Solusi Permanen Masalah Harga Jagung

Oleh: Fadel Muhamad (Wakil Ketua MPR RI)

Minggu, 26 September 2021 – 11:38 WIB
Wakil Ketua MPR Prof. Dr. Ir. Fadel Muhammad. Foto: Humas MPR RI

jpnn.com - Jagung merupakan komoditas strategis nasional.

Indonesia termasuk produsen jagung nomor 6 di antara 12 negara produsen jagung dunia.

BACA JUGA: Kejari Aceh Tenggara Mengantongi Nama Calon Tersangka Korupsi Bibit Jagung

Luas panen 5,16 hektare mampu menghasilkan produktifitas rata-rata 4,8 ton per hektar dan produksi 24,95 juta pipilan kering (Pusdatin Kementan 2021).

Selain itu melibatkan jutaan petani, 94 unit pengusaha pabrik pakan, ratusan ribu peternak rakyat, dan jutaan konsumen.

BACA JUGA: Malam Hari Kapolri Terbitkan Telegram, Ada Kaitan dengan Protes saat Kunker Jokowi

Oleh karena itu masalah jagung akan berdampak pada dimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan (Ipoleksosbudhankam).

Sejak 2018, Kementerian Pertanian tidak menerbitkan rekomendasi izin impor jagung.

BACA JUGA: 7 Manfaat Minum Rebusan Air Jagung, Penyakit Mematikan dan Ganas Ini Langsung Ambrol

Adapun impor yang masuk bukan untuk pakan, tetapi untuk bahan baku industri, sebagai pemanis, lebih kurang 1 juta ton.

Sampai sekarang persoalan klasik agribisnis jagung di Indonesia belum terselesaikan secara komprehensif dan fundemental.

Setiap kali ada pertemuan petani, peternak rakyat, pengusaha pabrik pakan, dengan pejabat pemerintah mulai bupati sampai presiden, baik dalam forum resmi mapun tidak resmi selalu muncul persoalan.

Mulai di tingkat petani jagung, selalu mengatakan bahwa kami sudah menanam jagung, tapi tidak ada yang membeli.

Kalau ada yang membeli harganya kurang layak.

Kalau harga sudah layak sulit mendapat benih yang bermutu, pupuk, dan jasa alat pertanian dengan harga layak, permodalan dengan prosedur sederhana dan sebagainya.

Di pihak pengusaha hulu (benih, pupuk, pestisida, dan alsintan) sulit menjual produk secara cash.

Sementara KUR untuk petani jagung tidak terserap sesuai target karena Bank pelaksana KUR tetap berprinsip sukses penyaluran, pemanfaatan dan pengembalian, untuk itu harus ada avalis.

Selanjutnya di pihak pengusaha pabrik pakan mengatakan bahwa produksi jagung dalam negeri tidak cukup.

Kalaulah cukup kualitasnya kurang baik, dan kalau kualitasnya baik harga mahal, sehingga mengambil jalan pintas yaitu lebih baik impor.

Sementara peternak unggas mengatakan harga pakan mahal, karena harga jagung mahal.

Hal tersebut muncul lagi pada kunjungan Presiden ke Blitar Jawa Timur dua minggu lalu,, seorang peternak memprotes atas kenaikan harga jagung dari Rp 4.200 menjadi Rp 6 ribu per-kg yang menyebabkan kenaikan harga pakan.

Berbanding terbalik dengan harga telur mengalami penurunan dari sekitar Rp 20 ribu menjadi sekitar Rp 15 ribu per-kg.

Berdasarkan uraian teresebut di atas, dapat dirumuskan bahwa apapun persoalan agribisnis jagung, baik di tingkat petani maupun konsumen dan pengusaha hulu-hilir yang selalu muncul, menunjukkan sistem agribisnis jagung belum terbangun dengan baik.

Mulai di tingkat lapak maupun di tingkat pengambilan keputusan.

Pertanyaannya bagaimana menyelesaikan persolaan ini secara fundamental, sistematis dan berjangka panjang dan tidak symptomatic, serta tidak partial dan jangka pendek?

Oleh karena itu kita harus bangun sistem agribisnisnya, mulai dari sub-sistem hulu sampai hilir.

Agar sistem ini terbangun secara berkesinambungan, ada 3 pertanyaan kunci (key question) harus terjawab.

1. Harus ada kejelasan siapa yang bertanggung jawab di hulu, tengah, dan hilir.

2. Bagaimana interkoneksinya antar pemangku kepentingan (stakeholders) untuk saling membesarkan?

3. Siapa yang menjadi derigent (pemerintah?) yang mensinkronisasikan dan mensinergikan agar semua pemangku kepentingan mendapat keuntungan yang layak sesuai resiko dan pengorbanan (sacrifice) masing-masing pihak?

Sepanjang 3 persolaan ini tidak terjawab dengan baik, maka persolan klasik tersebut akan selalu muncul dan akan mengancam keberlanjutan (subtainability) sistem agribisnis jagung di Indonesia.

Terbangunnya sistem ini, masalah harga jagung yang layak terutama di tingkat petani mendapat perlindungan.

Jangan diserahkan ke mekanisme pasar, pihak yang lemah akan tergilas terutama petani.

Hasil identifikasi dan inventarisasi persoalan sistem agribisnis jagung menunjukkan:

1). Tidak ada Kelembagaan Ekonomi Petani (KEP) seperti yang diamanatkan dalam UU Nomor 19 Tahun 2013, dalam hal ini Koperasi Petani yang menghubungkan pihak yang bergerak di hulu dalam hal ini petani jagung dan para pengusaha agribisnis yang bergerak di penyedaian sarana, jasa alsintan, permodalan pengolahan dan pemasaran.

2). Kurangnya peran pemerintah sebagai derigent, agar semua pemangku kepentingan merasa diuntungkan dari pembagian margin dari bisnis jagung ini.

Untuk itu, bagaimana ada kebijakan yang berpihak dari pemerintah untuk lebih mereposisikan kelembagan ekonomi petani/koperasi dan BUMD sebagai penyedia pelayanan (delivery system) bagi petani, dan menjadi avalis dengan pihak penyedia dana atau permodalan bunga rendah atau tanpa bunga, tanpa agunan dan sistem bagi hasil.

Berdasarkan pengalaman dan bench marking, ternyata petani maju, modern dan kuat karena adanya delivery system dalam hal ini adalah koperasi.

Zaman Orde Lama, ada beberapa koperasi yang kuat dari beberapa komoditi, yaitu koperasi kelapa, koperasi karet.

Zaman Orde Baru telah juga dibangun catur sarana unit desa (BUUD/KUD, penyuluh, BRI unit desa dan Kios Sarana) di setiap desa dan tahun 1984 sukses mengantar Indonesia dari negara pengimpor menjadi negara berswasembada pangan.

Bench Marking di beberapa negara (New Zealand, Jepang, Korea dan Turki), petani maju modern, karena adanya kebijakan yang berpihak memberdayakan koperasi sebagai Kelembagaan Ekonomi Petani.

Sesuai amanah UUD 1945 pasal 33 dan, UU 25/1992 tentang Koperasi, dan UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Masalahnya tinggal menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) Koperasi, permodalan, manajemen, dan kemampuan memberikan pelayanan prima (exelence service, lebih murah, lebih cepat).

Kementrian Koperasi dan UKM harus kerja sama dengan Kementerian Pertanian dan perdagangan, untuk membina koperasi yang bekerja pada kawasan yang memenuhi skala ekonomi 1.600-3.200 hektar.

Latihan SDM managemen sampai operator, mengenai manajemen, kepemimpinan, kewirausahahan dan penguasaan IT agar diberikan.

Pinjaman modal tanpa bunga dan agunan, dan sistem bagi hasil juga harus disiapkan.

Untuk itu, koperasi perlu dimitrakan dengan BUMD atau perusahaan mitra yang menjamin suplai sarana atau parasana dan pemasaraan dan langsung kontrak dengan perusahaan pabrik pakan.

Harga kontrak inilah dan biaya produksi jagung per-kg petani yang menjadi patokan dalam menentukan Harga Pembelian Koperasi (HPK) kepada petani jagung (kadar air 14 persen) yang menjadi anggota.

Pemerintah daerah melaui BUMD harus investasi prasarana seperti silo, pengeringan (drier) kapasitas besar, gudang penyimpanan, alat angkut.

Rencana Memperindag mensubsidi 30 ribu ton dengan besaran Rp 1.500 /kg atau totalnya Rp 45 M untuk jangka pendek, kurang tepat, karena tidak jelas siapa yang akan disubsidi.

Lebih baik dipinjamkan ke koperasi tanpa bungan dengan sistem bagi hasil.

Peluang peningkatan produksi jagung nasional masih cukup besar, baik melalui peningkatan produktifitas maupun peningkatan indek pertanaman dengan penguatan delivery system, terutama menjaga stabilitas harga yang layak buat petani anggota koperasi di tingkat kecamatan.

Tantangannya adalah menyiapkan modal untuk lebih kurang 2.250 unit koperasi.

Dari KEP/Koperasi Petani 4.694 unit yang sudah terdata online (Data Simluhtan Kementan, 14 September 2021) untuk menjadikan Indonesia sebagai pengekspor jagung paling tidak di daerah 15 sentra produksi, termasuk untuk substitusi impor.

Hal ini dengan menjaga harga jagung petani minimal Rp 4.200/kg, kadar air 14 persen (biaya produksi intensif rata-rata Rp 8-10 juta/ha, produksi 5 ton, atau biaya produksi Rp 1.600-2000/kg).

Harga kontrak koperasi dengan BUMD Rp 4.500, dan harga kontrak BUMD dengan pabrik Rp 5.000/kg, FOB.

Kalau sistem ini terbangun, insyallah harga akan stabil baik di tingkat produsen maupun konsumen dan ini akan mendorong semua pemangku kepentingan untuk saling membesarkan, karena ada kejelasan supplai-demand dan harga.

Kalau rata-rata satu unit koperasi melayani kawasan skala ekonomi seluas 2.400 Ha, dikali 5 ton/ ha, total produksi 12 ribu ton dikali Rp 4.200/kg, nilai produksinya lebih kurang Rp 50 miliar.

Untuk keperluan cash flow koperasi cukup diberikan pinjaman tanpa bunga dengan sistem bagi hasil Rp 15 miliar/koperasi dikali 2.250 koperasi, lebih kurang Rp 33,75 triliun.

Sumber pembiayaannya bisa dari pinjaman APBD atau APBN yang yang disimpan di bank daerah atau melalui Kredit Usaha Rakyat yang sudah tersedia lebih kurang Rp 70 triliun. (***)

* Prof. DR. Ir. Fadel Muhamad juga Ketua Umum DPP Masyarakat Agribisnis Indonesia

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jadi Korban Aksi Arogansi Petugas BPBD, Muhammad Fadel Lapor Polisi


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler