jpnn.com - Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyoroti peran negara dalam melindungi kebebasan rakyat dalam berserikat dan berkumpul, buntut pembubaran diskusi Forum Tanah Air (FTA) di Kemang, Jakarta Selatan pada Sabtu (28/9/2024).
ELSAM dalam siaran pers menyatakan aksi pembubaran diskusi di Kemang itu memperlihatkan pelindungan kebebasan sipil di Indonesia yang semakin buruk.
BACA JUGA: 30 Polisi Diperiksa Propam soal Pembubaran Diskusi di Kemang, Kenapa?
Terlebih, dalam catatan ELSAM, terdapat rentetan peristiwa serupa yang terjadi sebelum pembubaran paksa diskusi di Kemang.
BACA JUGA: Ini Peran MR Teman Si Rambut Kuncir yang Terlibat Pembubaran Diskusi FTA di Kemang
Diskusi FTA bertajuk "Silaturahmi Kebangsaan Diaspora bersama Tokoh dan Aktivis Nasional", dibubarkan paksa oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Aliansi Cinta Tanah Air.
Sehari sebelumnya, pada Jumat (27/9), Aksi damai Global Climate Strike atau Jeda Iklim Global yang digelar di Jakarta, juga dibubarkan oleh sekelompok orang.
BACA JUGA: Refly Harun soal Pembubaran Diskusi FTA: Si Rambut Kuncir Bukan OTK, Jelas Berafiliasi ke Mana
Peristiwa serupa juga terjadi pada Mei 2024 yang lalu, ketika penyelenggaraan Peoples Water Forum, dibubarkan paksa, dengan tuduhan mengganggu World Water Forum, di Bali.
"Situasi tersebut kian menunjukan suramnya jaminan perlindungan HAM bagi warga negara, khususnya pasca-Pemilu 2024, sebagai akibat tindakan kekerasan secara sewenang-wenang sekelompok orang, tanpa adanya upaya perlindungan yang memadai dari aparat negara," ujar Direktur Eksekutif ELSAM Wahyudi Djafar, dikutip dari laman elsam.or.id.
ELSAM menyatakan terdapat empat bentuk dugaan pelanggaran HAM yang terjadi dari peristiwa tersebut, mencakup pelanggaran:
1. Kebebasan berserikat dan berkumpul secara damai;
2. Hak untuk mengembangkan diri;
3. Hak untuk berkomunikasi, memperoleh informasi, dan menyampaikan informasi melalui berbagai saluran yang tersedia;
4. Hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Wahyudi mengingatkan bahwa Negara sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) mempunyai kewajiban untuk menghormati (obligation to respect), memenuhi (to fulfill), dan melindungi (to protect) HAM.
"Namun, rangkaian peristiwa di atas menunjukkan bahwa Negara telah gagal memastikan adanya iktikad baik yang cukup untuk sepenuhnya memenuhi kewajibannya," kata dia.
Selain itu, pernyataan aparat kepolisian dalam merespons kekerasan tersebut justru memberi kesan menyalahkan pihak yang menyelenggarakan diskusi damai, dengan mengatakan diskusi dilakukan tanpa izin.
Padahal, penyelenggaraan suatu diskusi—apalagi perdebatan ilmiah, tidak memerlukan perizinan dari pihak mana pun. Bahkan, dalam rezim hukum kebebasan berkumpul, termasuk demonstrasi damai, mengacu pada UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, pun tidak dikenal adanya perizinan.
"Respons aparat yang demikian memperlihatkan rendahnya pemahaman aparat dalam memahami serangkaian kewajiban mereka untuk memastikan penghormatan, pemenuhan dan perlindungan terhadap HAM," tuturnya.
Hal itu juga sekaligus menunjukkan problem Institusi Kepolisian dalam implementasi Peraturan Kapolri No. 8/ 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Lebih jauh, rentetan peristiwa di atas memperlihatkan ketidakseriusan kepolisian sebagai institusi penegak hukum dan pelindung masyarakat, untuk secara imparsial dan profesional melaksanakan kewajiban konstitusionalnya dalam perlindungan HAM.
Sinyalemen ini menurutnya dapat dibuktikan dari kegagalan untuk bertindak secara layak (failure to act) guna melindungi dan menjamin kebebasan warga negara untuk melaksanakan hak-hak konstitusionalnya.
Dalam jangka panjang, kegagalan bertindak dalam menghentikan kekerasan tersebut akan mendorong terus terjadinya kekerasan dan tindakan-tindakan intimidasi serupa.
Kekerasan tersebut terjadi dengan pola yang hampir serupa, diinisiasi oleh kelompok pro-kekerasan dan berakhir dengan penggunaan kekerasan terhadap kelompok yang menjadi sasaran aksi.
"Perluasan praktik ini menunjukkan semakin besarnya risiko ancaman terhadap warga negara yang hendak melaksanakan hak asasinya," ujar Wahyudi.
Dari serangkaian peristiwa yang terjadi, ELSAM mengidentifikasi bahwa kekerasan yang terjadi bukan merupakan kejadian yang saling terpisah, tetapi merupakan sebuah rangkaian yang sistematis, serta ditujukan kepada target atau sasaran kelompok tertentu yang spesifik.
"Rangkaian peristiwa intimidasi dan kekerasan terhadap kebebasan sipil akhir-akhir ini, juga memperkuat hipotesis bahwa selama dua periode masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, pelindungan terhadap kebebasan sipil terus mengalami penurunan.
Riset ELSAM (2024), yang dilakukan di Kalimantan Timur, Sumatera Barat, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, dan Jakarta sebagai center pheriperi menunjukkan bahwa 46,4% responden mengaku sangat tidak puas atas perlindungan dan pemenuhan hak berorganisasi dan berkumpul, 34,8 % tidak puas, dan sisanya 18,8% merasa cukup puas.
Oleh karena itu, berdasarkan pada sejumlah identifikasi tersebut, ELSAM mendesak:
Pertama, kepolisian melakukan penyelidikan dan penegakan hukum lebih lanjut terhadap tindakan pembubaran diskusi yang terjadi, untuk memastikan peristiwa serupa tidak lagi berulang di masa mendatang.
"Juga memastikan peningkatan pemahaman dan kapasitas aparat kepolisian dalam implementasi Perkap No. 8/2009, untuk menjamin internalisasi dan integrasi HAM dalam pelaksanaan tugas-tugas kepolisian," kata Wahyudi.
Kedua, mendesak Komnas HAM, dengan mempertimbangkan sifat kekerasan dan pelanggaran yang terjadi, menjalankan mandat dan fungsi pemantauan terhadap situasi yang terjadi, dan mendorong adanya rekomendasi yang bisa mencegah terus berulangnya peristiwa serupa (sesuai Pasal 89 UU No. 39/1999).
Ketiga, mendesak pemerintah memastikan komitmennya kembali dalam melaksanakan kewajiban konstitusional dan internasionalnya, untuk menjamin pemenuhan dan perlindungan HAM, termasuk dalam pelaksanaan kebebasan berkumpul, berserikat, dan menyampaikan pendapat secara damai.(*/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam