jpnn.com - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengingatkan pemerintah untuk menegakkan aturan perpajakan kepada online travel agent (OTA) asing yang beroperasi di Indonesia.
Selama ini travel asing tersebut membebankan pajak kepada hotel domestik sehingga merugikan pelaku usaha lokal.
BACA JUGA: PHRI: Boikot yang Salah Alamat Berdampak pada Pekerja dan Pemasok Lokal
"Meski mereka terdaftar Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), tetapi jika tidak mendirikan Badan Usaha Tetap (BUT) pajaknya dibebankan kepada kami, pihak hotel. Padahal, kalau OTA lokal mereka yang bayar sesuai aturan, bukan pihak kami. Ini tentu membebani kami," kata Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu (17/7).
Dia mengatakan selama ini yang terjadi, OTA asing tidak membayar pajak yang seharusnya dibayarkan. Hotel justru harus tekor, karena terpaksa harus membayarnya.
BACA JUGA: Merespons Aspirasi Honorer, Komisi I DPRD Jabar Usulkan Penambahan Kuota PPPK Guru
Ketidakadilan ini merugikan industri pariwisata dalam negeri yang sudah berusaha mematuhi peraturan perizinan yang berlaku.
"Kami sebagai pelaku usaha yang selalu dipungut untuk pajak komisi, seharusnya itu OTA asing yang bayar. Ini jadi masalah besar," katanya.
BACA JUGA: Soal Penertiban Barang Impor, Arief Poyuono Ingatkan Pemerintah Jangan Tindas Pedagang
Oleh karena itu, pemerintah harus tegas terhadap OTA asing agar patuh dalam mendirikan Badan Usaha Tetap (BUT).
Selain merugikan pelaku usaha hotel, dan konsumen, juga negara dirugikan, yakni kehilangan potensi pendapatan dari pajak komisi dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
"Jika mereka tidak memiliki BUT, negara akan dirugikan dari potensi pendapatan pajak. Ini termasuk pajak komisi dan PPN," ujar Alan, panggilan akrabnya.
Untuk PPN, nilai potensi pajak dari transaksi OTA asing ditaksir mencapai sekitar Rp 3,18 triliun. Sementara, potensi kerugian dari pembebanan pajak komisi sebesar 1,1 persen mencapai Rp 318,67 miliar.
Selain itu, jika badan usaha asing tidak kantor tetap di Indonesia maka konsumen dirugikan ketika terjadi masalah. Misalnya, jika mengalami masalah reservasi, konsumen tidak bisa komplain karena OTA asing ini tidak memiliki kantor fisik di Indonesia.
"Mereka hanya diberikan nomor telepon yang tidak jelas di mana lokasinya. Hal ini menimbulkan ketidakpastian dan kurangnya perlindungan konsumen ketika terjadi masalah," ucapnya.
PHRI telah melaporkan masalah ini kepada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan sejak 2017 untuk menuntut keadilan dan penegakan peraturan. Namun, sampai sekarang itu penegakan UU 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dan UU 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan masih belum digubris.
"Kami sudah melaporkan kepada pemerintah untuk menuntut keadilan, tetapi hingga kini respons dari Ditjen Pajak belum ada," terangnya.
Dia berharap pemerintah dapat segera mengambil tindakan tegas untuk menyelesaikan masalah ini. Jika OTA asing tidak mendirikan BUT, maka mereka harus ditutup.
"Pemerintah sebagai regulator harus bersikap adil. Negara tidak boleh membiarkan sesuatu yang merugikan konsumen dan pelaku usaha lokal, apalagi ini pihak asing," pungkasnya. (esy/jpnn)
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Mesyia Muhammad