Soroti CSR LNG Tangguh di Papua Barat, Senator Filep Bilang Begini, Tegas

Minggu, 26 Maret 2023 – 13:14 WIB
Anggota DPD RI dari Provinsi Papua Barat Dr. Filep Wamafma. Foto: Humas DPD RI

jpnn.com, JAKARTA - Senator Filep Wamafma angkat bicara terkait pandangan yang mengatakan bahwa Corporate Social Responsibility (CSR) bukanlah tanggung jawab utama dari perusahaan dalam hal ini LNG Tangguh.

Menurut Filep, LNG Tangguh memiliki tanggung jawab terhadap keberadaan masyarakat di lokasi beroperasi.

BACA JUGA: Filep Ingatkan LNG Tangguh Soal Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Filep pun mengingatkan perihal kewajiban perusahaan melaksanakan TJSL yakni Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.

Hal itu secara jelas termaktub dalam Pasal 75 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2007 bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).

BACA JUGA: Senator Filep Minta LNG Tangguh Konsisten Jalankan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

“Jadi, TJSL itu wajib, dan jelas menjadi bagian dari tanggung jawab utama perusahaan. Sehingga perusahaan tidak hanya ambil kekayaan alam, lalu mengembalikan dalam bentuk pajak dan setoran ke pemerintah, tapi juga kepada masyarakat. Jadi, jangan dicampuradukkan,” kata Filep seperti dilansir JPNN Papua pada Rabu (22/3/2023).

Senator Papua Barat ini lantas menerangkan bahwa konsep CSR di luar negeri boleh jadi berbeda dengan di Indonesia. Akan tetapi seluruh perusahaan yang beroperasi di Indonesia wajib mematuhi peraturan yang berlaku terutama di dalam negeri.

BACA JUGA: Menyelisik Proyek Sosial Kerja Sama LNG Tangguh dan Pemkab Teluk Bintuni

“Kalau di luar negeri, sifatnya bisa jadi voluntary (suka rela), tetapi di Indonesia wajib sifatnya,” ujar Filep yang juga merupakan penulis buku tentang pengaturan kebijakan investasi itu.

Selain itu, kajian-kajian akademik juga menegaskan bahwa konsep CSR memperluas kewajiban perusahaan dengan kewajiban untuk peduli terhadap kemajuan dan kesejahteraan masyarakat lokal dimana perusahaan tersebut berdomisili dan/atau menjalankan aktivitas operasionalnya.

Dia mencontohkan pemberdayaan ekonomi rakyat berupa membina usaha-usaha mikro, kecil, dan menengah, penyediaan dan pelayanan kesehatan dan pendidikan masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana umum, juga kegiatan yang bersifat karitatif lainnya

Lebih lanjut, akademisi STIH Manokwari ini pun menegaskan pertanyaannya tentang konstribusi LNG Tangguh terhadap masyarakat merupakan pertanyaan yang lahir dari pemikiran tentang CSR.

“LNG Tangguh kan sudah lama berdiri. Sejauh mana perannya melalui CSR ini berjalan? Jangan dianggap bukan kewajiban, ini perintah UU,” kata Filep.

Menurut Filep, LNG Tangguh memang tidak bertukar peran dengan pemerintah, tetapi LNG Tangguh berdasarkan UU memiliki kewajiban untuk peduli terhadap kemajuan dan kesejahteraan masyarakat lokal di mana perusahaan tersebut berdomisili dan/atau menjalankan aktivitas operasionalnya.

Filep berjuluk Senator Jas Merah ini menambahkan di beberapa aturan lain juga mengatur tentang kewajiban untuk CSR, misalnya Pasal 47, 52, 83 UU Nomor  7 Tahun  2004 tentang Sumber Daya Air, Pasal 30, 32, 48, 50 UU Nomor  41 tahun 1999 tentang Kehutanan hingga Pasal 40 UU Nomor  22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Dia mengatakan meskipun pasal tentang CSR ini pernah digugat di MK, namun MK menolak gugatan tersebut.

Dalam Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008, MK menyatakan pertama, menjadikan CSR sebagai suatu kewajiban hukum melalui rumusan Pasal 74 yang merupakan kebijakan hukum dari pembentuk UU untuk mengatur dan menerapkan CSR dengan suatu sanksi.

Filep melanjutkan hal itu adalah benar, karena secara faktual, kondisi sosial dan lingkungan telah rusak di masa lalu ketika perusahaan mengabaikan aspek sosial dan lingkungan sehingga merugikan masyarakat sekitar dan lingkungan pada umumnya.

Hal lainnya adalah budaya hukum di Indonesia tidak sama dengan budaya hukum negara lain, utamanya negara industri maju tempat konsep CSR pertama kali diperkenalkan di mana CSR bukan hanya merupakan tuntutan bagi perusahaan kepada masyarakat dan lingkungannya.

Namun, juga telah dijadikan sebagai salah satu indikator kinerja perusahaan dan syarat bagi perusahaan yang akan go public.

Menurut Filep, menjadikan CSR sebagai kewajiban hukum dinilai oleh MK justru untuk memberikan kepastian hukum sebab dapat menghindari terjadinya penafsiran yang berbeda-beda tentang CSR oleh perseroan sebagaimana dapat terjadi bila CSR dibiarkan bersifat sukarela.

Hanya dengan cara memaksa tersebut akan dapat diharapkan adanya kontribusi perusahaan untuk ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dia menyatakan Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 74 tidak menjatuhkan pungutan ganda kepada perseroan sebab biaya perseroan untuk melaksanakan TJSL berbeda dengan pajak.

Ketiga, pengaturan CSR dalam bentuk norma hukum merupakan suatu cara Pemerintah untuk mendorong perusahaan ikut serta dalam pembangunan ekonomi rakyat.

“Jadi, sekali lagi jangan dianggap CSR bukan merupakan tanggung jawab utama perusahaan. Masak sudah keruk kekayaan alam tetapi tidak ada perhatian pada masyarakat sekitar?” tanya Filep.

“Justru kalau perusahaan melakukan CSR, maka perusahaan semakin dipercaya publik untuk beroperasi. Sekarang bagaimana dengan konteks Papua? Dasarnya ada pada UU Otsus Pasal 38 yang secara rinci sudah menjelaskan hal itu,” ucapnya.

Adapun Pasal 38 UU Otsus menegaskan bahwa pertama, perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan.

Dia menyebut usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha.

Selain itu, prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus.

Lebih lanjut dia menyebutkan dalam melakukan usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua sebagaimana dimaksud di atas, wajib memperhatikan sumber daya manusia setempat dengan mengutamakan Orang Asli Papua (OAP).

“Jadi, semua usaha ekonomi di tanah Papua yang memanfaatkan sumber daya alam, harus memperhatikan hal ini,” kata Filep.(fri/jpnn)

Artikel ini juga sudah tayang di JPNN.com dengan judul:

Soal CSR LNG Tangguh, Senator Filep: Investasi di Papua Wajib Berpihak pada Rakyat dan Daerah


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler