dan koran lokal. Dia juga menerjemahkan buku berbahasa Rusia ke Indonesia. Juga sebaliknya. Tak heran, saat di Rusia dia banyak duit.

”Di Rusia, orang menulis itu betul-betul dihargai. Sebab, dianggap pekerjaan intelektual. Kalau di Indonesia kan gak. Malah dipenjarakan,” sindirnya.

Sampai sekarang Soes masih aktif menulis. Kapan menulisnya? Beberapa kali wartawan Jawa Pos Radar Kudus ke rumahnya tak pernah melihat Soes menulis. Dia mengakui, belakangan hujan terus-menerus mengguyur.

Kondisinya kurang sehat. Pilek. Berkali-kali dia memegangi hidungnya yang lubangnya tertutup kumis. Malam, waktu senggangnya lebih banyak dihabiskan dengan membaca buku.

Kebanyakan tokoh yang dikagumi berasal dari luar negeri, termasuk J.F Kennedy. Sebagai pengagumnya, Soes tahu banyak tentang sejarah presiden Amerika ke-35 itu. Bahkan, dia menulis biografi Kennedy. Baginya, Kennedy adalah salah satu tokoh yang banyak menginspirasi.

Lalu siapa tokoh Indonesia yang diidolakan, Soes menjawab tidak ada. Padahal, banyak orang yang mengatakan, Soesilo mengagumi Soeharto. Bahkan dia diberi pangkat Letnan oleh penguasa orde baru itu. ”Itu kan kata orang. Tidak ada yang saya kagumi di Indonesia,’’ ujarnya. Dia tampak mesam-mesem.

Kini, kata Soes, hidupnya lebih santai. Karya terbarunya tentang realisme sosialis telah rampung. Sudah dijilid. Tapi, masih berwujud print out. Itu terjemahan buku milik Marxim Gorky. Aslinya berbahasa Rusia.

Tetapi, berbeda dari bahasa Rusia kebanyakan. Lebih sulit. Di samping menggunakan bahasa di luar Moskow, banyak kata yang disingkat.

”Dialek kan banyak. Di Indonesia saja banyak dialek. Anda pernah makan kolor?” tanyanya. Wartawan Jawa Pos Radar Kudus ini menggeleng tak paham. Soes tertawa. Istrinya membantu menjawab. “Kolor itu, soko lor (dari utara),” kata Suratiyem.

Soes masih tertawa lantas membisiki. ”Nah, itu. Maksudnya kolor itu soko lor. Kalau orang Blora tahu singkatan begitu. Ini sama halnya dengan dialek Moskow, ya begitu. Disingkat-singkat. Jadi agak sulit. Orang Rusia saja belum tentu bisa,” terangnya mengenai kesulitan menerjemahkan karya Gorky tersebut.

Sesulit apapun Soes menyelesaikannya tanpa beban. Dengan begitu hidupnya menjadi ringan. Dia menggambarkan dengan bernyanyi. ”Senja itu angin laut. Sepoi meniup.” Lirik itu dia bikin sendiri ketika tentara Indonesia masuk ke Timor-Timor.

Masih ingin mengalahkan kakaknya Pramoedya? Dalam bidang lain, ya. Tetapi, dalam menulis, dia menyerah. ”Kalau itu betul-betul sulit,’’ ujarnya. Pram telah menerbitkan 55 buku. Sedangkan Soesilo Toer baru 20 judul. (bersambung/ris)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pram…Datuk Punk!


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler