Jelang penutupan pendaftaran calon presiden dan wakil presiden 10 Agustus 2018, perpolitikan di Indonesia semakin dinamis dengan sejumlah kelompok Islam yang menawarkan nama-nama untuk dijadikan calon pasangan.
Salah satunya adalah Persaudaraan Alumni 212 yang tergabung dengan Koalisi Keumatan yang merapat ke Partai Gerindra dibawah pimpinan Prabowo Subianto.
BACA JUGA: Kisah Lalu Fauzan Mencari Ibunya di Reruntuhan Masjid
Lewat sebuah Forum Ijtima Ulama, kelompok ini mengeluarkan nama Ketua Majelis Syuro, PKS Salim Asegaf Aljufri dan pendakwah Ustadz Abdul Somad.
Sementara di kubu Joko Widodo hingga saat ini, selain ada Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Persatuan Pembangunan yang juga berisi ulama dan cendikiawan Muslim, sejumlah nama tokoh Islam yang dianggap kuat sudah disebut-sebut menjadi calon wakil presiden.
BACA JUGA: Peneliti Australia Temukan Terobosan Bahan Bakar Hidrogen dari Amonia
Meski mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim dan kebanyakan calon-calon pemimpin yang diusung pun beragama Islam tapi tetap ada sejumlah kelompok yang menganggap mereka 'kurang Islam', sehingga perlu menggandeng sosok 'Muslim yang kuat'. Photo: Ustadz Abdul Somad dianggap tokoh populis sebagai pendakwah yang akrab dengan banyak umat Islam di Indonesia. (Foto: Facebook Ustadz Abdul Somad)
BACA JUGA: Peneliti Kembangkan Bioplastik dari Sarang Lebah Australia
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan dari Universitas Padjajaran, Dr Muradi mengatakan kepada ABC hal ini disebabkan oleh tren perpolitikan global yang sedang terjadi belakangan ini, seperti kemunculan gerakan ultranasionalis di negara-negara barat.
"Dua isu yang paling mudah untuk mempermainkan perasaan publik adalah etnis dan agama," ujar Dr Muradi yang mengakui adanya perpecahan di masyarakat, termasuk di kalangan Muslim sendiri.
"Menurut saya yang bisa mengalahkan Joko Widodo hanyalah isu populisme yang mengarah pada isu agama dan sebagainya, karena untuk menyerang prestasi Jokowi lewat pembangunan infrastruktur sulit bagi calon lain.," tambah Muradi.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Direktur Pusat Penelitian untuk Studi Kepresidenan dari Universitas Gadjah Mada, Nyarwi Ahmad. Menurutnya, tokoh dari kalangan Muslim masih digunakan sebagai alat politik untuk memenangkan kekuasaan.
"Narasi Islam populis masih dimunculkan, bahkan Anda lihat sekarang ada aktor populis Ustad Abdul Somad, pendakwah yang akrab dengan umat," jelas Nyarwi Ahmad yang juga dosen komunikasi politik di UGM. Photo: Kelompok 212 sebagai wujudu protes terhadap kepemimpinan Joko Widodo dalam berkomunikasi dan berhubungan dengan ulama tertentu. (AP: Achmad Ibrahim)
"Tidak ingin negara Islam, tapi ganti pemimpin"
Kelompok 212 pada awalnya dibentuk untuk 'aksi bela Islam' menanggapi pernyataan Basuki Tjahaja Purnama yang dianggap sebagian umat Muslim sebagai penistaan terhadap agama.
Tapi kini kelompok tersebut juga terlibat dalam perpolitikan, karena politik dianggap sebagai "bagian dari ranah 212 untuk mengatasi permasalahan umat", seperti yang dikatakan Ustadz Bernard Abdul Jabbar, Sekretaris Umum Persaudaraan Alumni 212 (PA 212).
"Karena politik Indonesia perlu pembenahan dan kita perlu berperan aktif membangun negeri ini, maka kita pun ikut meramaikan dan mendorong agar partai-partai koalisi memilih dan mengangkat Prabowo sebagai presiden," ujar Ustadz Bernard saat dihubungi ABC Melbourne.
Ia mengaku Prabowo adalah sosok yang memiliki pandangan sama dengan PA 212, karena sama-sama ingin adanya perbaikan dan "selalu membela hak-hak umat Islam". Photo: Habib Rizieq adalah Ketua Pembina Persaudaraan Alumni 212 (Reuters: Iqro Rinaldi)
Saat ditanya bukankah Joko Widodo juga adalah beragama Islam dan berupaya melakukan pembangunan untuk penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim, Ustadz Bernard mengatakan, "upayanya masih kurang".
"Orang Islam itu banyak, ada yang abangan, ada yang cuek, ada pula yang memenjarakan ulamanya sendiri dan kita juga lihat keberpihakan Jokowi malah kepada bangsa lain, seperti orang-orang China yang datang begitu saja lalu diberi pekerjaan."
Tapi Ustadz Bernard menolak dengan tegas jika kelompoknya ingin mengubah Indonesia menjadi negara Islam, dengan alasan banyaknya komunitas minoritas dari agama lain yang perlu dilindungi sesuai ajaran Islam.
"Islam itu adalah agama toleran, tapi tentu ada yang perlu diperangi jika mereka juga memerangi dan menghina kami, jadi Islam itu bisa bersifat lembut, tapi juga tegas." Photo: Dua kubu Joko Widodo dan Prabowo Subianto akan lanjutkan pertarungan pada Pemilihan Presiden RI 2019. (Reuters/Beawiharta)
Menurut Dr Muradi memberikan label pro asing dan anti-Islam kepada Presiden Jokowi tidaklah pernah terbukti, tetapi isunya terus dimainkan.
"Kampanye #2019gantipresiden itu bukan semata-mata dari Muslim, tapi ada juga orang-orang Gerindra dan mereka yang bukan Muslim. Strategi yang dimainkan oleh 212 dan kubu lawan Jokowi lainnya ini lebih pada blocking politik," ujarnya.
Nyarwi Ahmad pun menyatakan hal senada, yakni pada intinya apa yang diinginkan oleh gerakan seperti PA 212 sebenarnya hanyalah untuk mengganti pemimpin yang kini sedang menjabat, yakni Presiden Joko Widodo.Mengukur pengaruh 'kelompok Islam'
Sejumlah pengamat memiliki pandangan berbeda soal apakah kelompok Islam seperti PA 212 akan memberikan pengaruh pada pilihan warga, khususnya di kalangan Muslim.
Dr Muradi mengatakan PA 212 hanyalah sebagai bentuk dinamisme gerakan poitik dengan kepentingan jangka panjang, meski harapan mereka untuk memenangkan sejumlah Pilkada, seperti di Jawa Barat ternyata meleset.
"Jadi mereka berharap bisa mendapatkan momentum baru untuk memperkuat eksistensinya dengan membangun isu semangat populisme keagamaan tertentu," ujarnya.
Menurutnya momentum dalam dunia politik tidaklah datang berkali-kali, karenanya mereka lebih memilih untuk mengusulkan nama-nama calon presiden dan wakilnya yang kurang lebih sama populernya dengan Jokowi di komunitas-komunitas. Photo: Ustadz Bernard Abdul Jabbar merasa aksi bela Islam telah menyatukan umat Muslim dari berbeda mahzab dan organisasi dalam sebuah gerakan. (AP: Tatan Syullfana)
Sementara Nyarwi mengatakan aspirasi PA 212 cukup "menentukan".
"Mereka potensial juga untuk jadi penentu dalam arti selisih partai politik untuk merebut suara di luar 'captive market' mereka," jelasnya.
"Sedikit memang tapi kalau jumlahnya tujuh hingga delapan juta dan selisih angka kedua kubu sangat tipis, ya suara sebanyak itu cukup mengerikan juga."
Sementara itu, Ustadz Bernard yang menjadi mualaf lebih dari 20 tahun lalu mengatakan jika pada akhirnya kubu Prabowo tidak menerima rekomendasi kelompoknya, maka perlu ada musyawarah dan pembicaraan kembali.
"Tapi kita akan lihat siapa yang akan ia pilih, juga kita lihat apakah pilihannya itu baik dan shaleh dan kita adakan lagi musyawarah."
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ternak Di Utara Adelaide Terancam Mati Makan Sampah Plastik