Soroti Krisis Ekonomi, Ketum HMS Center: Pemerintah Gemar Berutang

Minggu, 10 September 2023 – 12:43 WIB
Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center Hardjuno Wiwoho. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Krisis ekonomi berkepanjangan dan lambannya pemulihan ekonomi menunjukkan kerapuhan fondasi ekonomi Indonesia yang selama ini dibangun.

Praktik monopoli, konglomerasi dan ekonomi kapitalistik mematikan usaha kerakyatan, memperluas kesenjangan ekonomi dan kecemburuan sosial.

BACA JUGA: HMS Center Ingatkan Pemerintah Perhatikan 3 Pilar Penting Pembangunan Nasional

Kondisi ini makin diperparah oleh budaya gemar berutang dan mempermanis istilah utang luar negeri dengan bantuan luar negeri.

Celakanya, lagi utang luar negeri dari negara-negara donor dan lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia banyak yang dikorup oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

BACA JUGA: Hilirisasi Industri Jadi Strategi Hadapi Krisis Ekonomi di Tanah Air

“Tingkat kebocoran ini cukup signifikan bahkan memakan porsi yang cukup besar dari total anggaran pembangunan,” ujar Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera atau HMS Center Hardjuno Wiwoho di Jakarta, Sabtu (9/9).

Dia menjelaskan pinjaman Bank Dunia untuk Indonesia banyak yang bocor di birokrasi Indonesia.

BACA JUGA: Ganjar Bicara soal Ancaman Krisis Ekonomi, Dia Bilang Begini

“Saya kira, persoalan utang luar negeri ini bila tidak diselesaikan dengan baik akan dapat menghambat pemulihan ekonomi dan menjatuhkan martabat bangsa Indonesia di mata dunia internasional,” tegas Hardjuno.

Dia menyayangkan pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta perlakukan lebih adil dari Bank Dunia.

Sebab selama ini Jokowi adalah presiden yang sangat hobi berutang dibandingkan dengan semua presiden Indonesia sebelumnya sejak Presiden Soekarno.

“Kan utang sudah jadi pilihan bahkan hobi dari pemerintahan Pak Jokowi. Sepuluh tahun memerintah tambah utang Rp 5,125 triliun sehingga total utang kita sekarang Rp 7,787 triliun. Kan ini seperti seneng utang tapi giliran bayar ngeluh, minta perlakuan adil,” kata Hardjuno.

Semestinya, menurut Hardjuno, Jokowi menyusun rencana guna memastikan setiap rupiah utang yang diambil pemerintah benar-benar produktif sehingga bisa membayar utang dengan happy tanpa mengeluh.

Di mana-mana bahkan di level keluarga saja, utang harus selalu produktif.

“Utang 1 harus dapat 2 lebih, buat bayar utang beserta bunga dan sisanya laba usaha dari duit utang tadi. Jangan mau utang, tetapi giliran ditagih susah. Ini namanya apa? Kita jadi mempertanyakan efektifitas dan produktifitas utang yang Jokowi ambil kalau caranya begini,” kata Hardjuno.

Sampai hari ini belum ada data konkret yang menunjukkan perubahan signifikan dalam penggunaan utang Indonesia.

Padahal rakyat Indonesia berhak mengetahui pemanfaatan utang Indonesia ini. Artinya, utang harus digunakan secara efisien untuk proyek-proyek yang benar-benar memberikan manfaat jangka panjang bagi ekonomi Indonesia.Namun, dia menyayangkan utang banyak juga yang dikorup.

“Berapa banyak kasus korupsi di infrastruktur. Menteri, bupati, sampai kades banyak dipenjara gara-gara infrastruktur yang duitnya dari utang,” papar Hardjuno.

Masifnya budaya korupsi ini menjadi pertanyaan rakyat Indonesia. Terutama, sejauh mana benefit utang ini dalam peningkatan pendapatan negara. Sebab, data menunjukkan bahwa sektor pajak di Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam mengumpulkan pendapatan yang cukup.

Menurut Hardjuno, dengan utang yang terus meningkat, risiko ketidakmampuan pembayaran utang negara menjadi semakin besar.

“Dan ini sangat berbahaya bagi bangsa ini kedepannya,” jelasnya. Hardjuno juga mengkritik kurangnya transparansi dalam penggunaan dana yang diterima dari, misalnya, Bank Dunia saja.

Untuk itu, dia mendesak pemerintah menjelaskan pemanfaatan utang ini serta bagaimana dampaknya terhadap pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

“Dan Jokowi musti jelaskan sebelum pemerintahannya berakhir,” papar Hardjuno.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler