Ali Fauzi selalu menyadari bahwa dia dan saudara-saudaranya berbeda dari anak-anak lain di desa tempat tinggalnya di Jawa Timur.
BACA JUGA: Uber Legal, Sopir Taksi Melbourne Ancam Unjuk Rasa Lanjutan di Bandara
Tumbuh dari keluarga dimana orangtua mereka merupakan petani kaya, memiliki sebagian besar lahan di desa itu. Tetangga mereka tidaklah seberuntung keluarga ini.
Sejak awal Ali dan saudara-saudaranya itu diajarkan keyakinan Islam garis keras, yang membuat mereka memeluk pandangan yang radikal.
BACA JUGA: Khaled Sharrouf Tewas Dalam Serangan Udara di Suriah
Keempat bersaudara ini pun akhirnya mengikuti pelatihan terorisme di Afghanistan dan Filipina selatan.
"Penduduk setempat di sini tidak tahu bahwa beberapa tetangga mereka pernah mengikuti pelatihan militer dan belajar membuat bom berskala besar," kata Ali Fauzi.
BACA JUGA: Pertumbuhan Gaji di Australia Tetap di Bawah 2 Persen
Ali Fauzi masih berbicara penuh keakraban mengenai saudaranya yang pelaku bom Bali, Amrozi dan Mukhlas, sembari mengingat merawat tubuh mereka usai dieksekusi regu tembak di tahun 2008.
"Saya memandikan tubuh mereka, membungkusnya dengan kain kafan putih dan membawanya pulang," katanya. Amrozi dan Mukhlas, dua bersaudara pelaku bom Bali.
(Reuters, file)
ABC mengunjungi makam Amrozi dan Mukhlas di sepetak tanah yang dikelilingi pagar kawat.
Di sana, ada dua makam yang masing-masing ditandai dengan batu bata, menandai bagian atas dan bawah kedua makam tersebut.
Ali Fauzi menyeringai sama dengan saudara laki-lakinya yang sudah meninggal tersebut. Senyumannya tampak lebar dengan gigi putihnya.
"Saya meminta maaf untuk mereka yang meninggal atau terluka," katanya.
Seorang saudara laki-laki ketiga, Ali Imron, juga hilang dari keluarga tersebut. Bukan karena meninggal namun karena menjalani hukuman seumur hidup atas perannya dalam pemboman yang merenggut nyawa 202 orang, termasuk 88 warga Australia, pada hari mengerikan di tahun 2002 tersebut. Lokasi ledakan bom di Kuta, Bali, 16 Oktober 2002.
AAP: Dean Lewins
Ali Fauzi, anak bungsu dari 13 bersaudara, pernah menjadi pembuat bom yang terampil untuk jaringan teroris Jemaah Islamiyah (JI).
Dia tidak pernah dihukum terkait kasus bom Bali, namun menjalani hukuman tiga tahun penjara karena pelanggaran terorisme.
"Itu sebuah kesalahan," katanya kepada ABC mengenai tindakan saudara-saudaranya.
"Materi untuk bom satu ton datang dari sini. Saya tidak malu meminta maaf kemana pun saya pergi atas nama keluarga kami di sini," ujarnya. Dari teroris ke Lingkar Perdamaian
Di Tenggulun, Lamongan, Ali Fauzi menjelaskan kepada ABC bagaimana dia telah berubah, mengalami reformasi dan ingin menjadikan sebagai misi hidupnya, meradikalisasi orang lain.
Begitu besar komitmennya pada hal itu, Ali kini mendirikan sebuah yayasan bernama Lingkar Perdamaian yang bertujuan menyingkirkan pandangan radikal yang dianut saudaranya dan banyak orang lainnya. Sumarno yang telah menjalani deradikalisasi.
ABC News: Phil Hemingway
Dibuka bulan lalu, tampak masjid dan sekolah yang masih baru, dibangun dari sumbangan polisi setempat dan Pemerintah Indonesia, yang menganjurkan pendekatan lunak melawan terorisme.
"Manajer yayasan adalah mantan teroris, mantan kombatan dan mantan anggota Jemaah Islamiyah," katanya.
"Saya memiliki visi untuk menjaga persaudaraan dan perdamaian pada saat bersamaan," kata Ali.
Dia mengatakan yayasan ini memberikan platform bagi mantan anggota jaringan lama seperti JI untuk menghindari gelombang baru terorisme yang dipimpin kelompok ISIS.
Namun di daerah yang pernah jadi basis kuat JI dan dulu sering dikunjungi Abu Bakar Bashir, dia mengaku memang hanya sedikit yang berhasil berubah. Halaman yayasan Lingkar Perdamaian di Tenggulun, Lamongan.
ABC News: Phil Hemingway
Dari desa terdekat, 37 orang bergabung dengan Ali Fauzi dalam usahanya, dan dia mengatakan yakin 40 persen dari mereka ini telah terderadikalisasi.
"Kami tidak berharap bisa mengubah orang 100 persen. Kami hanya ingin mereka mencintai negara ini, memiliki toleransi terhadap orang lain," katanya. Lebih baik
Masjid baru tersebut membayangi bekas rumah Amrozi dan Ali Imron.
Di sampingnya, alun-alun lebar menyediakan tempat bagi mantan teroris untuk berlatih menggerek bendera, menyambut HUT Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus. Mahendra, anak dari Amrozi, yang juga kemenakan Ali Fauzi.
ABC News: Phil Hemingway
Ini pertanda reformasi kembalinya mereka pada ideologi negara yang sebelumnya mereka hindari.
Keponakan Ali Fauzi, Mahendra (32 tahun), turut membantu menaikkan bendera.
Dia adalah anak Amrozi, yang sebelum eksekusi dijuluki sebagai "smiling assassin".
"Rasanya seperti baru kemarin ayahku tersenyum di depanku," kata Mahendra, yang mengakui sebelumnya penuh dengan kebencian dan kemarahan.
"Siapa yang tidak marah jika orangtua mereka tertembak?" katanya mengenai eksekusi ayahnya oleh regu tembak.
"Katakanlah ayahku salah atau benar. Sebelum dia dikuburkan, aku bisa melihat luka tembak itu. Itu yang membuatku sangat marah," katanya.
Mahendra mengakui bahwa sampai beberapa waktu lalu, dia masih memiliki keinginan untuk membalas dendam atas eksekusi ayahnya.
"Alhamdulillah saya lebih tenang sekarang. Lebih tenang karena saran dari pamanku yang telah memberiku dukungan," katanya.
"Alhamdulillah aku lebih baik sekarang," katanya. Memutus siklus Ali Fauzi berharap bisa meneruskan paham moderat bagi generasi penerus.
ABC News: Phil Hemingway
Ali Imron, yang kini menjalani hukuman seumur hidup dalam panjara di Jakarta, juga membantu Pemerintah Indonesia dalam program deradikalisasi dan pendekatan lunak untuk melawan terorisme.
"Dia banyak mengajari saya, memberiku semangat untuk mengubah diri menjadi orang baru," kata Ali Fauzi mengenai saudaranya Ali Imron.
"Tidak mudah tapi melihatnya penuh antusiasme membuatku ingin berubah dari seorang pembom dan pejuang menjadi orang Indonesia sejati," tambahnya.
Sekolah yayasan tersebut dijalankan oleh para istri teroris yang telah tewas, dipenjara atau pun yang telah berubah.
Mereka mengajari anak-anak mengaji Alquran dan belajar Bahasa Arab.
Melalui sekolah tersebut, Ali Fauzi berharap bisa menanamkan pandangan moderat kepada generasi penerus.
"Anak-anak polisi akan menjadi polisi, dan anak teroris akan menjadi teroris suatu hari nanti. Saya ingin memutus siklus tersebut," katanya. Anak-anak sedang belajar Bahasa Arab dan mengaji.
ABC News: Phil Hemingway
Diterbitkan Kamis 17 Agustus 2017 oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News di sini.
Lihat Artikelnya di Australia Plus
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kasus Pelecehan Seksual 52 Pasien Oleh Ahli Saraf Mesum Capai Penyelesaian