jpnn.com, JAKARTA - Pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi diingatkan jangan sampai berutang ke International Monetary Fund (IMF) maupun World Bank dalam memenuhi kebutuhan finansial penanganan virus corona (Covid-19). Pasalnya, langkah itu akan membahayakan bagi Indonesia.
Hal ini disampaikan Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan pada Jumat (27/3). Menurutnya, saat ini Indonesia masih memasuki tahap awal krisis sehingga diperlukan kebijakan antisipasi.
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Guru Jangan Masuk Sekolah, Menkes Minta Maaf, Ancaman Menkeu
Namun pemerintah tidak boleh buru-buru berutang ke World Bank maupun IMF. "Gunakan daya tahan fiskal yang dibangun dari sistem keuangan negara yang dibangun selama ini," kata legislator Gerindra itu.
Diketahui bahwa IMF menyiapkan dana 1 triliun dollar AS untuk negara-negara anggotanya yang menghadapi virus corona.
BACA JUGA: Kamrussamad Ingatkan Ibu Menkeu: Awas Jebakan IMF
Adapun Bank Dunia menyiapkan dana 14 miiliar dollar AS untuk paket pembiayaan jalur cepat bagi negara yang juga menghadapi pandemi global itu. Namun politikus yang beken disapa dengan panggilan Hergun ini mengingatkan bahaya pinjaman tersebut.
"Langkah Sri Mulyani yang akan meminjam ke IMF dan Bank Dunia sangat membahayakan Indonesia. IMF terbukti telah mengintervensi kebijakan ekonomi Indonesia saat memberi pinjaman untuk mengatasi krisis ekonomi 1997/1998," tegas Hergun.
BACA JUGA: Ganjar Pranowo: Tidak Usah Pulang Kampung!
Lantas dari mana pemerintah bisa mendapatkan uang untuk penanganan Covid-19 tanpa meminjam IMF dan World Bank? Sejatinya, kata Hergun, ada beberapa solusi sumber pendanaan dalam negeri yang bisa dimanfaatkan.
Beberapa opsinya antara lain dari Sisa Anggaran Tahun Lalu (SAL), akumulasi dari Sisa Anggaran Tahun Sebelumnya (SILPA) dan anggaran yang selama ini disishkan oleh pemerintah sebagai dana abadi (endowment fund) untuk keperluan cadangan yang diinvestasikan di Surat Utang Negara.
"Termasuk dana APBN yang ada BA99 yang selama ini dikelola oleh Menteri Keuangan Sebagai Bendahar Umum Negara," ucap Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPR RI ini.
Bahkan kalau perlu pemerintah bisa meminjam sebagian dana simpanan milik LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) yang mencapai lebih Rp150 triliun sebagai cadangan darurat oleh negara untuk keperluan mendadak. Sebab, uang tersebut tersedia dan sangat siap untuk dipinjam negara bila perlu karena posisi dananya memang tidak sedang digunakan.
Selain itu, ada cadangan devisa negara yang dikelola oleh Bank Indonesia (BI) sekitar 130 billion USD atau setara dengan lebih 2.000 triliun rupiah bila kurs saat ini 16.800 rupiah per USD.
Karena BI tidak sepenuhnya menggunakan cadangan devisa untuk operasi moneter menjaga stabilitas nilai tukar rupiah saja seperti saat ini. tetapi bisa untuk hal lain yang lebih urgen.
Opsi lainnya, pemerintah cukup dengan menerbitkan open end Surat Utang Negara (SUN) yang khusus dibeli oleh Bank Sentral dan meminta BI membeli SUN tersebut dengan asumsi bunga di bawah 5%.
"Kalau pemerintah menerbitkan SUN senilai 20 billion USD akan setara dengan 336 triliun rupiah," jelas Ketua DPP Gerindra ini.
Kebijakan seperti ini menurutnya harus diambil. Sebab, kalau kita menerbitkan global bond di saat pasar global sedang terimbas Covid19, maka imbal balik atau rate return SUN yang diterbitkan oleh Indonesia akan sangat mahal biayanya. Pasalnya, momentum ini jadi kesempatan bagi fund manager asing untuk memeras institusi negara yang sedang membutuhkan uang.
Opsi-opsi pendanaan itu, kata legislator kelahiran Sukabumi ini, sudah lebih dari cukup untuk mengatasi corona. Dengan begitu, Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak perlu menjerumuskan Indonesia dalam lilitan utang IMF/World Bank.
"Bahkan Menteri Keuangan tidak perlu membuka rekening khusus untuk menampung sumbangan dari dunia usaha. Para pengusaha jangan dibebani lagi dengan sumbangan karena saat ini pun para pengusaha sedang berjibaku menyelamatkan usahanya dari dampak corona," tegasnya.
Di samping kebijakan tersebut, Hergun juga mengusukan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani agar segera melakukan penjajakan kepada negara-negara donor untuk dinegosiasi guna menunda dulu pembayaran utang.
"Ini berbeda konteksnya, ini bukan ketidakmampuan bayar. Ini karena ada hajat kemanusiaan yang lebih penting, atau mungkin Menkeu takut Indonesia masuk kategori negara terbelakang lagi, yang dulu dijuluki HIPC (high indebted poor country). Nanti predikat Menkeu terbaiknya dicopot," tandas Hergun bernada menyindir.(fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam