jpnn.com, JAKARTA - Presiden Keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyoroti rencana penggantian sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup.
"'Saya mulai tertarik dengan isu penggantian sistem pemilu, dari sistem proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup," kata SBY melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (19/2).
BACA JUGA: Polemik Sistem Pemilu Harus Disudahi, Begini Saran HNW untuk Mahkamah Konstitusi
SBY menerima informasi bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) akan segera memutus mana sistem pemilu yang hendak dipilih untuk dijalankan di negeri ini.
Oleh karena itu, ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat itu menyampaikan sejumlah catatan.
BACA JUGA: Pilot Susi Air Disandera KKB, Dahlan Iskan: TNI Tahu Kapan Harus Memainkan Peran
Menurut dia, apakah dibenarkan sebuah sistem pemilu diubah dan diganti ketika proses pemilunya sudah dimulai sesuai dengan agenda dan jadwal yang ditetapkan KPU RI.
Dia juga mempertanyakan apakah tepat di tengah perjalanan yang telah direncanakan dan dipersiapkan dengan baik itu, utamanya oleh partai-partai politik peserta pemilu, tiba-tiba sebuah aturan yang sangat fundamental dilakukan perubahan.
BACA JUGA: Pernah di PAN dan PPP, Tokoh Betawi Ini Pindah ke Partai NasDem
SBY bahkan mengatakan apakah saat ini ketika proses pemilu telah berlangsung, ada sebuah kegentingan di Indonesia, seperti situasi krisis tahun 1998 dulu misalnya, sehingga sistem pemilu mesti diganti di tengah jalan.
"Mengubah sebuah sistem tentu amat dimungkinkan. Namun, di masa 'tenang', bagus jika dilakukan perembukan bersama, ketimbang mengambil jalan pintas melakukan 'judicial review' ke MK," tutur SBY.
Presiden RI dua periode itu justru menilai sistem pemilu di Indonesia sangat mungkin disempurnakan, karena melihat sejumlah elemen yang perlu ditata lebih baik. Namun, kata dia, hendaknya penyempurnaannya hanya bergerak dari terbuka-tertutup.
Menurut dia, dalam tatanan kehidupan bernegara yang baik dan sistem demokrasi yang sehat ada semacam konvensi, baik yang bersifat tertulis maupun tidak.
SBY mengatakan jika mau melakukan perubahan yang bersifat fundamental, misalnya konstitusi, maka bentuk negara, sistem pemerintahan, dan sistem pemilu seharusnya melibatkan rakyat.
Caranya, ada yang menggunakan sistem referendum formal maupun jajak pendapat yang tidak terlalu formal.
Dia mengingatkan bahwa lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif tidak boleh begitu saja menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan perubahan sangat mendasar yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat secara keseluruhan.
"Menurut pendapat saya, mengubah sistem pemilu itu bukan keputusan dan bukan pula kebijakan ('policy') biasa, yang lazim dilakukan dalam proses dan kegiatan manajemen nasional (kebijakan pembangunan misalnya)," tutur SBY.
Oleh karena itu, dia menilai rakyat perlu diajak bicara terkait perubahan sistem pemilu. Semua pihak juga harus membuka diri dan mau mendengar pandangan pihak lain, terutama aspirasi masyarakat.
Menurut SBY mengatakan 'itu urusan saya dan saya yang punya kuasa' untuk semua urusan, tentu tidaklah bijak. Sama halnya dengan hukum politik 'yang kuat dan besar mesti menang, yang lemah dan kecil ya harus kalah' juga bukan pilihan.
"Hal demikian tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang kita anut bersama," ujar SBY.(antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam